Alexa Fredrich (Part II)

18 5 0
                                    


       Sudah dua jam berlalu semenjak Alodia terbangun. Hari ini adalah hari terpenting yang tak dapat ia lewatkan. Dua jam mempersiapkan diri tidaklah cukup baginya, sebab hari ini adalah hari dimana Grey akan mempertemukan Alodia kepada orang tuanya.

       Berkali-kali Alodia mencoba mengganti gaun yang akan ia kenakan. Tanpa di sadari Alodia, Grey telah menantinya di ambang pintu kamar.

"Lure, aku sudah menunggumu di ruang tamu cukup lama. Kamu tidak lupa 'kan kita akan menemui orang tuaku?" Seru Grey dari balik pintu seraya mengetuknya dengan pelan.

Suara Grey dari balik pintu membuat Alodia semakin panik.

"Tentu saja tidak! Tunggu sebentaaar!!" Balas Alodia dengan cepat.

"Hahaha, apa yang membuatmu begitu lama sayang? . Ayolah.. kau bahkan tak perlu berdandan, orang tuaku pasti mengagumi kecantikan dirimu." Ucap Grey yang menyadari kepanikan Alodia dan berusaha menggoda kekasihnya.

Tiba-tiba saja pintu kamar Alodia terbuka, Grey tersenyum lebar tak percaya atas apa yang ia lihat.

"Ke.. Kenapa? A.. Apa terlihat aneh ya?" Tanya Alodia ragu dengan gaun putih panjang bermotif bunga yang ia kenakan.

"Apa maksudmu terlihat aneh? Kau sangat mirip bidadari." ucap Grey dengan tatapan lurus kearah mata Alodia.

Seketika badan Alodia memanas dan pipinya merona merah, karena mendengar Grey yang mengatakan dirinya seperti bidadari.

"Baiklah, aku rasa kita sudah terlalu banyak membuang waktu. Ayo kita berangkat." Ucap Grey yang hanya di balas anggukan kecil oleh Alodia.


       Mereka langsung berangkat meninggalkan kediaman Lorelei dan menuju rumah Grey. Di pertengahan jalan Grey baru teringat bahwa ibunya meminta dirinya untuk membelikan roti yang menjadi kesukaan sang ibu. 

       Jalanan yang mereka lewati tentu saja bukan tempat yang asing untuk Grey. Ia telah melewati tempat ini sejak kecil, karena ibunya selalu membawa Grey untuk berbelanja roti disana. Namun, tempat yang mereka lewati juga tak asing bagi Alodia. Tiap ruas jalan disana Alodia benar-benar mengingatnya, karena jalan itu menuju Latte-Matte Coffee Shop.


"Aku tidak mengingat kita harus memutar cukup jauh untuk menuju rumahmu." Ucap Alodia yang merasa resah dalam hatinya.

"Tentu saja tidak. Ibu memintaku membeli roti di tempat ini." Jawab Grey.
"Hasil panggangan roti terbaik yang pernah ada. Mengingat sekarang musim dingin, tentu saja Ibuku akan melakukan apa saja untuk mendapatkannya." sambung Grey.

"O.. Oh begitu! Sepertinya aku jadi ikut penasaran dengan roti kesukaan ibumu." kata Alodia.

Mendengar penjelasan Grey tidak membuat perasaan Alodia tenang. Ada sesuatu yang mengganjal dan membuat pikiran Alodia terganggu karena menyusuri jalan yang menuju tempat dimana ia belajar banyak hal tentang kopi.

"Alexa.."

*****


"Bagaimana bagian luar? Sudah semua beres 'kan?" tanya Irene memastikan.

"Tinggal akrilik, papan menu depan, dan beberapa tanaman mbak." jawab Mia.

"Aku rasa tanaman bisa kita tinggalkan saja disini Irene, lagi pula kita tak harus membawa semua perabotan cafe. Tidak akan muat." ucap Zedd berpendapat.

"Mbak Irene, truk pengangkut muatan sudah datang! . Mau di angkat sekarang?" cukup keras suara Robert meminta perintah dari Irene.

Sejenak Irene menundukkan kepalanya, sampai hari ini ia tak menyangka akan tiba pada saatnya untuk mengucapkan selamat tinggal pada coffee shop yang pernah ia bangun bersama sahabatnya. Irene berjalan mendekati jendela, ia berdiri menatap keluar ruangan.

Teringat dimana saat ia membuka coffee shop ini bersama Alexa...

"Suatu saat coffee shop yang kita bangun ini, akan menjadi coffee shop ternama di Rivierenbuurt! . Jangan lupa untuk menjadikanku manager jika impian kita terwujud!"

"Hahahahahaahahaha"

Telapak tangan Zedd yang hangat menyelimuti pundak Irene, ia menatap Zedden dengan mata yang berkaca-kaca. Terlihat jelas kepedihan dan rasa bersalah terpancar dari aura mata Irene, namun Zedden tak dapat melakukan banyak hal.

"Aku rasa sudah saatnya.." ucap Zedden pelan seraya mengusap lembut kepala Irene.

Irene pun mengangguk dan membalikkan tubuhnya dan berkata,
"Robert, Mia, aku ucapkan terima kasih banyak telah menjadi bagian dari Latte-Matte. Sangat menyedihkan Latte-Matte harus berakhir seperti ini.

Robert dan Mia bungkam tak berdaya melihat pancaran cahaya mata dari Irene yang telah lama menjadi bos pemilik cafe dimana mereka bekerja. Mereka tak dapat melakukan banyak hal selain membuat Irene merasa lebih baik dengan pilihannya sendiri.

"Iya mbak, terima kasih banyak telah mempekerjakan kita disini. Seandainya saja saat itu aku tidak di terima. Mungkin aku takkan bertemu dengan Robert." ucap Mia mencoba mencairkan suasana perasaan Irene.

"Sebenarnya aku juga tak memiliki keinginan untuk menutup Latte-Matte tapi..." Irene tak melanjutkan kalimatnya. 

Kembali ia lihat bingkai foto mereka berlima yang sedari tadi ia genggam.

"Tiap pertemuan selalu berakhir dengan perpisahan. Jadi, terima kasih banyak untuk kalian dan selamat tinggal." ucap Irene sambil berjalan membuka pintu menuju keluar cafe.

*****


"Bagaimana? Lezat bukan?" tanya Grey pada Alodia.

"Aku tak menyangka ternyata lezat. Hehehe." tawa manja Alodia yang semula meremehkan cita rasa toko roti kebanggaan keluarga Avalon.

"Hahahaha, Dasar! . Ya sudah cepat, kita sudah terlambat." ucap Grey meraih tangan Alodia dan menuntunnya menuju pintu keluar.

Setelah sampai di luar toko roti yang mereka singgahi, Alodia yang semula bergandeng tangan dengan mesra bersama Grey seolah-olah seperti tersambar petir. Kedua kakinya berhenti melangkah. Entah mengapa genggaman tangannya dengan Grey terlepas menyaksikan kejadian yang ia lihat.

Latte-Matte LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang