Saat Cinta Diuji

3.1K 444 18
                                    

Arkan menghirup kopi latte di depannya. Sesaat setelah menandatangani kerjasama dengan pria di depannya, perlahan ia meletakkan cangkir yang masih hangat.

 "Wow, jadi akhirnya kalian bertunangan?", lelaki di depannya memandang cincin putih yang melingkar kokoh di jemari Arkan.

 "Siapa gadis yang beruntung itu?" Arkan tersenyum saat Deni dengan wajah penasaran, menatapnya.

"Namanya Apriliana, saya laki-laki yang beruntung bisa mengenal dan meminangnya."

"Ooh, so sweet. Hmm... wait, sepertinya saya tidak asing mendengar namanya. Apa benar April adik kelas saya di SMP Pelita ilmu. Pak Arkan punya fotonya?"

Semula Arkan enggan berbagi foto calon istrinya, namun saat ini suasana hatinya terlalu bahagia untuk menolaknya.

Diperlihatkannya momen saat mereka bertukar cincin dan Deni terlihat serius memandangnya.

"Wow, that's really her. Dia memang April, sahabat istriku, Areita. Sorry man, aku tidak bermaksud mencampuri urusan pribadimu. Tapi apa kamu yakin akan menikahi dia?"

"Absolutely yes, kami memang melewati masa perkenalan yang singkat, namun sejauh ini kami cocok dan nyaman satu sama lain."

Deni hanya mengangguk dan ia tersenyum dalam hati. Sebentar lagi ia akan menggoyahkan hati pria di depannya.

"Kalau tidak salah beberapa tahun lalu, dia hampir bertunangan dengan lelaki bernama Raynan.

Areita yang cerita semuanya. Aku tidak ingin melanjutkan, tapi satu hal yang perlu kamu tahu, aku memberitahukan ini karena aku peduli padamu sebagai seorang teman."

Deni menghirup es kelapa muda di depannya. Sementara Arkan masih serius menyimak.

"April sudah tidak perawan. Dia sudah menyerahkan diri pada Raynan." Suara Deni yang hampir terdengar seperti bisikan, bagaikan petir yang muncul tiba-tiba di langit tanpa hujan.

Arkan terdiam. Benarkah calon istrinya tidak suci lagi?

Selama hidupnya, ia sendiri selalu menjaga kehormatan mantan-mantan kekasihnya dan ia berharap kelak akan mendapatkan mempelai wanita yang juga menjaga diri hanya untuk suaminya.

"Maaf Den, sepertinya anda terlalu jauh masuk ke dalam teritori masalah pribadi saya. Mari kita bersikap profesional sebatas rekan kerja. Saya masih harus menghadiri meeting lain setelah ini." Arkan menggulung lengan bajunya dan berdiri.

 "I'm sorry Ar, I don't mean to hurt your pride."

Arkan masih berusaha bersikap sopan, menyembunyikan rasa marah pada pria di depannya yang berani-beraninya membicarakan masa lalu calon istrinya.

Di mobil, ia memukul stir, berusaha meredam emosinya. Bukankah mereka berjanji akan saling percaya dan jujur satu sama lain.

Namun mengapa saat ini ia justru merasa terkhianati oleh angannya akan pernikahan yang agung.

 "Assalaamu'alaikum. Kamu dimana?"

 "Wa'alaikumsalam. Siang ini mau beli obat-obatan untuk klinik rumah senyum. Ada apa Kak?"

 "1 jam lagi kita ketemu di Purple café. Kita harus bicara. Penting."

"Mendadak banget Kak."

"Aku tunggu." Tak lama telepon ditutup sebelum gadis itu bertanya kembali.

Arkan sadar, tidak baik memutuskan sesuatu saat emosinya belum reda.

Tapi ia tidak tahan untuk memastikan bahwa perasaannya pada gadis itu masih sama dan tidak ternodai.

Disini ia menatap jam dinding di private room Purple cafe. Sudah empatpuluh menit namun gadis itu belum datang, memicu ekskalasi kekesalannya.

"Assalaamu'alaikum. Maaf terlambat Kak, macet." April mengatur napasnya pelan. Dia muncul dengan kerudung yang sedikit berantakan. Arkan menjawab salam sekenanya.

"Duduk, rapikan dulu hijabmu." Terdengar nada dingin lelaki itu.

"Eh maaf, tadi buru-buru naik motor kesini, jadi acak-acakan."
Arkan mulai ragu melihat gadis di depannya mematutkan diri di layar ponsel.

Benarkah ia mulai menyayangi gadis ini, namun kenapa rasa itu perlahan memudar.

"Kamu mau minum apa?" Arkan mengalihkan pandangannya pada buku menu.

"Jus kacang hijau boleh." Arkan memanggil waitress yang telah siap mencatat pesanan mereka.

"Kamu kenal Areita? Dia teman SMP kamu." Mata indah berwarna cokelat itu berbinar.

"Areita Putri? Kakak bertemu dia dimana? Iya, dia sahabat aku. Teman sebangku 2 tahun di SMP. Tapi sudah bertahun-tahun lost contact sama dia."

Jadi benar....

"Reita tahu hubungan kamu dengan mendiang tunangan kamu, Raynan?" April berubah pucat. Apa hubungannya dengan Kak Ray?

"Maksud Kakak apa, tiba-tiba menanyakan masa lalu saya?"

"Adakah hal yang belum kamu ceritakan pada saya, tentang hubungan kamu dengan Ray?"

Arkan seperti pria brengsek yang sontak membuat gadis di depannya berkaca-kaca.

"Kak, pentingkah menceritakan hal itu sekarang, di saat kita sudah memutuskan akan menikah 2 minggu lagi?" April menahan emosinya.

"Penting, sangat penting. Karena saya tidak akan pernah menerima pengkhianatan, sekecil apapun." Mata Arkan seperti sebilah pisau yang menghunus tajam ke arah April.

 "Sebenarnya apa yang Bapak maksud?" April memanggil kembali Arkan dengan panggilan yang menjelaskan kemarahannya. Suasana di ruangan itu memanas meski suhu pendingin mencapai 18 derajat.

"Apa benar kamu sudah tidak perawan lagi, saat bersama Ray? Karena kalau itu benar, saya tidak pernah rela mendapat barang second." April ternganga.

Sungguh kejam kata-kata lelaki ini. Tangisnya pecah saat itu juga.

"Teganya Bapak menanyakan itu," April mengambil tissue dan menghapus derai air matanya.

"Kalau kamu nggak menjawab, berarti itu benar." Arkan menyimpulkan dengan kejeniusannya yang seketika itu turun di titik nadir.

"Apa Bapak juga sesuci itu dengan mantan kekasih Bapak yang cantik-cantik?" April melepas cincin di jari manisnya.

"Ini saya kembalikan Pak. Saya nggak layak memakainya. Saya memang barang second sesuai pikiran Bapak. Dan Bapak adalah pria bodoh yang memilih menikah dengan saya."

"Harusnya saya yang marah sama kamu. Kenapa jadi kamu yang memutuskan sepihak seperti ini."

"Saya kecewa sama Bapak."

"Saya yang seharusnya kecewa sama kamu. Harusnya kamu bisa menjaga kepercayaan saya."

"Dan Bapak percaya begitu saja dengan fitnah itu, bahkan saat kita belum mulai berumahtangga."

"Lalu sekarang kamu bisa menjelaskan kalau saya salah?", April menghapus air matanya.

"Percuma Pak. Saya hanya bisa berdo'a semoga cincin ini bisa menemukan pemiliknya yang tepat." Gadis itu meninggalkan tempat sambil membanting pintu.

Arrrgh... kekanakan sekali. Baru kali ini Arkan melihat April marah dengan cara yang mengerikan.

Beruntung ia mengetahuinya lebih awal, sebelum mereka melangkah lebih jauh.

Our Journey To LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang