Heartachenut-Lattè (Part I)

8 2 0
                                    


Perlahan langkah kaki Alodia berjalan menyusuri halaman parkir Amsterdam Surf Coffeshop, dengan tatapan kosong ia berjalan menuju mobilnya dan segera masuk. Entah mengapa ia merasakan hawa dingin menyelimuti tubuhnya, memang benar salju yang terus turun menutupi tiap - tiap atap di kota Amsterdam membawa hawa dingin, akan tetapi perasaan dingin kali ini benar - benar berbeda.

Tak dapat dimengerti, ini kedua kalinya ia menghampiri Latte-Matte. Semakin menusuk hawa dingin ia rasakan, kembali Alodia tatap beranda Latte-Matte dengan lonceng berbentuk jamur di atas ambang pintu sebagai ciri khas dari coffeshop tersebut. Tanpa ia sadari, hawa dingin yang menyelimuti tubuhnya menciptakan ilusi dari puing - puing masa lalunya dahulu.

"This what you've reserved, your highness"

"Komposisi Latte yang memfokuskan rasa susu pada kopi, membuat rasa Latte sangat lah milky saat menyentuh lidah"

Perlahan semakin cepat Alodia tangkap memori demi memori dan waktu yang ia habiskan di coffeshop itu, senyum hambar menghiasi wajah Alodia untuk mengekspresikan perasan dalam hatinya. Tiba - tiba saja mata Alodia terbuka lebar memastikan sosok yang ia kenal berdiri pada ambang pintu masuk coffeshop disana, spontan Alodia membuka pintu mobilnya dan berlari kencang menuju pria tersebut.

"Robert!!" sentak Alodia mengagetkan salah satu karyawan Latte-Matte.

"Alodia!? . Apa yang sedang kamu lakukan disini? . Ehmm.. maaf tapi Latte-Matte sudah.. " belum sempat Robert menyelesaikan kalimatnya, Alodia langsung memecah basa - basi percakapan mereka.

"Apa kau tahu alamat lengkap dari Ayah Alexa!!?" tak lama setelah mengucapkan kalimat itu, Alodia menutup mulutnya.

"Ap.. Apa yang barusan ku ucapkan? Aku mencari alamat Ayah Alexa? Aku ingin menemuinya? Bodoh! Bodoh! Bodoh! . Kau yang menjadi penyebab utama semua ini terjadi, sadarlah! . Lalu apa yang ingin aku lakukan setelah bertemu Alexa? meminta maaf? . Naif sekali diriku ini .. "

Dalam gumaman dan ditemani air mata yang terbendung, Alodia sekuat tenaga menahan tangisnya.

"Maaf Alodia, Aku tidak mengetahui alamat orang tua Alexa. Yang aku ketahui, Ayahnya tinggal di Rotterdam." ucap Robert mengusap rambutnya yg tertutupi sedikit salju.

Alodia menggelengkan kepalanya berkata, "Tidak, Harusnya aku yang meminta maaf. Aku hanya..."

"Tapi kalau alamat rumah Alexa aku tahu dimana ia tinggal." sambung Robert untuk menenangkan Alodia.

Salju turun semakin lebat, ramalan cuaca meleset cukup jauh dari perkiraan. Sepertinya Rivierenbuurt akan mengalami penurunan suhu drastis untuk tiga hari kedepan. Dengan salju yang cukup lebat, Alodia berjalan menyusuri jalanan Rivierenbuurt. Ia meninggalkan mobilnya karena tak lagi dapat berjalan menyusuri salju tebal, cukup dekat dengannya ia mendapati seorang wanita yang tengah membawa beberapa kayu bakar untuk tungku penghangat.

"Hematlah sebagian kayu - kayu ini, jangan terlalu boros menggunakannya. Ramalan cuaca tidak bisa kita percaya begitu saja!" ucap wanita itu kepada beberapa pria yang membawa beberapa kayu.

"Hahaha, Baik.. Baiiik Nyonya Winnbert, kami akan menghematnya." jawab mereka serentak.

Alodia melepaskan pandangannya dari wanita itu, dan melihat ke arah rumah yang tersusun menjadi dua-belas bagian pada lantai bawah dan atas. Dan ia pun mengingat ucapan Robert,

"Alexa tinggal dua simpang dari Latte-Matte menuju utara, lima blok dari sana kamu akan menemui rumah kost berwarna hijau milik Nyonya Emma. Emma Winnbert."

Alodia berjalan menghampiri Emma, Wanita berusia lima-puluh-enam tahun itu pun menyadari bahwa ada seorang wanita yang datang menuju ke-arahnya. Emma mengusap embun dari kacamata yang ia kenakan, untuk memastikan siapa sosok wanita tersebut.

"Selamat sore, Nyonya Winnbert." sapa Alodia.

"Selamat sore, ada yang bisa saya bantu?" tanya Emma.

"Sebenarnya saya...." sambung Alodia.

"Tunggu.. tunggu.. sepertinya wajahmu tidak asing, aku pernah melihatmu." ucap Emma ragu akan ingatannya.

Alodia bingung, ia benar - benar yakin. Ini pertama kalinya ia bertemu dengan wanita pemilik kost - kostan tersebut.

Dengan senyum Alodia berkata,
"Benarkah? Apa mungkin saya yang tidak sopan melupakan pertemuan kita?" balas Alodia segan.

"Tidak.. tidak.. Aku pernah melihatmu, wajahmu tidak asing. Tapi memang sepertinya kita tidak pernah bertemu" ucap Emma yang membuat Alodia semakin tidak mengerti.

Alodia kebingungan harus menanggapi Emma bagaimana,
"Ehmmm, kalau itu ..."

"Ahhh!!!!! Ya benar!!!!! ternyata kamu orangnya!!!!" sergah Emma mengingat wajah Alodia yang tak asing baginya.

"Maaf? 'Aku orangnya' maksudnya..?" tanya Alodia semakin bingung.

Emma masuk kedalam rumahnya meninggalkan Alodia yang kebingungan, tak lama Emma datang membawa kunci.

"Sebenarnya aku tidak bermaksud untuk mengusik privasinya, akan tetapi aku harus membersihkan ruangannya. Yaa, lagipula tempat tinggalnya masih tersisa satu-bulan lagi." ucap Emma seraya tersenyum lebar memberi kunci kepada Alodia.

Semakin bingung Alodia dibuat Emma, ia bermaksud mencari tahu apakah Alexa pernah memberitahukan alamat orang tuanya kepada Emma. Akan tetapi jawaban yang ia cari adalah sebuah kunci pada genggamannya.

"Kamar nak Alexa berada di atas, nomor empat." ucap Emma.

Tak dapat berkata - kata lagi Alodia melangkahkan kakinya, berharap menemukan sepucuk surat dari sang Ayah, atau buku telepon dari keluarga Alexa.

Kunci pada genggamannya kini bersarang pada pintu, setelah beberapa kali Alodia putar, ia pun menekan gagang pintu dan mendorong pintu rumah dimana sang barista tinggal.

Alodia berjalan memasuki rumah yang di design bergaya eropa-tengah tersebut, ia melewati dapur di sebelah kiri setelah beberapa langkah dari pintu. Lalu di ikuti kasur setelahnya, tepat di depan dapur terdapat kamar mandi, dan diujung tembok tersebut seperti ada ruang yang cukup luas berhadapan dengan kasur.

"Sepertinya kost-an ini begitu sederhana, pasti ruang tamu atau lemari yang berada di balik tembok kamar mandi ini....." tebak Alodia dalam gumamnya.

Tetapi apa yang Alodia tebak tidaklah sesuai dugaannya, matanya langsung di banjiri dengan air. Semakin deras air yang keluar dari kelopak mata Alodia, ia pun menangis melihat sesuatu yang tak pernah ia duga. Alodia terduduk dengan dua lutut bertemu, sambil menutup mulut dan berusaha mengusap air mata yang menutupi pandangannya.

"Hiks, Hek! Aaaaaaargh Haaaaaa aaaaaaa" pekik Alodia dalam tangisnya.

Dinding kosong didepan kasur tempat Alexa tidur...
Terdapat kaligrafi yang di tempel dengan ratusan foto Alodia merangkai pola dan simetris wajah dirinya dengan ukuran besar. Di depan pola rangkaian foto itu terdapat sebuah kanvas yang terlukis wajah Alodia Lorelei, lukisan yang sama persis dengan rangkaian pola foto pada dinding tersebut.

Mulai tanggal mereka bertemu,
Tanggal mereka memulai hubungan sebagai seorang kekasih,
Dan rangkaian kata pada lukisan tersebut... membuat Alodia menangis keras.

Ia tak tahu, perasaan apa yang bersemayam di dalam hatinya. Alodia sangat bahagia melihat lukisan itu, tapi di lain sisi hatinya bagai molekul tak beraturan yang siap meledak dalam hitungan mili-detik.

"Apa... apaaa... ap..a yang telah kulakukan...."

Dengan wajah dipenuhi tangisan, Alodia mengangkat kepalanya melihat lukisan dan kaligrafi dari foto tersebut. Isak tangisnya semakin kuat kala ia mengingat senyum sang barista yang penuh kepalsuan, denyut nadinya serasa berhenti mengingat ia selalu membohongi Alexa, tubuhnya menggigil kedinginan teringat akan hari dimana Alexa menikmati tengah malam bermandikan air hujan menanti kehadirannya.

"Ma.. Hiks, Hiks, Maaaf..." ucap Alodia dengan penuh rasa bersalah.

"Tak ada yang perlu dimaafkan, sekarang keluarlah.."

Alodia terkejut seolah jatuh dari gedung dengan ketinggian seratus kaki. Ia putar kepalanya memastikan suara yang sangat ia kenal.

"Keluarlah, sebelum perbuatan mu ini dianggap pencuri." ucap Alexa.

***

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Dec 09, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Latte-Matte LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang