Deep Inside A Father's Mind

3K 472 9
                                    

April membuka jendela kamarnya. Wangi bunga mawar putih dalam buket berpita renda merah muda, tersimpan apik di tepi jendela.

"Let the rain ease your sadness and start your own happiness." Sebuah kartu ucapan melekat manis di depan buket bunga itu.

Semalam hujan mengguyur deras seolah mengamini kesedihannya.

Berjam-jam dia membiarkan sosok temannya menunggu di depan rumah tanpa terbesit sedikit pun keinginan untuk menemuinya.

"Kak, kasihan Aldo sudah basah kuyup naik motor kesini supaya bisa ketemu Kakak. Dia datang cuma mau pamitan."Bunda mengelus punggung April yang masih bergelung malas di balik selimut.

Kini saat dia bangun tidur, kelopak bunga cantik itu seolah menatapnya, berusaha melumpuhkan rasa sakit di hatinya.

Sebenarnya dia tidak berhak marah pada lelaki itu. Dia hanya sedih karena terlibat konflik antara orangtua dan anak tanpa tahu alasannya mengapa.

"Aku sudah ikhlas kalau kamu benci aku. Tapi aku tidak akan pernah berhenti mengejar maaf darimu.
Kamis, 28 Juni, bandara Soetta, jam 4 sore. Please meet me for the last time, as a friend." Dibacanya pesan terakhir Aldo yang terkirim pukul 23.00 semalam.

Sejak pukul 7 malam lelaki itu berada di rumahnya. Bunda yang membuatkan teh hangat dan Okto meminjamkan pakaian ganti.

Keluarganya memang hebat dan penyayang sampai semua temannya pada betah jika mampir ke rumahnya yang sederhana.

Berulangkali terdengar nada panggilan dari nomer telpon yang dikenalnya, RS tempatnya bekerja.

Dia sebenarnya malas mengangkat. Hari ini memang hari liburnya setelah beberapa hari lalu jaga malam.

"Assalaamu'alaikum, April? Alhamdulillah akhirnya kami bisa menghubungi kamu, Nak. Ini dr Amran.
Apakah siang ini ada waktu untuk bertemu? Banyak hal yang ingin saya bicarakan," suara khas kebapakan milik Direktur utama RSnya, membuatnya benar-benar terjaga.

Sungguh dia menghormati sosok lelaki itu setiap kali bertemu.

Namun bila teringat dengan sikap istrinya yang berbeda seratus delapan puluh derajat dengan beliau, hatinya kembali terluka.

Dia kini berdiri di depan pintu ruang Direktur utama dan ragu diketuknya pelan. Terdengar suara di dalam memintanya masuk.

Pria dengan wajah menyerupai temannya Aldo, menyambutnya dengan senyum hangat.

Mereka berbincang sambil meminum secangkir teh hangat yang telah disiapkan di atas meja berlapis kaca dengan hiasan kerang laut di dalamnya.

"Terus terang, saya sedih saat menerima surat pengunduran diri kamu.
Apakah kamu sungguh-sungguh akan pergi dari sini? Sementara rumah sakit ini sudah menjadi keluarga kedua kamu, Nak.
Kalau memang penyebab semua ini adalah Mamanya Aldo, saya minta maaf. Saya sudah menegur sikapnya yang keterlaluan. "

dr Amran berdiri menatap kaca jendela dari ketinggian bangunan berlantai delapan.

"Kami menikah di usia sangat muda. Sejak kecil kami dijodohkan dan selepas lulus SMA, Mama Aldo sudah menjadi pendamping hidup saya.

Maafkan jiwanya yang terkadang tidak sejalan dengan usianya. Masa mudanya terlewati ketika harus menjadi Ibu sementara teman-temannya yang lain masih menikmati bangku kuliah.
Kadang dia merasa hidup dalam dunianya sendiri dan mengharapkan kisah anaknya kelak bahagia seperti dirinya."

"Aldo dan Mamanya beruntung memiliki sosok seperti Dokter. Saya banyak belajar mengenai keshabaran menghadapi pasien dan kebaikan hati yang selalu Dokter contohkan kepada semua orang, menjadi bekal untuk saya melangkah selanjutnya.

Jujur saya masih syok dengan kejadian beberapa waktu lalu. Tapi saya akan mencoba berdamai dengan rasa sedih dan kecewa yang sudah telanjur muncul."

April menatap ke arah awan mendung yang mulai bergulung.

"Aldo akan pergi. Ia ternyata sudah lama mendaftar sebagai tenaga medis yang akan dikirim ke Palestina. Ia memang hanya bertugas satu bulan disana, tetapi keputusannya membuat kami terkejut."

Lelaki itu kembali menunjukkan kesedihannya.

"Aldo tidak pernah bercerita mengenai rencananya dan kami pun tidak pernah berusaha menanyakannya. Sepulang dari sana, ia akan melanjutkan studi untuk mengambil Spesialis Anak.

Seharusnya sudah lama kami mengetahui kecintaannya terhadap anak-anak. Ketika ia memutuskan akan pergi, kami sadar sudah terlalu lama kami mengatur hidupnya, kini kami harus merelakannya pergi dengan segala kedewasaannya bertindak."

Baru kali ini April tertegun melihat raut emosional yang muncul dari sosok pimpinan sekaligus seorang Ayah di depannya yang berusaha tampak tegar.

"Terimakasih April, karena telah menjadi bagian dari hidup putra saya. Dia benar-benar menyukai kamu Nak.

Karenamu dia banyak meninggalkan kebiasaan buruknya, dia tidak lagi merokok diam-diam bila sedang suntuk karena kamu benci asap rokok.
Dia juga sudah meninggalkan minuman keras yang dulu sering diminumnya bila ia sedang berkumpul bersama teman-temannya di klub malam." dr Amran memandangnya dengan rasa haru.

"Sekarang, apa pun keputusan kamu, saya akan menerimanya. Saya harap kamu tetap bisa bekerja disini, sampai kami merekrut dokter baru lagi bulan depan.
   
Apabila kamu berubah pikiran, kami akan selalu terbuka menerimamu kembali." Ingin rasanya April memeluk lelaki bersahaja ini yang mengingatkannya akan sosok Ayahnya yang telah tiada.

"Terimakasih Dokter, semoga ini yang terbaik untuk semuanya.
Saya juga senang menjadi bagian dari keluarga besar RS ini." Mereka berdua pun larut dalam perbincangan mengenai rencana gadis itu ke depannya.

April bercerita dengan antusias, bahwa dia dan sahabat-sahabatnya akan mendirikan komunitas "rumah senyum" untuk anak-anak dari keluarga yang tidak mampu.

Dia sudah memikirkan konsep one-stop service yang akan digulirkannya.

Disana ada rumah baca untuk anak usia SD dan juga klinik kesehatan yang akan melayani anak-anak dan keluarga yang tidak mampu. Akan ada ahli gizi yang diundangnya setiap bulan untuk memantau status gizi anak-anak.

dr Amran menyambut baik dan siap memberikan kontak teman-temannya yang bisa membantu mewujudkan proyek kebaikan di otak cemerlang gadis yang telah dianggapnya seperti putrinya sendiri.

Beginikah rasanya memiliki anak perempuan yang tidak lama lagi akan meninggalkannya.

Teringat beberapa tahun terakhir ini, gadis ini selalu memberikannya kejutan kado ulangtahun.

Kumpulan buku puisi Taufik Ismail dan sebuah pulpen Sheaffer bertinta hitam yang masih digunakannya hingga kini.

Our Journey To LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang