Chapter 18

972 92 1
                                    

Bel pulang sekolah berbunyi dengan nyaring, membuat seluruh penghuni sekolah berhamburan keluar dari kelas mereka masing-masing. Tak terkecuali Elena, ia adalah siswi terakhir yang meninggalkan kelas.

Kini Elena berjalan pelan ke arah lokernya, sesekali ia melirik ke samping, jauh di sana ada Sean dengan wajah datarnya. Elena tidak peduli, meski pemuda itu dengan lancang menciumnya waktu di perpustakaan.

Perasaan itu semakin melekat di hatinya. Elena tidak tahu cara membunuh perasaan itu. Tapi, semakin hari perasaan itu semakin bertambah kala ia melihat mata samudra Sean yang sempurna. Apalagi bayangan tentang ciuman itu, semakin mempersulitnya untuk melenyapkan perasaannya.

Elena pun menutup pintu lokernya setelah seleseai meletakan beberapa buku di dalam sana lalu melangkah ke arah Sean, bukan untuk bertemu dengannya tapi itu adalah satu-satunya jalan untuk keluar dari gedung sekolah. Elena terpaksa harus mengambil jalan itu. Sean masih berdiri di sana, seolah menunggu untuk membunuhnya.

Elena beberapa kali menghela nafasnya seketika ia harus mendadak berhenti, tiba-tiba saja sesuatu seperti memaksa untuk masuk ke dalam kepalanya. Seolah seperti jarum besar yang sedang menusuk kulit kepalanya. Tubuhnya perlahan melorot ke bawah dan terduduk di lantai, sembari memegangi kepalanya yang terasa sangat sakit. Samar-samar Elena melihat Sean menghampirinya, pemuda itu terlihat panik. Seketika kegelapan menghampirinya.

•••

Elena membuka matanya, ia tidak melihat cahaya sedikitpun, apa ia buta? Entahlah. Ini seperti sebuah ruangan yang gelap. Perlahan Elena melangkah dan melihat cahaya di ujung sana. Ia pun mendekatinya, dilihatnya seseorang, tepatnya seorang laki-laki yang membelakanginya di bawah cahaya itu.

Elena tidak membuka suaranya, ia memperhatikan punggung tegap itu. Terlihat seperti Sean, tapi entahlah. Elena tidak tahu. Ia pun mencoba untuk menyentuh punggung itu.

"Aku tidak mengerti," ujar pria itu, membuat Elena menarik tangannya kembali sebelum menyentuh punggung tegap itu.

"Takdir apa yang kau tulis?" tanyanya, entah pada siapa. Mungkin pada Elena, karena hanya mereka berdua saja yang ada di sini.

Pria itu berbalik, Elena membulatkan matanya. Sekilas terlihat seperti Sean. Tapi, tidak mungkin. Wajah pria itu lebih dewasa dan tegas dibanding Sean. Namun, pria itu sedikit mirip dengan Sean. Ah, Elena tidak mengerti.

"Kenapa kau membuatnya semakin rumit?" tanyanya lagi dengan nada dingin dan wajah yang terlihat datar.

Elena masih diam, tidak tahu apa yang dibicarakan pria itu. Pria itu pun mendekatkan wajahnya. Elena hanya bisa menatap tajam.

"Apa yang sebenarnya kau inginkan? Aku masih ingat kata terakhirmu. Kau juga akan kembali padaku. Tapi kenapa kau melawan takdir yang kau buat sendiri?" tanyanya pelan, tapi terdengar membentak.

"Apa yang kau bicarakan? Siapa kau?" tanya Elena balik.

Pria itu menggeleng. "Kau tidak boleh melawan takdir yang kau buat sendiri. Aku mencintaimu, jangan paksakan perasaanmu. Kita memang ditakdirkan untuk kembali dan bersama," ucapnya, semakin membuat Elena bingung.

Elena menundukan kepalanya lalu menggelengkan cepat-cepat. Entah di mana ia sekarang ini, Elena ingin keluar dari sini.

Pria tadi itu sudah pergi, Elena masih tidak mengerti. Ia pun kembali merasakan sakit di kepalanya. Elena memejamkan matanya, kepalanya berdenyut nyeri. Ia pun jatuh terduduk di lantai ruangan gelap itu. Sesuatu seperti ingin keluar dari dalam kepalanya. Elena pun memukul-mukul kepalanya sendiri, tidak kuat dengan rasa sakit itu.

Lalu Elena membuka matanya, terkejut. Ia tengah ada di pelukan seseorang. Elena tidak tahu siapa orang itu. Orang itu mepelas pelukannya dan merapikan rambutnya, semakin menutup mata kirinya.

ROSE DEATH ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang