Chapter 19

959 95 4
                                    

Setelah kelas pertama selesai, Elena menuju kantin dan duduk di sudut ruangan —seperti biasanya. Tidak lupa sekarang ia ditemani secangkir teh panas dan sandwich.

Jangan tanyakan bagaimana Elena memesannya. Ia hanya perlu datang ke meja kasir dan diam sampai pekerja di kasir itu menanyakan apa yang ia inginkan. Raut wajah pekerja itu pun sedikit tegang, seperti melihat psikopat yang akan membunuhnya. Elena tidak bisa membayangkan jika dirinya sekejam itu.

Elena pun kembali membuka buku dan membacanya, jauh di sana ada Sean yang memperhatikannya. Elena tahu, tapi ia pura-pura tidak menyadari.

Setelah Sean lancang menciumnya kemarin, rupanya pemuda itu masih berani menampakan wajahnya. Elena menurunkan bukunya dan menatap tajam Sean, tapi pemuda itu menatapnya lebih tajam.

Baik, ini bukan perlombaan tatap-tatapan. Elena berdecak dan kembali membaca bukunya. Ketahuilah, buku itu masih menjadi media untuk menghindari tatapan Sean.

Tak lama setelah itu seseorang menyentuh bahunya. Ia pun sontak menoleh ke belakang, namun tidak ada siapa-siapa. Elena tidak peduli dan tiba-tiba wajah Carl ada di hadapannya. Sampai Elena harus memukul wajah sialan itu dengan bukunya.

"Aw, astaga, kau hampir membuat wajah tampanku hancur," ringis Carl. "Kau sadar? Pukulanmu itu selalu menyakitkan meski kau melakukannya dengan pelan."

"Maaf," kata Elena singkat.

Carl terlihat memeriksa wajahnya akibat perbuatan Elena. Setelah itu Elena pun menoleh ke arah Sean, pemuda itu masih menatapnya tajam, namun sekarang dengan rahang yang mengeras.

Sean pun mengebrak meja dan pergi dari sana. Sontak semua pandangan mengarah pada Sean, termasuk Carl.

Elena tahu apa yang terjadi dengan Sean saat ini. Pemuda itu cemburu. Ya —sama seperti yang Elena alami kemarin saat melihat Sean dengan Alice. Perasaan itu sedikit terluka.

"Ada apa dengan orang itu?" tanya Carl heran dan kembali menatap Elena.

"Aku tidak tahu," balasnya. Elena masih memandang Sean dan sekarang sudah lenyap dari pandangan matanya.

"Kurasa dia stress berat," kata Carl tertawa. Elena pun menatap Carl tajam dan pemuda rambut ikal bergelombang itu menghentikan tawanya.

"Baiklah, kau selalu menakutiku dengan wajah serammu itu," ujar Carl mengerucutkan bibirnya. "Omong-omong bagaimana kelasmu hari ini?" tanya Carl.

"Biasa saja," balas Elena singkat.

Carl mengangguk kecil. "Kau tahu? Tadi saat aku memasuki kelas, aku tidak sengaja menabrak seorang gadis. Dia marah-marah, gadis itu galak sekali," Carl bercerita.

"Lalu?" tanya Elena mencoba mendengarnya dengan baik.

Carl tersenyum. "Aku tidak percaya akan menabrak seorang gadis di hari pertamaku bersekolah di sini. Seperti cerita fiksi remaja yang pernah aku baca, tapi mereka akhirnya saling jatuh cinta akibat pertemuan tak sengaja itu," kata Carl. "Tapi kurasa itu tidak akan terjadi padaku," lanjut Carl lagi.

Mendengar cerita Carl, Elena menjadi ingat waktu pertama ia masuk sekolah ini dan ditabrak oleh Sean. Namun Elena tidak mau jatuh cinta pada Sean, tapi faktanya ia sudah jatuh cinta pada pemuda itu. Cerita fiksi itu mungkin benar. Tapi Elena harus membuang jauh-jauh perasaannya, sebelum perasaan itu semakin dalam.

"El!" panggil Carl berhasil mengusir lamunannya.

Ia melihat Carl sedang menyeruput teh panasnya. "Carl kau—" jedanya.

"Aku hanya ingin membantumu untuk menghabiskan teh ini," ujar Carl dan kembali menyeruput teh panas itu.

Elena memutar matanya malas —biarlah. Bagaimanapun Elena berusaha menghangatkan tubuhnya. Tetap saja suhu tubuhnya akan kembali dingin, mungkin sedingin mayat dalam es. Jangan dipikirkan! —ia hanya bercanda. Maybe.

ROSE DEATH ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang