Seseorang dengan tubuh jangkung dan gagah dengan sebuket bunga di tangannya sedang berjalan menyusuri setapak jalanan yang akan mengarahkannya ke tempat tujuan-nya. Sesekali ia menoleh pada sisi samping kanan dan kiri, memandang beberapa tempat peristirahatan terakhir orang-orang yang tidak ia kenal.
Hari semakin sore dan senja yang semakin memunculkan dirinya dengan sangat indah. Sedikit menyesal ia kemari dengan keadaan tidak rapi seperti biasanya karena baru saja selesai pulang dari aktivitas pekerjaannya. Namun meskipun begitu, dia rasa itu tidak masalah karena rasa rindu terhadap orang terkasihnya lebih besar.
Dan tak sampai 5 menit ia sudah ada di hadapan tempat peristirahatan terakhir orang yang membuatnya rindu hingga membuatnya susah tidur.
Ia menumpuhkan salah satu lututnya untuk menjadi tumpuan dirinya setelah itu meletakkan sebuket bunga cantik itu di samping nisan seseorang yang sangat ia sayangi.
"Apa kabarmu, Noona?" Celetuknya setelah itu tersenyum kecil, menggambarkan kesedihan.
"Apa kau sangat bahagia disana hingga kau tidak pernah lagi datang ke mimpiku?" pria itu mulai bicara sendiri sambil terus memandang sebuah foto kakaknya seraya tangan terus mengelus lembut nisan itu.
"Appa sudah menceritakan semuanya, Noona—" Memberi jeda dengan menghirup udara untuk memenuhi paru-parunya yang sekarang terasa sesak.
"—Kau pasti saat itu sangat kesulitan, ya? Harusnya kau memberi tahuku, menceritakan semua padaku, Noona." Ujar Yuri; Pria itu yang beberapa kali matanya berkedip untuk menahan dirinya agar tidak menjatuhkan air mata.
"Aku adik Noona satu-satunya, kan? Setidaknya kau bisa membicarakan kesulitanmu padaku."
Maka sudah tidak kuat, Ia menunduk lebih dalam bermaksud menyamarkan air mata-nya agar tidak terlihat setidaknya di depan makam kakak-nya, "Mianhae, Noona—" Ucapnya sengau.
"—Harusnya aku bisa lebih memahami mu, melindungimu dan menjadi sandaranmu."
"Maafkan aku karena tidak tahu apa-apa pada saat itu. Aish, kau membuat ku terkesan tidak berguna Noona, itu menyakitkan."
Lalu selama lebih dari sepuluh menit Yuri terus berada di sana, menumpahkan seluruh emosinya di depan makam kakak yang sangat ia sayangi.
"Aku akan pulang—ah ani, aku akan menemui Eomma juga setelah ini." Ujarnya setelah dapat menenangkan dirinya.
"Tenanglah, aku tidak akan membuat kekacauan dan menyakiti hati Eomma dengan tiba-tiba datang melimpahkan segala kemarahanku, aku bisa menahannya. Lagi pula aku juga tidak ingin di sangka orang gila karena marah-marah di makam orang yang sudah tiada," Terkekeh sedikit lalu ia melanjutkan ucapannya, "Aku hanya menjalankan kewajibanku sebagai anak." Menghela nafasnya lalu perlahan berdiri.
"Aku harus pergi, kekasihku pasti sudah pulang sekarang dan sedang menungguku, lain kali aku akan mengajaknya menemuimu. Pastikan kau bahagia selalu. Annyeong."
◽️◾️◽️◾️
Apa yang harus aku lakukan sekarang?
Apa aku harus benar-benar jujur saja pada Yuri?—tapi bagaimana jika ia malah belum siap untuk menerima keadaan ini?
—Tapi jika aku tidak bilang, aku juga tidak bisa merahasiakan ini terlalu lama... tapi kalau aku bilang aku takut malah akan menjadi masalah dalam karier-nya.
Jessica masih terus mondar mandir di dalam kamar utama seraya menggigit kuku jarinya dengan gelisah. begitu banyak kata 'tapi' yang terus berputar-putar dalam pikirannya seiring dengan gerak mondar-mandirnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
YOU'RE MINE •Yulsic [Completed]
FanfictionKebahagiaan atau malah jadi penderitaan untuk Jessica saat bertemu dengan dosen baru yang dingin dan menyebalkan? Warning⚠ ▶21+◀ [TOLONG YG DI BAWAH UMUR DI MOHON UNTUK TIDAK MEMBACA] ▶bahasa baku◀ ▶tidak sesuai real life◀ ▶hanya imajinasi◀ ▶Gender...