His Kindness Heart

3K 486 7
                                    

Ditatapnya pengumuman seleksi petugas kesehatan haji di layar ponselnya.

Nomer registrasinya telah dimasukkan dan muncul kalimat yang menerangkan bahwa dirinya belum lulus persyaratan administrasi.

Ingin menangis rasanya karena sudah sejak lama dia ingin berangkat ke Baitullah.

April beranjak ke kamar mandi untuk membasuh wajahnya yang mulai basah dengan airmata. Terdengar nada dering hpnya berbunyi.

"Halo, apa benar ini dengan dr April? Apakah siang ini kita bisa bertemu?", terdengar suara seorang wanita yang mengenalkan dirinya sebagai istri dr Amran.

Saat istirahat makan siang April menuju restoran hotel Amarilis, yang berada beberapa blok dari RS.

Suasana hatinya sedang buruk saat langkahnya bertemu wanita setengah baya yang duduk dengan anggun, menilai penampilannya dengan cermat.

"Selamat siang Nak, silahkan duduk. Saya Lira, Mamanya Aldo." April tidak mengerti mengapa wanita ini memanggilnya untuk bertemu.

Wanita itu menawarkannya untuk memesan makanan dan minuman, namun April menolaknya dengan halus.

 "April tahu kan harapan semua orangtua, pasti menginginkan yang terbaik untuk putranya.

Sejak kecil Aldo anak yang penurut, sehingga kami tidak habis pikir kenapa dia menolak rencana perjodohan yang telah direncanakan. Kami khawatir dia menjadikan kamu pelariannya."

"Maksudnya bagaimana Tante?" April tidak mengerti ke arah mana topik pembicaraan mereka.

"Sejak kecil kami telah menjodohkan Aldo dengan putri teman kami, Irene, putri dr Soni, pemilik RS Permata Bunda.
Aldo malah menolak dan mengatakan bahwa ia menyukai kamu dan hendak melamar menjadi istri. Seharusnya putra kami mendapatkan pasangan yang sederajat dengannya." April menahan perih di hatinya.

Dia sudah menolak dengan halus lamaran Aldo beberapa hari lalu.  

Namun entah kenapa hari ini dia harus bertemu dengan Mama lelaki itu yang harus diperlakukannya dengan hormat -karena begitu sejak kecil dia diajarkan- meski kemudian terdengar kata-kata menyakitkan dari wanita ini.

"Kamu juga sudah meracuni pikiran anak saya, dia bahkan menolak keinginan Papanya untuk ambil spesialis Bedah. Ia malah memilih jurusan lain."

"Terimakasih Tante. Insya Allah kami berdua sudah sama-sama dewasa dan telah memutuskan yang terbaik."

"Baik, kalau memang itu jawaban kamu, Tante bisa simpulkan kamu adalah gadis yang sulit diajak bekerjasama.
Tante akan atur supaya kamu bisa segera resign dan pindah ke RS lain agar kamu tidak mempengaruhi pikiran putra saya."

April memandang sedih wanita di depannya yang kemudian pergi dengan wajah marah. Air matanya jatuh tanpa dapat dia hentikan.

Arkan baru keluar dari meeting room dan menuju restoran bersama beberapa klien saat tak sengaja melihat siluet gadis yang duduk di sudut ruangan dengan bahu berguncang.

"San, tolong temani tamu kita makan siang di VIP room dulu ya. Ada sesuatu yang harus saya urus." Sandi, sekertarisnya yang setia mendampingi, mengangguk dan meninggalkan Arkan sendiri.

"Hai, are you really oke?", Arkan menghampiri gadis yang kemudian berusaha menyembunyikan matanya yang berair.

"Is something bad, happened?", Mereka berdua terdiam sejenak dan April masih terisak dan menghabiskan berlembar-lembar tissue di meja.

"Maaf, saya nggak bisa nahan, bisakah Bapak tinggalkan saya sendiri?" April menunduk malu.

"Menangislah kalau itu bisa membuat kamu lega. Tapi setelah itu kamu harus bangkit.
Kamu harus yakin, bersama kesulitan itu ada kemudahan." Arkan bahkan tidak beranjak dari tempat duduknya sementara April memilih menutupi wajahnya dengan buku menu.

Lelaki itu mengambil earphone dari MP3 yang sering dibawanya.

"Dengerin ini biar kamu nggak sedih lagi," April menghapus air matanya yang masih menitik. Dia menurut. Tak lama terdengar lantunan medley Sholawat yang menyejukkan batinnya.

Hanya Allah yang tahu betapa sedih hatinya hari ini karena belum ditakdirkan berangkat ke Baitullah dan karena seumur hidupnya baru kali ini dia ditegur seorang Ibu di depan umum, melukai harga dirinya.

"Saya mau pulang Pak." April merapikan kerudungnya yang sebagian basah karena air matanya. Arkan tidak memaksa gadis itu menceritakan apa yang terjadi.

"Jangan lupa kompres pakai air es supaya bengkaknya berkurang. Kamu pulang diantar Pak Burhan ya. Saya masih ada acara disini."

April yang biasanya penuh penolakan, kali ini mengangguk lemah.

Menangis menghabiskan separuh energinya. Lelaki itu menelepon Pak Burhan dan bersama mereka menunggu di depan lobi hotel.

"Terimakasih banyak untuk semuanya. Maaf saya jadi merepotkan Bapak hari ini." April mencoba tersenyum menutupi kesedihannya.

Arkan hampir tak berkedip memandangi punggung gadis itu. Andai saja gadis ini sudah halal menjadi istrinya, tentu ia akan dengan rela merengkuh bahunya yang tampak rapuh di depannya.

Di dalam mobil, April memandangi 15 kali panggilan di layar ponselnya.

"Aldo-Cassanova. Dear April, kamu sekarang dimana? Apa benar Mamaku ketemu sama kamu? Kamu nggak apa-apa kan? I'm so worry about you."

Pesan dari Arkan juga muncul.

"Don't always pretend to be strong, sometimes you need to cry because only then you will be able to smile again."

Mungkinkah lelaki ini yang dikirimkan Allah untuknya. April memejamkan mata.

Our Journey To LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang