4 : panic

3.2K 567 99
                                    

"H-hah?"

Lututku melemas. Ini salahku, aku tidak menjaga James dengan baik.

"Tolong secepatnya, adik kamu ada di IGD,"

Aku segera mematikan sambungan telepon dan mengemas tasku secepat mungkin. "Jinwoo aku ijin pulang, James masuk rumah sakit," ucapku dengan cepat.

"Astaga, yaudah sana cepetan, nanti aku ijinin ke bos!" balas Jinwoo.

Aku mengangguk. Aku segera melangkahkan kakiku keluar dari restoran dan mencari kendaraan tercepat untuk sampai di rumah sakit. Aku melambaikan tanganku pada setiap taksi yang lewat, namun tidak ada satupun taksi yang berhenti.

Persetan dengan taksi. Aku berlari dengan kedua kakiku menuju rumah sakit. Dadaku terasa sangat sesak akibat berlari, tapi rasa sakit ini tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan kekhawatiranku pada James.

Aku pun sampai di rumah sakit. Aku berlari ke IGD dan ada seorang pria yang ku tebak berusia sekitar 30an duduk di bangku tunggu.

Pria itu berdiri menatapku saat aku datang. "Anda saudaranya adik yang di pasar?" tanya pria itu.

Aku mengangguk, "Saya kakaknya. Adik saya kenapa, pak?"

Pria itu menyerahkan ponsel James padaku. Astaga, aku baru ingat jika aku lupa mengisi pulsa untuk James, pantas saja ada nomor asing yang menghubungiku barusan.

"Adik kamu tiba-tiba pingsan tadi, jadi langsung saya bawa ke sini," jawab pria itu.

"Terima kasih sekali, pak. Saya berhutang banyak," balasku.

Pintu IGD tiba-tiba terbuka dan muncul seorang dokter dari sana. "Saudara adik yang di dalam?" tanya dokter tersebut.

Aku mengangguk, "Ya, saya kakaknya James, dok."

Dokter tersebut melirikkan pandangan ke kanan dan kiri. "Kita perlu bicara. Anda bisa ikut ke ruangan saya, adik James akan dipindahkan ke kamar inap," ucap dokter.

Aku mengangguk. Dokter itu memimpin jalan menuju ruangannya yang berada tidak jauh dari IGD. Jantungku berdegup kencang, aku khawatir ada sesuatu yang parah terjadi pada James.

"Silakan duduk," ucap dokter tersebut dengan sopan, mempersilahkanku untuk untuk terlebih dahulu.

Dokter itu menarik kursinya dan menatapku dengan serius. "Kita perlu melaksanakan operasi sesegera mungkin sebelum tumor yang ada pada diri James mengganas, karena hal itu bisa membahayakan diri James," ucap dokter.

Hatiku mencelos. Aku tahu cepat atau lambat, operasi ini pasti akan terjadi.

"Kira-kira biayanya berapa, dok?" tanyaku.

"Kita perlu melakukan scan lebih dalam lagi, tapi kisaran biaya operasi tumor itu sekitar 90 juta," jawab dokter.

Astaga.

Aku memijat pelipisku. Uang sebanyak itu, bagaimana caranya agar aku bisa mendapatkannya dalam sekejap?

Aku membuka tasku dan mencari buku tabunganku. Saldoku hanya sekitar 50 juta. Yah biarpun dalam satu malam aku bisa saja menghasilkan uang sampai satu juta, uangku akan selalu berkurang karena terpakai untuk membeli obat milik James.

"Saya baru ada uang 50 juta, dok. Apakah operasinya bisa dilaksanakan terlebih dahulu?" tanyaku penuh harap.

"Maaf, tapi kebijakan rumah sakit mengharuskan uang muka atau minimal 70 persennya sebagai syarat operasi. James bisa dirawat inap sambil diberikan obat agar tumornya agak melunak sampai uangnya terkumpul," jawab dokter.

Tubuhku benar-benar melemas. 40 juta, itu artinya aku perlu bekerja sekitar 40 kali pada 40 pria. Yang benar saja.

Aku tidak bisa meminjam di bank karena aku tidak punya jaminan apa-apa. Aku juga tidak bisa meminjam pada siapapun karena orang-orang terlanjur 'jijik' padaku. Aku juga tidak mungkin merepotkan Jinwoo karena ia sama susahnya denganku.

"Jika uangnya sudah ada, Anda bisa langsung menghubungi bagian administrasi agar operasinya segera dilaksanakan," lanjut dokter.

Aku menghela napasku. Aku keluar dari ruangan dokter dengan keadaan yang sangat tidak bisa aku definisikan. Pikiranku terasa begitu berat, namun aku tidak boleh menyerah sampai James benar-benar sembuh.

Aku tidak punya siapa-siapa lagi selain James. Jika aku gagal menyembuhkan James, maka lebih baik aku menyusulnya.

Aku kembali ke bangku tunggu di depan IGD karena aku belum bertanya di mana kamar inap James. Aku menundukkan kepalaku dan memijat pelipisku.

Aku menangis, sungguh.

Tiba-tiba, aku merasakan sesuatu yang berat menimpa pahaku. Aku mengangkat kepalaku dan menemukan sebuah amplop coklat yang sangat tebal di sana.

"100 juta, tunai."

Aku menolehkan kepalaku. Aku kenal betul suara berat ini. Suara milik seseorang dengan setelan jas rapi yang kini tengah duduk di sebelahku.

"Gak usah kaget seperti itu. Cepat bawa uangnya ke administrasi sebelum tagihannya tambah tinggi," lanjut orang itu.

Aku mengangguk. Pria itu--Song Mingi, tiba-tiba datang dan menjadi penyelamat hidup kami.

adaw mingi

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

adaw mingi

aku sebel dia kiyowo benar

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

aku sebel dia kiyowo benar

tapi di sini bangsat benar anjaaai punish me daddy

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

tapi di sini bangsat benar anjaaai punish me daddy

btw, selamat lebaran!!

Rewrite The Stars ➖Mingi ATEEZ [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang