36. Diagnosa Iva (2)

1K 168 27
                                    

Jangan lupa VOTE dan COMMENT 😉

Saran, baca ulang part sebelumnya deh biar dapet feel-nya
****

Sudah takdir dia menjadi pasanganku...

Sudah takdir aku menjadi pendampingnya...

Sudah takdir kini kami bersama, dan...

Sudah takdir jika kami memang harus berpisah.

Masa remaja.

Aku ingin kembali ke masa itu. Masa dimana kami masih tak memperdulikan tanggung jawab dan sebatas menjalin asmara. Damai dan bahagia, walau nyatanya tak semulus ekspetasi, namun itu terlampau indah jika dibandingkan dengan keadaan sekarang.

Keadaan dimana kami sudah berkomitmen untuk terus bersama. Bukan hanya sebatas kasih remaja biasa, namun hubungan antara Adam dan Hawa untuk menciptakan keturunannya.

Beragam cita, impian dan mimpi yang sudah kami rencanakan, kini harus kandas dengan begitu mengejutkannya.

Penyakit ini datang, mungkin sudah lama menunggu untuk waktunya ia tiba. Yang kupikir dulu hanyalah penyakit biasa, kini ia berkembang menjadi cobaan yang penuh rasa.

Di malam ini, bulan dan bintang serta langit malam menyaksikan bagaimana kondisi kami yang terlarut dalam kesedihan, kebingungan dan keputusasaan. Hingga entah setan dari mana mengambil akal sehat pria tampan di sampingku ini, memutuskan untuk bunuh diri.

Ketika laju mobil kami beradu dengan kecepatan kereta api, aku merasa hidupku kini seolah seperti kapas yang tinggal menunggu waktu untuknya terbang. Aku tak memikirkan apapun, bahkan melihat barang sedetik saja tidak karena aku menutup mataku sangking takutnya.

Dengan nafas memburu, aku melihat Chanyeol yang sedang menangis dengan kepala yang bertumpu pada stir mobil.

"Mas," panggilku. "Kamu gak perlu ngelakuin hal kayak tadi."

Chanyeol hanya diam dalam tangisnya. Ia menyesal.

Aku yang kini mati ketakutan pun berusaha menenangkan diri. Kemudian kugenggam tangan Chanyeol yang masih memegang erat pada stir.

"Mas, a-aku gapapa," ucapku berusaha menahan tangis.

"Aku tau ini berat, dan...kita pasti bisa jalani semua cobaan ini."

Chanyeol semakin terisak. Bahunya turun naik di depan mataku. Aku gak sanggup melihatnya seperti ini. Jujur, melihatnya menangis kencang seperti ini, jauh lebih sakit daripada penyakit yang kurasakan.

Hatiku seperti diremas kuat oleh dua tangan besar. Sesak dan aku... Tolong, jangan menangis.

"Mas-"

Aku bungkam saat Chanyeol menarik tubuhku ke dalam pelukannya yang erat. Ia benar-benar merengkuhku seolah enggan lepas. Aku bisa mendengar suara tangisnya menelesik telingaku. Jauh lebih jelas dan jauh lebih menyakitkan.

"Aku mohon, kamu jangan pergi..." ucapnya dengan tangisan kencang.

"Aku gak mau kamu pergi, Va... Biarin. Biarin aku aja yang sakit. Asal jangan kamu, Va! Aku mohon..."

Air mataku turun dengan deras. Rasanya hatiku perih saat Chanyeol mengatakan itu. Aku pun mengelus punggungnya yang lebar.

"Mas... Jangan kayak gini. Kita harus ikhlas nerima semua cobaan ini. Aku, kamu dan anak-anak, kita semua pasti bisa terus bersama."

Perlahan, Chanyeol melepas pelukannya. Ia menatapku nanar dengan air muka berantakan, namun tetap tampan seperti biasanya. Walau pipinya kini gemukan entah aku kasih makan apa.

How To Be PapaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang