Amemoricano (Part III)

6 2 0
                                    

24 Hari Berlalu. . .

       Sudah tiga minggu berlalu semenjak Alodia memutuskan hubungannya dengan Grey. Dan tak ada hal buruk yang terjadi seperti dikhawatirkan Alodia mengenai kejadian saat itu. Karena ia benar-benar memahami bagaimana watak watak mantan kekasihnya, Grey akan selalu mencoba menghubunginya setiap kali mereka dilanda masalah, untuk itu Alodia enggan menyalakan ponsel miliknya.

       Ia memutuskan untuk membersihkan dirinya, sudah lama ia tak menikmati cita rasa kafein dalam tubuhnya, dan ia benar-benar menginginkan secangkir kopi hangat pagi ini. Seusai mandi Alodia berpakaian dan langsung menuju ke garasi. Ia tak peduli dengan penampilannya yang terlihat pucat pasi karena enggan untuk berdandan.

       Lama sekali ia tak berpergian keluar rumah, ini menjadi kali pertama semenjak Alodia menyudahi kisah cintanya dengan Grey yang penuh kepalsuan. Ia tarik perseneling kearah reverse untuk memundurkan mobilnya melewati garasi dan gerbang rumah, segera Alodia menyisir jalanan Rivierenbuurt.

       Jauh berjalan Alodia dengan pandangan kosong dari kedua matanya, ia bahkan tak tau menahu mengapa tiba-tiba saja mobilnya berhenti di sebuah tempat yang teramat tak asing dalam ingatannya, seolah tangan dan kakinya bergerak sendiri menuju tempat itu. Ia tatap dengan seksama dari balik kaca jendela yang berwarna black-purple tempat yang menjadi pusat perhatiannya.

Latte-Matte Coffeshop

Closed

Tertulis dengan jelas dalam sebuah showcase menu yang terbuat dari papan tulis kapur bertema vinteage itu sebuah bacaan.

"Maaf mengecewakan kalian para pelanggan Latte-Matte Coffee shop, kini kami tak lagi dapat menemani anda menikmati kopi. Sungguh sangat disayangkan kami ucapkan permintaan maaf, salam kami Latte-Matte Coffee Shop."

Alodia menuntun nafas berat dalam dadanya keluar, hela nafas yang berat ia lepaskan bersama pijakan halus pada pedal gas mobilnya, Alodia pun melanjutkan perjalanannya.

"Secangkir Caffe-Latte." ucap Alodia memilih menu.

Tak ada tempat lain yang dapat ia datangi untuk melampiaskan rasa rindunya menikmati cita rasa kopi, Amsterdam Surf Coffee Shop menjadi tempat yang paling tepat untuk Alodia melepaskan kerinduan itu.

Waitress yang menulis pesanan Alodia menuju barista bar, panggung untuk seorang Norman membagi karya miliknya kepada para pecinta kopi.

"Pesanan untuk meja delapan-belas tuan Norman." ucap sang waitress.

Norman membaca menu pesanan pelanggan mereka, secangkir Cafe-Latte. Menu yang sudah sangat lama tak ia buat belakangan ini, Norman tak begitu mengerti kenapa menu yang memiliki sedikit peminat itu kini muncul mengawali karya Norman, terlebih lagi menu untuk pelanggan pertama mereka.

Karena penasaran, Norman melirik ke arah meja delapan-belas dimana pelanggan pertama mereka berada. Seulas senyum tipis menghiasi wajah sang barista, wanita yang duduk menghadap coffee bar itu ternyata adalah wanita yang tak asing di mata Norman.

"Kembalilah menuju tempatmu, biarkan aku yang mengantar menu ini untuknya." ucap Norman yang langsung bergegas mempersiapkan secangkir Cafe-Latte untuk Alodia.

**Kretek..**

Norman meletakkan pesanan pelanggan pertama mereka di atas meja, dan dengan membungkuk cukup rendah Norman berkata.

"This, what you've reserved. Your highness." ucap Norman.

Tiba-tiba saja hati Alodia yang berkabut seperti terasa sangat segar, seolah angin sejuk berhembus menyapu bersih kabut yang menggumpal dalam hati Alodia. Dengan cepat Alodia memalingkan wajahnya kearah orang tersebut, berharap bahwa orang yang mengucapkan kalimat itu adalah orang yang mengajarkan dirinya banyak hal tentang kopi.

"Alex....a" 

Angin hembus yang sejuk itu kini berganti dengan gemuruh bagai topan, badai yang menghujani lubuk hati Alodia dan memaksanya untuk menerima kenyataan, bahwa orang yang berdiri di hadapannya tak seperti yang ia harapkan.

"Hmm? Alexa? . Bukan, saya Norman." ucap Norman tersenyum lebar.

Alodia membuang pandangannya dari Norman, ia langsung menatap secangkir kopi yang Norman bawakan untuknya. 

"Ini...? Ini bukaaan.."

"Iya, Ini bukan Latte. Ini Espresso. Espresso single-shoot." ucap Norman memperjelas kebingungan yang terlihat pada Alodia.

"Tapi aku tidak memasan ini." ucap Alodia pelan.

"Aku punya alasan khusus memberikan ini padamu." ucap Norman singkat.

Tak banyak hal yang dapat dilakukan Alodia selain memasang ekspresi kebingungan.

"Boleh aku duduk disini?" tanya Norman meminta untuk mengizinkan dirinya menemani Alodia.

Alodia mengangguk menjawab permintaan Norman. Norman pun langsung duduk di sofa yang berhadapan dengan Alodia, ia sodorkan secangkir Espresso ke hadapan wanita yang sempat menjadi kekasih Alexa.

"Aku tidak suka Espresso." ucap Alodia datar.

"Benarkah?" balas Norman memastikan.

Alodia menanggapi pertanyaan Norman dengan anggukan kecil, lalu ia menyodorkan kembali kopi yang dihidangkan untuknya.

"Terlihat jelas di mataku kamu orang yang sangat cocok dengan Espresso." ucap Norman beralasan.

Sekilas Alodia melirik ke arah Norman, ia menggeleng pelan berkata.
"Aku tidak mengerti rasanya yang asam dan pahit." 

"Espresso adalah sebuah bentuk dasar kopi. Biji kopi pilihan terbaik yang telah menjadi bubuk, dan disiram dengan air panas dibawah tekanan tinggi." ucap Norman menjelaskan.

"Bukankah sangat cocok dengan dirimu?" lanjut Norman dengan senyum sahaja yang sangat bersahabat.

Tak satupun apa yang di katakan Norman dapat di cerna oleh Alodia, ia kebingungan apa sebenarnya maksud barista yang sedang duduk di hadapannya.

"Aku tak mengerti apa maksud perkataanmu." ucap Alodia berterus terang.

"Sama seperti dirimu, kamu tak mengerti apa yang sedang terjadi padamu. Air panas yang di tuangkan ke dalam gelas berisi bubuk kopi akan menjadi Espresso. Begitu pula dengan dirimu." perjelas Norman.

Alodia terdiam membisu, sekarang ia mengerti perkataan Norman. Ia tak dapat membantah perkataan Norman karena sebuah kenyataan, hidup yang tengah ia alami bagaikan sebuah Espresso. 

"Hmm.. aku mengerti. Apabila bukan air panas yang di tuang ke dalam cangkir itu, maka hanya akan menjadi bubuk kopi bukan? . Rasa asam dan pahit dari Espresso, cita rasa itu tercipta karna air panas." ucap Alodia menundukkan kepalanya.

"Bukan berarti air panas yang di tuangkan itu tidak baik untuk bubuk kopi. Kamu hanya perlu memberinya sedikit ramuan agar kopimu terasa lebih nikmat, sesuai dengan apa yang kamu inginkan." sambung Norman menanggapi perkataan Alodia.

       Alodia tertegun, tanpa ia sadari Espresso yang sama sekali tak ia sukai menjadi lambang dari kehidupan Alodia. Bentuk cita rasa asam dan pahit tercipta bagaikan kehidupan yang tengah ia jalani. Sebuah filosofi dimana manusia hidup bagaikan bubuk kopi, air panas yang di tuangkan merupakan besarnya harapan setiap orang di dekat Alodia. 

       Mengemban keinginan setiap orang yang berada di dekatnya, selalu saja menjadi sosok yang di inginkan kebanyakan orang yang menaruh harapan padanya. Membuat Alodia tak sadar, kehidupannya menjadi asam dan pahit bagai Espresso. Namun sedikitpun Alodia tak keberatan menjalani hidup yang bahkan takkan mampu ia hadapi.

       Ia enggan mencampur beberapa bahan untuk kopinya, untuk kehidupannya. Alodia membiarkan hal itu terjadi begitu saja tanpa perduli apa yang akan terjadi padanya, sampai ia menikmati kopi yang ia buat. Alodia tahu benar rasa asam dan pahit akan melewati tenggorokannya. Namun tak ada yang dapat ia lakukan, perasaan itu kini tiba menghampiri Alodia. Perasaan yang tak seorang pun dapat mengubahnya. . .

Penyesalan.

Latte-Matte LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang