Hari-hari yang ku lewati di rumah sakit sebenarnya tidak ada bedanya dengan hari-hariku di rumah. Sudah beberapa hari ini Mingi tidak mengunjungiku. Aku bisa memakluminya karena saat aku tinggal di rumah pun, Mingi bisa pergi berminggu-minggu tanpa pulang ke rumah. Mingi memang sesibuk itu.
"Gimana rumah?" tanyaku pada James.
Yah, bisa ku katakan jika Mingi cukup memberiku kelonggaran dibandingkan saat James sakit. Dulu, aku tidak bisa seenaknya menjenguk James, tetapi kini pria itu memberi kebebasan bagi siapapun yang ingin menemuiku. Tidak semua orang tentunya, tetapi kak Jinsung dan kak Yeowon bahkan ia ijinkan untuk menemuiku, aku pikir Mingi sudah berubah menjadi orang yang lebih lunak.
"Biasa aja, kak Jinsung jarang di rumah, setiap hari aku cuma nonton tv sama kak Yeowon, atau kadang pergi mancing sama Yunho," jawab James.
Aku membelai rambutnya, "Sekolah?"
"Sama aja, gak ada yang spesial. Ada beberapa yang gangguin aku karena statusku siswa baru, tapi Yunho yang beresin semua," jawab James lagi, "Gak ada yang perlu dikhawatirkan, lagian Yunho sama Mingi selalu bilang, selama ada mereka, aku selalu aman, kan?"
Aku mendengar bunyi kenop pintu kamarku yang dibuka. Aku agak kecewa karena ternyata Yunho yang datang ke kamarku, bukan Mingi.
"Hai, Hera," sapa Yunho.
Aku membalas sapaan Yunho dengan senyuman. Jika Yunho sudah datang, itu artinya James sudah harus pulang. Harus ku akui jika hidup kami jauh lebih teratur setelah tinggal bersama Mingi daripada saat kami hanya tinggal berdua saja.
"Udah harus pulang?" tanya James pada Yunho dengan lirih.
Yunho mengangguk kecil, "Kamu punya pr dan kemarin kamu bilang, kamu mau main futsal sama temen-temen baru kamu, kan?"
"Teman baru? Futsal? Malam-malam begini?" tanyaku.
"Ya. James adalah anak yang supel, ramah, temennya pasti banyak," jawab Yunho. "Kamu tau sendiri kan, James sekolah sampai sore, lagipula besok libur, Hera. Gak ada salahnya kalo James main sampai malam."
"Temen-temen baruku ngajak main futsal. Ada salah satu temenku yang punya lapangan pribadi gitu," sahut James.
"Tapi mereka baik, kan?"
James mengangguk, "Iya kak, gak perlu khawatir."
"Mingi dalam perjalanan ke sini. Mungkin ada hal penting yang perlu dia omongin sama kamu," ucap Yunho. "Ayo, James, kita pulang."
James mengerucutkan bibirnya dan merangkul tas ranselnya dengan wajah kesal. Ia pasti marah karena waktunya bersamaku begitu singkat, tetapi ia tidak punya pilihan lain karena sudah memiliki janji dengan temannya.
"Nanti malem aku mau nginep di sini," ucap James ketus.
Yunho menggeleng, "Mingi pulang, itu artinya yang bakal nemenin kakak kamu adalah Mingi."
"Ih! Adeknya kak Hera itu aku, bukan Mingi, kenapa apa-apa harus Mingi sih!" ketus James.
"Pacarnya kak Hera itu Mingi," ucap Yunho.
"Apa sih!" omelku. "Pulang sana, kerjain pr-nya yang bener, jangan lupa makan dulu sebelum pergi."
"Oke, kita pulang dulu," pamit Yunho. Ia sedikit menarik James dan membawanya keluar dari kamarku.
Pintu kamarku tertutup dan lagi, aku sendirian. Aku menoleh ke arah jendela. Gemerlap bintang malam ini begitu indah menghiasi langit hari ini.
Tidak seperti bintang, aku ingin bersinar seperti bulan. Ia selalu menjadi tokoh utama, meski cahayanya semu. Tidak seperti bintang yang bisa memancarkan cahayanya sendiri, entah bagaimana bulan selalu terlihat lebih indah dari apapun di langit malam.
Aku segera menolehkan kepalaku lagi pada pintu kamarku begitu aku mendengarnya terbuka. Perlahan tapi pasti, pintu kamarku terbuka dan ia muncul. Song Mingi, yang hari demi hari kian aku rindukan.
Mingi berjalan dengan langkah panjangnya sembari melepas jasnya. Ia melipat asal jas hitam tersebut dan menyampirkannya di punggung kursi, di sebelah ranjangku.
"Hai, maaf aku terlambat," ucap Mingi lembut. Ia membelai pelan pipiku.
Aku meraih tangan Mingi yang berada di pipiku dan menatap matanya, "Gak ada kata terlambat untuk kita."
Ia tersenyum miring dan melepaskan tangannya. Ekspresinya berubah datar.
"Kata Yunho, ada hal penting yang perlu kamu omongin. Apa itu?" tanyaku. "Berkaitan dengan aku?"
Mingi mengangguk, "Aku tau kamu bosen denger kalimat ini, tapi aku ijinin kamu untuk pergi," Mingi sedikit menyibak bajuku dan melihat ke arah jahitanku yang sudah mengering, "Besok kamu udah bisa keluar dari rumah sakit, kalo kamu mau kembali seperti semula, kita bisa kembali jadi orang yang gak saling kenal dan kamu bisa hidup dengan tenang. James masih bisa sekolah, aku tetep bayar sekolah James sampai dia lulus."
"Apa lagi sih, Mingi?" seruku emosi, "Terakhir kali kamu bilang kalo kamu gak bakal pergi lagi, tapi kenapa sekarang kamu seolah-olah lepasin aku? Apa kamu anggap perasaanku semurah itu?"
Pandanganku kembali memburam. Aku memalingkan wajahku ke arah sebaliknya.
"Hera, aku sayang kamu, tapi kamu tau... Kalo kita gak mungkin bersama," ucap Mingi.
Air mataku jatuh. Aku semakin enggan untuk menatap pria itu, tetapi ia bangkit dari kursinya dan mendudukkan dirinya di sebelahku. Mingi meraih kepalaku dan menyandarkannya di bahunya.
"Kenapa? Kamu mau nikah? Sama orang yang lebih pantas? Iya, kan?" tanyaku.
"Sejauh ini, orangtuaku belum tau tentang kita. Gak menutup kemungkinan kalau suatu saat mereka akan tau, tapi aku akan berusaha supaya gak berakhir dijodohin," jawab Mingi. "Aku akan perjuangkan kamu, tetapi kalo kanu gak memilih untuk pergi, maka aku gak bisa nahan kamu."
Aku menatap Mingi tajam dengan mataku yang basah, "Perjuangin aku, kamu bilang? Apakah dengan nyuruh aku pergi adalah bentuk dari memperjuangkan???"
"Satu-satunya cara untuk kita bisa tinggal bersama adalah, kita hidup tanpa status. Aku gak bisa nikahin kamu seperti pasangan lain karena orangtuaku gak bakal setuju, tapi aku janji akan jadi suami yang baik, meskipun kita gak terikat secara hukum," ucap Mingi, "Kalo kamu setuju, maka ayo lanjutkan. Kalo kamu gak setuju, maka kita bisa berusaha berpura-pura gak kenal satu sama lain."
"Kamu gila??" seruku, "Cukup, aku gak mau lagi jauh dari kamu. Kalo aku setuju, apa kita akan kembali seperti semula? Seperti saat kamu bilang kalo kamu gak akan pergi dan selalu ada untuk aku?"
"Ya," ucap Mingi tegas, "Satu-satunya yang menganggu aku adalah fakta kalo aku gak bisa nikahin kamu, tapi aku gak mau kamu pergi. Jadi, aku mohon kamu untuk tetap ada di sini.
Be my wife, eventhough I can't legally marry you. I promise that I will be a good husband, a good boyfriend, a good father, and I will never cheat you."
anjirrrr tau ah, paham sama chapter ini kan? :'D
aku kangen mingi so i decide to update, maaf kalo mengecewakan :(
KAMU SEDANG MEMBACA
Rewrite The Stars ➖Mingi ATEEZ [✔]
FanficActs like an angel and sins like a devil. Somehow, he does. Was #1 in Mingi, ATEEZ. Originally written by Penguanlin, 2019.