Chapter 51

729 64 8
                                    

Seikat bunga mawar putih berada dalam genggamannya. Melangkah perlahan di antara taburan kelopak bunga mawar yang menjadi lintasan menuju suatu tempat di depan sana. Di sampingnya berdiri seorang pria yang menggiringnya dengan tatapan lurus ke depan. Pria yang tak lain adalah ayahnya.

Elena tidak mampu mengatakan ini adalah hari bahagia ataupun hari bersejarah dalam hidupnya. Mengetahui semua fakta tentang dirinya, dan kisah masa lalunya yang menyedihkan. Seakan meluluhkan hati Elena untuk memaafkannya, meskipun pada awalnya merasa dikhianati.

Beberapa orang tampak menaburi kelopak bunga mawar ke arahnya. Menghujani kain selubung yang menutupi kepala dan wajahnya serta gaun pengantinnya yang menjuntai indah menyapu seluruh kelopak mawar itu.

Perasaan yang tidak mampu Elena lontarkan ketika melihat sosok pria yang berdiri menunggunya di altar. Betapa Elena sangat menyayanginya, selalu ingin berada di dekatnya sampai kapanpun. Mungkin itulah alasan yang membuat Elena memutuskan untuk menerimanya demi membalas semua yang sudah dilakukannya selama ini.

Namun, apakah setelah ini perasaan Elena akan berubah terhadap dirinya? Mungkinkah Elena bisa mencintainya? Perasaan itu seakan dibendung oleh sesuatu yang besar, seperti tidak mengijinkannya untuk mencintai seseorang. Seakan di luar sana ada hati yang terluka karena Elena berada di tempat ini—di altar suci dan sakral ini.

Pandangan Elena hanya pada seikat bunga dalam gengamannya saat sampai di atas altar. Jiwanya seakan bergetar saat pria yang berada di hadapannya mulai menyingkap kain selubung yang menutupi wajahnya. Lalu perlahan Elena mengangkat kepala, detik itu juga dirinya terkesiap menarik napasnya dalam jangka waktu yang cukup lama.

Tiba-tiba tidak terlihat siapapun di sana, hanya dirinya seorang dalam keheningan yang pekat. Hiasan bunga mawar putih yang mengisi seluruh penjuru tempat itu perlahan gugur. Seakan menggambarkan hati yang rapuh, begitupun seikat bunga mawar putih dalam genggamannya perlahan layu dan mati. Tadinya ia pikir ini nyata.

“Tidak ada seorangpun yang bisa menggantikanku mendampingimu di sana.”

Di sebrang sana berdiri seorang lelaki tampan. Menatap Elena dengan tatapan yang tajam, namun mata itu masih terlihat indah bak samudra yang membentang indah di antara selaput putih tak berarti.

“Charles,” gumam Elena.

Nama itu muncul tiba-tiba dalam pikirannya. Merasa dejavu untuk sekian kalinya. Seperti mengenalnya cukup lama, serta nama yang baru saja terucap dari bibirnya menandakan bahwa mereka pernah dekat sebelumnya. Begitulah gambaran yang terkangkap dalam benak Elena; masalalu.

Elena melangkah cepat menjauhi altar, melempar bunga layu tak berarti dalam genggamannya. Air matanya mengalir tanpa sebab. Kelopak bunga yang mengiringi langkahnya tersapu kencang karena hembusan gaun pengantinnya yang menjuntai lebar.

Ditabraknya keras tubuh tegap itu, tanpa ragu memeluk lelaki itu untuk menyalurkan rasa rindu yang membelenggu perih dalam hatinya belakangan ini.

“Maafkan aku,” lirih Elena sembari meletakkan kepalanya di dada bidang lelaki itu. Rasa bersalah tanpa sebab menyelinap begitu saja dalam perasaannya. “Aku sadar, kaulah alasan mengapa aku merasa begitu bersalah,” tandasnya.

“Kau begitu sangat asing dalam pikiranku, tapi aku bisa merasakan kedekatan yang sangat dalam denganmu,” kata Elena dengan tenang meski air mata telah mengalir dari matanya.

“Kita memang sangat dekat, tapi kau telah kehilanganku dalam pikiranmu. Jadi temukan aku, bawalah diriku kembali padamu, ke dalam pelukan dinginmu yang menyimpan kehangantan.” Lelaki itu membalas pelukan Elena dengan satu tangannya.

“Aku sangat takut kau bersama orang lain—di sana.” Lelaki itu menatap altar terbengkalai itu, dengan mawar putih yang berguguran.

“Kau adalah mawarku... yang selalu ingin aku dapatkan meski beberapa kali aku gagal menyentuhmu. Karena duri-duri tajam itu selalu mengahalanginya,” kata lelaki itu membuat Elena semakin erat memeluknya.

ROSE DEATH ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang