"Hahaha," aku tertawa miris. "God bless Mingi and his clever mind, dia selalu tau cara terbaik buat bunuh aku dengan cara yang manis, persis kayak buaya."
"Apa aku keliatan sebercanda itu?" tanya Yunho.
Aku mengangkat alisku, "Aku udah pernah bilang, Yunho. Take a few step back, jangan kotori diri kamu dengan sampah masyarakat kayak aku. Mingi udah ngelakuin hal yang bener, dan kenapa kamu gak juga? Kamu bisa kembali ke kantor sekarang dan ngelakuin apa yang Mingi lakuin sama sekretaris kamu."
"Kenapa harus sama sekretaris ketika ada kamu?" tanyanya lagi.
Aku kembali terkekeh. "Ya, buat apa nodain perempuan yang masih suci, sementara di sini ada perempuan sewaan yang siap melayani siapapun, kapanpun," ucapku sinis. "Kamu juga ngeliat aku wanita rendahan, gak perlu berbohong dengan kata-kata manis cuma biar aku ga sakit hati. Perasaanku lebih kuat dari yang kamu bisa bayangin."
"Aku bersumpah sama Mingi untuk selalu jagain kamu ketika dia gak ada. Terdengar omong kosong banget, ya, omongan Mingi pas mabuk itu salah satunya. Kamu inget sehari sebelum Mingi pergi, aku berantem sama Mingi? Aku maksa dia untuk tegas sama perasaannya buat kamu. Tapi, apa yang dia lakuin sekarang? Tepat di depan mata kamu, dia nyari pelarian," ucap Yunho.
"Aku gak peduli," balasku datar.
Yunho menghela napasnya. "Yah, gak tau lah, lama-lama capek juga ngajak kamu ngobrol. Keras kepala banget kayak Mingi, aku aja gak kuat ngajak dia ngobrol. Sekarang ayo kita pulang, kita harus nyiapin kamar buat James," ajak Yunho.
Kami kembali menempuh jalan yang sama untuk pulang ke rumah. Bedanya, kereta kami kali ini tidak sepadat saat berangkat tadi dan perjalanan ini lebih banyak didominasi oleh aku yang melamun. Aku hampir saja melewatkan stasiun turun jika Yunho tidak menggoyangkan tubuhku dengan keras. Pikiranku kosong, hatiku juga kosong.
"Aku mau ngambil alkohol di gudang. Setelah beres-beres, kamu bisa ke taman belakang," ucap Yunho.
"Dan?" tanyaku.
"Minum," jawab Yunho singkat.
"Haha, aku kira kamu mau dorong aku ke danau," balasku.
"Jangan bodoh. Oh ya, beresin kamar kamu, James tinggal di sana," tambah Yunho.
"Wow, bagus. Aku kira meskipun satu rumah, aku tetep dipisah sama James," ucapku.
"Memang,"
Aku membulatkan mataku dan menatap Yunho tidak percaya. "Apa?"
Yunho mengangkat bahunya, "James tinggal di kamar kamu dan kamu tinggal di kamar Mingi. Gak ada penolakan karena ini perintah Mingi."
Mulutku menganga. Hahaha, aku ingin tertawa, semesta memang suka bercanda. Perkiraanku benar, Yunho dan Mingi memang benar-benar ingin menyiksaku hingga aku mati perlahan.
"Fuvk, apa harus begitu?!" tanyaku geram. "Aku masih punya etika buat ga masuk ke kamar tuanku. Lagipula, apa peduli Mingi kalau aku gak nurutin perintah dia? Dia bahkan ga di sini dan aku yakin dia gak bakal pulang."
"Buat apa sih ragu masuk ke kamar Mingi? Toh kamu udah pernah masuk ke sana dan cepat atau lambat, kamu pasti berakhir tinggal di situ," jawab Yunho.
Aku menatap Yunho tajam, "I'll be sure to kill that jerk first, and then you the second."
"Mind your word." Pria itu kembali melangkahkan kakinya ke arah gudang meninggalkanku yang masih berdiri mematung di depan pintu kamarku.
Dengan langkah gontai, aku membuka pintu kamarku tanpa tenaga. Berdiri di ambang pintu, mataku berpencar ke segala penjuru kamar. Hatiku merasa tidak tega jika James harus tinggal di kamar seperti ini. Bocah itu terlalu suci untuk melangkahkan kakinya ke kamarku yang kotor.
Aku mendudukkan tubuhku di tepi kasur dan tanganku mengusap pelan seprai kasurku. Meskipun aku dan kak Yeowon selalu bekerja sama untuk membersihkan kamar ini, tetap saja atmosfer di kamar ini begitu gelap, seakan bayang-bayang Mingi enggan meninggalkan setiap sisi kamar.
"Yang patah akan tumbuh, tetapi apa yang telah patah tidak akan kembali sempurna, seperti apa yang seharusnya," monologku.
Pikiranku bagai memutar ulang semua kenangan yang pernah terukir di dalam kamar ini. Aku seperti melihat bayang-bayang masa laluku, mulai dari saat pertama kali aku dan Mingi bertemu, ia adalah klien pertama yang mengajarkanku sekaligus menjeratku ke dalam permainan yang keras. Bayangan 'aku' kembali memburam, digantikan dengan masa-masa ketika Mingi mengajarkanku 'alat-alat' yang ia gunakan untuk bermain, hingga ketika waktu yang berat datang dan aku menenangkan pria itu, mulut manisnya berkata bahwa ia mencintaiku, dan aku yang bodoh dan dungu mempercayainya dengan sepenuh hatiku.
tok tok tok
Aku melihat pintu kamarku terbuka menggunakan ekor mataku.
"Hera,"
Aku menatapnya, Yunho. "Tadi kamu bilang kamu mau ke taman belakang, kenapa kamu ada di sini?" tanyaku.
"Apa kamu gak suka kalo aku di sini?" Ia balik bertanya.
Aku menggeleng kecil dan menunduk, "Bukan, aku cuma... Ah udahlah."
Yunho menghampiriku dan mendudukkan dirinya di sebelahku. "Ada hal lain yang ganggu kamu? James bakal pulang dari rumah sakit, jangan bikin diri kamu keliatan berat di depan James," ucap Yunho.
Aku mendongakkan kepalaku dan menatap wajah Yunho pilu, "Apa aku boleh punya satu permintaan? Cukup satu, setelahnya aku gak peduli."
"Apa?"
"James... Aku mau James tinggal di tempat lain. Di mana pun, asal jangan di kamar ini," jawabku.
"Kenapa?"
"Kamar ini gak cocok buat James. Aku gak tega biarin James tinggal di kamar ini. Biarin aku cari tempat lain buat James tinggal," pintaku. "Kalo aku harus bilang langsung ke Mingi untuk permintaan ini, maka ya, bakal aku lakukan."
bener-bener satu minggu yang hectic, mungkin aku bakal kelarin ff ini dulu baru lanjut dear sunshine, karena bagi fokusnya itu repot gais 😭
KAMU SEDANG MEMBACA
Rewrite The Stars ➖Mingi ATEEZ [✔]
FanfictionActs like an angel and sins like a devil. Somehow, he does. Was #1 in Mingi, ATEEZ. Originally written by Penguanlin, 2019.