“ARGHHHHHH,” Ditendangnya pintu kamarnya itu hingga otomatis terbuka dengan kasarnya. Setelahnya, dia langsung mengacak seluruh isi kamarnya mulai dari bantal, selimut, bahkan isi meja belajarnya pun tak sedikit pun mendapat belas kasihan dari pelampiasan kemarahan seorang Adit.
Setelah semuanya hancur berantakan bak kapal pecah, tubuh Adit langsung merosot ke bawah dengan punggung yang bersandar pada salah satu tembok di kamarnya. Diacaknya rambutnya itu dengan frustasi. Dan tanpa sadar, air mata langka berhasil lolos dari pelupuk mata Adit. Adit menangis tanpa isakan sedikit pun. Dan tahukah engkau? Menangis dalam diam itu jauh lebih menyakitkan dibanding menangis meraung-raung.
Mendengar keributan yang begitu kerasnya dari kamar Adit, Rani selaku sang ibu langsung berhambur menuju kamar putra satu-satunya itu. Matanya terbelalak kaget melihat keadaan kamar putranya yang begitu berantakan bak kapal pecah. Dihampirinya putranya itu yang sedang berlutut dengan wajah yang dibenamkan dalam tekukan lututnya itu. Rani menatap putranya itu prihatin karena ia tahu, Adit sekarang sedang menangis. Ditambah dengan keadaan kamarnya yang begitu tak bersahabat, ibu dari salah satu kembaran itu memahami betul jikalau putranya itu sedang dalam masalah.
“Adit,”panggil Rani dengan lembutnya sembari mengelus puncak kepala Adit dengan kepalanya.
Merasa ada seseorang yang mengelus puncak keplanya, Adit refleks mendongak menatap sang ibunya itu dengan tatapan sendu. Matanya terlihat memerah karena menangis. Walaupun dia cowok, jadi wajar saja kan jikalau dia menangis? Dan ini kali keduanya seorang Adit menangis setelah waktu lalu saat ia mengetahui hidupnya takkan lama lagi karena penyakit yang diidapnya itu. Dan sekarang dia menangis karena seorang gadis. Yah siapa lagi jika bukan LUTFIA DHANI FADLIKA.
“Kamu kenapa sayang? Cerita sama mama.” ucap Rani sembari menghapus air mata yang terus saja mengalir dari pelupuk mata putranya itu. Yah, biarkan saja orang lain menganggap Adit cowok yang cengeng untuk saat ini.
Untuk sejenak, ditatapnya manik mata Rani yang tak jauh beda dari manik mata yang ia juga Rama miliki itu. Sejenak, ada keraguan yang menggerogoti hatinya kala mengingat kalimat pedas yang baru saja Dhani ucapkan tadi. Dan—benarkah itu?
“Siapa yang udah donorin ginjalnya buat Adit?” Satu pertanyaan itu berhasil melucur dari bibir Adit. Dan sialnya, pertanyaan yang selama ini Rani, juga Putra hindari mati-matian kini harus dengan sangat berat hati ia hadapi.
Mendadak, sosok Rani yang sempat menyalurkan kelembutan juga kehangatan bagi seorang Adit yang sedang kacau langsung membeku seketika. “Ke—kenapa kamu tanya hal itu?” tanya Rani sedikit tergagap.
Mendapati nada gelisah yang Rani ucapkan, Adit menyadari satu hal. Kebenaran yang ia takuti selama ini benar-benar ada di hadapannya sekarang. “Apa, Rama?” tanya Adit dengan mata teduhnya. “Ma, jangan bilang kalau Rama yang udah donorin ginjalnya buat aku? Jawab ma.” desak Adit mengguncang kecil bahu Rani yang sidah bergetar. Yah, Rani sedang menangis saat ini.
“Maaf, maafin mama.” gumam Rani tanpa mengalihkan pandangannya sedikit pun.
Deg
Runtuh sudah pertahanan yang sudah Adit bangun saat ini. Air matanya langsung luruh seketika. Jadi, sejahat inikah dia? Sekejam inikah dia sebagai seorang kakak? Sekeji inikah dia sebagai seorang kembaran? Dan semunafik inikah dia di mata seorang Lutfia Dhani Fadlika?
Shit. Adit benar-benar mengutuk dirinya sendiri sekarang. Ia terus mengumpati dirinya yang begitu bodoh sampai sekarang. Kenapa juga ia tak pernah menyadari kejanggalan yang sempat terjadi? Kenapa dia tak jua menyadari kepergian Rama, yang bisa saja dengan mengorbankan seluruh harta kekayaan kedua orang tuanya? Bodoh, lo emang kakak paling bodoh sedunia Adit.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ramadhani (COMPLETED)
Novela Juvenil"Lo tahu kenapa gua milih judul itu ? Ramadhani. Dua nama yang nggak pernah bisa bersatu. Dua nama yang nggak akan pernah bisa bersama. Semuanya cuma ilusi kutu. Imajinasi gua terlalu tinggi. Karena tingginya gua bahkan sampai lupa sama takdir yang...