Mingi memundurkan kepalanya setelah kami sama-sama kehabisan napas. Kedua tanganku masih menangkup wajah Mingi. Ketika aku menatap ke dalam mata pria itu, aku merasa seperti aku adalah pemenangnya.
"Dulu, pernah ada seorang pria yang memiliki bahu paling hangat, yang selalu terbuka ketika aku butuh tempat untuk bersandar. Orang yang menyatakan kalau dia selalu ada untuk aku, orang yang punya tempat spesial di hatiku," ucapku.
Mingi menggapai tangan kananku yang masih berada di pipinya dan mengelusnya pelan. "Let me guess, is it me?" tanyanya.
Aku terbatuk, "Kenapa kamu yakin kalo orang itu adalah kamu?"
"Karena sebelum aku pergi dan hampir berubah menjadi bajingan seutuhnya, aku pernah berjanji pada wanita istimewa yang selalu aku cintai, kalau aku akan selalu ada untuk wanita itu," jawab Mingi. "Wanita paling cantik dengan mata yang indah, yang aku tatap matanya sekarang."
Pipiku merona. Aku melepaskan tanganku dari wajah Mingi dan menutup wajahku.
Mingi terkekeh melihat reaksiku. Ia menarik kursi yang sedari tadi ia gunakan untuk tertidur dalam posisi duduk--astaga, aku lupa jika sekarang adalah tengah malam. Aku melirik ke arah jam dinding yang dipasang di sebelah televisi. Jam empat pagi, yang benar saja.
Mingi duduk di sebelah ranjangku dengan bertopang dagu. Matanya tidak berhenti menatapku lembut.
"Mingi, aku minta maaf karena aku ganggu jam tidur kamu," ucapku.
Mingi menggeleng, "Kenapa harus minta maaf? Aku justru senang karena aku adalah orang pertama yang liat kamu sadar."
"Tapi kamu harus kerja, kamu butuh istirahat. Kenapa kamu gak tidur di sofa aja? Di sana lebih nyaman," ucapku.
"Kenapa, sayang? Sofanya jauh, aku gak mau jauh-jauh dari kamu," balas Mingi.
Aku terkekeh, "Aku gak mau punggung kamu sakit. Tanganku dipasang infus, aku gak bisa mijat kamu."
Mingi tersenyum, kemudian ia mencubit hidungku pelan. "Kamu khawatir, hm?"
Sial, pipiku kembali merona.
"Gak ada tempat yang lebih nyaman, kecuali ketika kamu ada di sisi aku," ucap Mingi. Ia mengambil posisi tidur dengan menjadikan siku kanannya sebagai bantal, dengan posisi menghadapku. "Sekarang, karena kamu khawatir aku gak dapet istirahat yang cukup, jadi ayo tidur. Kamu juga harus banyak istirahat biar luka bekas operasi kamu cepet sembuh."
Oh ya, bekas luka, San, dan semua yang Mingi relakan karenaku.
"Mingi, kamu kehilangan investor dari Bangkok karena aku," ucapku lirih. "Kamu pasti rugi besar, kamu harus bayar denda dan aku yakin jumlahnya gak sedikit. A-aku, aku minta maaf,"
"Hera, kamu lebih berharga dari apapun. Aku gak peduli mau seberapa banyak uang yang harus aku keluarkan untuk memastikan kalau kamu selamat. Kamu pikir kenapa aku repot-repot bawa James ke rumah sakit ini, rumah sakit terbaik di kota, dan ditangani langsung sama Dokter Seonghwa, dokter spesialis dengan jam kerja paling padat?" ucap Mingi. "Alasan yang sama kenapa aku gak pikir panjang untuk lepasin investor Bangkok itu untuk San. Aku gak peduli kalaupun aku kehilangan semua uangku, aku lebih gak mau kehilangan kamu."
"Aku pria yang jahat, yang gak bisa menjaga wanita yang ia cintai. Hidupku sendiri juga gak aman. Jadi aku mohon, Hera, kalo suatu saat aku pergi, cari Yunho. Setidaknya, cuma itu yang bisa aku lakuin untuk jaga kamu saat aku udah gak ada,"
Aku menggeleng, mataku kembali berair. "Gak ada yang bakal pergi, gak ada yang bisa misahin kita. Don't say goodbye, even just in my dream, I won't let you go. Berjanjilah sama aku kalo kamu gak akan ninggalin aku lagi," ucapku.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
"Pinky promise," ucap Mingi.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Pagi harinya, aku terbangun seorang diri, dengan seorang suster yang tampak sedang mengganti infusku. Aku melirik ke arah jam dinding, pukul sembilan, Mingi pasti sudah berangkat ke kantornya.
"Ah, nona sudah sadar," ucap suster tersebut dengan ramah. Aku tahu suster ini, ia adalah suster yang sama seperti yang merawat James.
"Mingi... Mana?" tanyaku.
"Tuan Song sudah berangkat ke kantor. Ini, Tuan Song menitipkan ini pada saya," jawab suster sambil memberiku sebuket bunga.
Aku menerima buket bunga itu dan tersenyum, "Makasih, suster."
Suster tersebut mengangguk, "Sama-sama nona. Saya mau keluar dulu, kalau nona butuh saya atau Dokter Seonghwa, nona bisa pencet bel yang di sana ya."
Berlalulah suster tersebut keluar dari ruanganku. Aku kembali menatap buket bunga pemberian Mingi. Pipiku merona, aku pikir Mingi sudah berubah menjadi pribadi yang semakin manis, lembut, atau setidaknya aku semakin leluasa untuk mengutarakan perasaanku padanya.
Pintu kamarku terbuka. Aku tersenyum lebar melihat siapa yang datang. James dan Yunho.
"KAKAAAAAK!" pekik James.
Laki-laki itu berlari ke arahku dan segera memelukku. Aku mencium kening James dan mengusap rambutnya.
"Aku kira kakak gak bakal bangun huhuhu," ucap James lirih.
"Apaan sih, kakak kan kuat, Dokter Seonghwa juga dokter yang hebat. Kamu aja bisa sembuh kok, kakak juga pasti sembuh," balasku.
"Hera, maaf, harusnya aku jagain kamu," ucap Yunho.
"Aku pikir orangnya San udah ngincer aku dari lama. Harusnya aku hati-hati," sahutku sambil tersenyum.
"Serius, aku nyesel banget. Kalo kamu tau gimana Mingi ngamuk-ngamuk di rumah karena kamu hilang, ah serius, kamu harus tanya Yeowon. Orang-orang rumah khawatir, sampe puncaknya Mingi pergi sendiri buat nemuin San, aku sama Jinsung kebut-kebutan ngejar dia," ujar Yunho. "Aku khawatir, Hera. Aku sayang kamu."
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.