43. Inner Beauty

730 116 36
                                    

Bacanya pelan-pelan aja :)
Aku menangis...
***

"Iva? Di Singapura?"

Jennie dan lainnya kini memfokuskan pandangannya menuju Jisoo yang baru saja tidak sengaja keceplosan. Sementara sang empu kini hanya bisa menatap teman-temannya balik dengan mata ketakutan.

"Nek. M-maksud lo apaan? Iva ngapain di Singapura?" Jennie kembali bertanya dan sama sekali belum ada jawaban dari Jisoo.

Batinnya kini bergelut untuk memilih menceritakannya saja atau tidak. Ia takut jika dirinya memberitahukan keadaan Iva, pasti mereka akan kaget, risau, sedih dan ditambah lagi Jennie yang tengah hamil tua. Tapi jika tidak pun ini sudah terlanjur terbeberkan.

Jisoo menggigit bibir bawahnya keras-keras, sampai desakan kini menghujani dirinya.

"JISOO!" pekik Jennie yang sudah terlampau gemas.

Jisoo terkesiap dari tundukannya, sementara Lisa dan Rose berusaha menenangkan Jennie yang sudah marah.

"Sebenernya gua bukannya gak mau ceritain ini ke kalian. Iva yang minta," akhirnya Jisoo buka suara. Semua menyimak.

"Iva...Kena kanker otak stadium akhir, Jen."

Petir maha kencang seolah menyambar Jennie dan lainnya. Jantungnya seolah berhenti bekerja dan matanya melotot tak percaya apa yang baru saja Jisoo katakan tentang keadaan Iva sekarang.

"Kanker otak?" ulang Lisa.

Jisoo mengangguk kecil. "Awalnya gua juga kaget sama kayak kalian. Bahkan gua sampe nangis semalaman setelah tau ini dari Jin."

"Jin yang mengurus pengobatan Iva. Dosennya punya kenalan dokter yang ahli menangani kanker, jadinya mau gak mau Jin juga terlibat di sini. Dan kemarin gua habis jenguk Iva di Singapura bareng Jin. Terus—"

"Kenapa lo gak kabarin kita, Nek?!" tanya Rose.

"Gua mau kabarin kalian, tapi Iva minta gua buat sembunyiin semuanya!" jawab Jisoo.

"Tapi seenggaknya sebelum lo jenguk Iva, pas pertama kali lo tau itu harusnya kasih tau! Kenapa diem aja?"

"Gu-gua... Gua bingung. Gua takut kalo—"

Jennie bangkit dari duduknya dan otomatis yang lainnya mendongak lalu ikut berdiri. Dengan air mata yang sudah membendung di pelupuk, Jennie berusaha untuk tegar dan tidak menangis. Jika boleh jujur, hatinya luar biasa sakit. Sangat perih rasanya saat tau keadaan Iva yang sangat menyedihkan.

"Jen..."

"Pulang!" ucap Jennie singkat dan dingin entah pada siapa.

"Jen, gua minta maaf udah—"

PLAKKK!

Satu tamparan melayang di pipi kiri Jisoo yang berniat minta maaf oleh Jennie yang kini menatapnya tajam dengan mata merah berair.

Giginya menggertak, rahangnya beradu dan tangan bekas menampar Jisoo kini bergemetar hebat.

"Tega lo, Ji. Tega," kata Jennie dengan suara bergetir.

"Lo kira kita ini siapa sampe bisa-bisanya lo nyembunyiin keadaan Iva yang..."

Jennie tak melanjutkan ucapannya karena tak kuat lagi. Badannya tiba-tiba lemas dan ia pun terduduk di sofa kembali. Tubuhnya bergemetar seru dengan tangisannya yang terdengar semakin kencang.

Sementara di tempat yang sama, Jisoo hanya bisa menangis. Bukan menangis karena sakitnya tamparan Jennie, melainkan meratapi kebodohan dirinya yang menyimpan semua rahasia ini pada mereka.

How To Be PapaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang