Chapter 24

966 103 5
                                    

Sean membuka matanya perlahan-lahan, cahaya terang pun menyerang penglihatannya hingga ia harus mengerjapkan matanya beberapa kali guna menyesuaikannya. Ia mencoba untuk bangkit, namun kepalanya tiba-tiba terasa amat sakit dan akhirnya ia kembali terbaring.

Sean menatap sekelilingnya sembari memegangi kepalanya yang sudah berbalut perban, tidak lupa juga dengan lengannya. Sean baru sadar kalau ia berada di rumah sakit. Sekarang seseorang terlihat terburu-buru memasuki ruangan yang ditempatinya ini. Seorang wanita paruh baya yang tak lain lagi adalah ibunya —Gracie.

Gracie buru-buru menghampiri Sean dan duduk di kursi yang ada di samping ranjangnya. Menggenggam jemarinya sembari tersenyum bahagia. Namun Sean, menampakan raut bertanya-tanya dan kebingungan. Benar-benar lupa apa yang telah terjadi padanya. Semoga saja ia tidak mengalami amnesia.

"Bagaimana keadaanmu sayang?" tanya Gracie dengan raut khawatir sekaligus bahagia.

"Aku baik-baik saja bu," jawab Sean sekenanya sembari tersenyum ringan. Ia masih tidak ingat apa yang terjadi pada dirinya sampai-sampai ia ada di tempat ini. "Berapa lama aku di sini?" tanyanya, lalu bangkit terduduk dan Gracie membantunya.

"Hampir 24 jam," jawab Gracie dan mengusap punggung tangan Sean dengan sayang. Gracie tidak pernah sekhawatir ini sebelumnya, anak kesayangannya itu hampir membuatnya ingin bunuh diri. "Baiklah, ibu harus menemui dokter," ucapnya beranjak dan mencium pelipis Sean sekilas dan berlalu keluar dari ruang rawatnya.

Sean menghela napasnya. Perasaannya kini tidak tenang, entah apa penyebabnya, ia merasa seperti ada sesuatu yang salah.

Lagi-lagi, ada yang memasuki ruang rawatnya. Seorang gadis berambut panjang dan juga seorang pemuda pirang. Anehnya Max terlihat sedikit berantakan, wajah sahabatnya itu sedikit terluka.

"Sean!" teriak Anne terburu-buru menghampirinya dan memeluk tubuhnya. "Aku senang sekali kau sudah sadar." Lalu melepas pelukannya dan tersenyum.

Lain halnya dengan Max, pemuda pirang itu dengan santai melewatinya dan duduk di sofa ruangan itu sembari mengangkat kakinya, seolah sedang merasa malas dan tidak peduli dengan keadaan sahabatnya. Sean pun merasa heran.

"Max, apa yang terjadi?" tanyanya.

Max menatap sinis ke arah Sean. "Setelah kau memukuliku kemarin, kau masih bertanya apa yang terjadi padaku? Hah, lucu sekali."

Sean pun mengerutkan dahinya sejenak berusaha mengingat sesuatu. Tiba-tiba terlintas ingatan tentang suatu kejadian di mana ia memukul Max abis-abisan, dan juga alasan di balik itu. Sean mengubah ekspresinya dan perasaan jengkel pun kembali ia rasakan setelah mengingatnya. Sean pun melayangkan tatapan paling tajam ke arah Max, bahkan sekarang mereka saling adu tatap dengan aura suram yang menyelimuti ruangan itu.

Anne yang berada di tengah-tengah mereka berdecak kesal. "Tolong hentikan pertengkaran yang terjadi di antara kalian. Seharusnya kalian saling mengkhawatirkan dalam keadaan seperti ini," nasihatnya lalu beralih menatap Sean. "Dan Sean, berterimakasihlah pada James karena dia yang membawamu kemari."

"James?" tanya Sean memperdalam kerutan di dahinya.

"Iya. Dan hal buruknya adalah... dia menuduhmu bersalah atas hilangnya Elena," jelas Anne membuat Sean membelalakan matanya seketika.

Sebuah ingatan kembali menghantam kepalanya, di mana Elena menyelamatkannya dari sebuah pisau, di mana pada akhirnya benda itu berhasil menggores lengannya dan gadis itu diculik oleh seorang pria berjubah hitam dan aneh. Sean merasa takut pria itu melukai Elena dan ia tidak bisa berbuat apa-apa.

Tiba-tiba seseorang mengalihkan perhatiannya karena telah membuka pintu ruang rawatnya dengan kasar. Seorang pria yang tak asing bagi Sean, pria itu mendekatinya dengan rahang yang mengeras. Dan Sean harus bersiap-siap mendapat amarah dari pria overprotektif itu. Sean yakin jika pria itu adalah James, kakak Elena.

ROSE DEATH ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang