Kepalaku pening sekali. Aku mencoba untuk membuka mataku perlahan-lahan dan cahaya yang masuk seakan menusuk iris mataku. Aku mengerjapkan mataku, ada di mana aku sekarang?
Aku memandang ke sekeliling. Ini bukan kamarku, bukan basement lembap tempat terakhir kali aku bersama San, juga bukan kamar Mingi. Rumah sakit kah?
Tangan kananku terasa sedikit kebas. Aku memadang ke arah tanganku. Seseorang dengan rambut hitam lebat, ini Mingi.
Mingi, pria itu tertidur di atas tanganku dengan posisi tangannya dan tanganku yang menggenggam. Aku mengangkat tangan kiriku yang terpasang infus dengan hati-hati untuk membelai pelan rambut hitam pria itu.
Mingi, terakhir kali ia meninggalkanku begitu saja di basement bersama San dan membuat aku berakhir dengan sebuah tembakan di perutku. Eh, aku tadi tertembak, kan?
Aku berusaha sedikit menggerakkan pinggangku, benar saja, rasanya nyeri. Seumur hidup aku tidak akan mau mengingat rasanya tertembak, kehidupanku bagai berakhir saat itu juga ketika benda kecil itu hinggap di tubuhku. Rasanya panas, nyeri, perih sekali.
Kepala Mingi tiba-tiba bergerak. Ia mungkin terbangun karenaku. Tangan kiriku bahkan masih menggapai rambutnya.
Mingi bangun dan menatapku sendu. Rasa rindu itu tiba-tiba menyeruak. Lidahku kelu, aku tidak bisa mengucapkan sepatah kata pun, tetapi yang pasti, aku merindukannya, sangat-sangat merindukannya.
"Hera," panggil pria itu lirih.
Kedua tangan Mingi menggenggam erat tangan kananku. "Hera, aku minta maaf atas semuanya. Atas kata-kataku kemarin, aku yang gak berusaha nyelamatin kamu dari San, tentang tembakan itu, semuanya. Aku minta maaf," ucapnya.
Aku melihat ketulusan dari ucapan Mingi. Berbeda dengan bualan-bualannya yang lalu, kata-kata Mingi kali ini meresap dalam di hatiku.
Mata Mingi tiba-tiba berkaca-kaca. Sungguh, aku tidak pernah melihatnya seperti ini, tetapi hatiku sakit melihatnya lemah seperti ini.
"Kamu kritis, udah dua hari kamu gak sadarkan diri, tapi syukurlah sekarang kamu udah bangun," lanjut Mingi.
Aku mengarahkan tanganku untuk meraih wajah Mingi. Aku menangkupnya dengan tangan kiriku dan membelai lembut pipinya. Setetes air mata tiba-tiba jatuh dari pelupuk mata pria itu, membuatku ikut menjatuhkan air mataku juga.
"Aku bersyukur aku masih hidup, seenggaknya aku masih bisa liat kamu," ucapku.
Mingi tersenyum, "Setelah semuanya, hingga kamu hampir mati karena aku, semuanya cukup, Hera. Kamu gak bisa terlalu lama ada sama aku, aku gak mau kamu terluka."
Aku menggelengkan kepalaku. "Dan setelah semuanya, apa kamu pikir aku bakal pergi begitu aja? Sesuatu melarang aku buat berbalik dan menghilang begitu aja. Sesuatu itu, yang Tuhan sebut sebagai cinta," ucapku.
Aku melepaskan tanganku dari wajah Mingi. Pria itu tetap menggenggam erat tangan kananku.
"Kamu tau, aku kira dengan aku nyebut kata-kata menyakitkan di depan San, dia gak bakal ngelukain kamu karena aku kira, San bakal berpikir kalo dia nyandera orang yang salah. Tapi, aku yang salah, San gak ngelepas kamu begitu aja," ucap Mingi.
"Tapi akhirnya aku ada di sini, kan? Masih ada aku di dunia ini," balasku.
Mingi mengangguk, "Aku lari, aku bener-bener kehilangan akal saat itu. Aku nelpon Yunho buat jemput kita dan aku lari kembali ke basement. Aku hampir gila, aku kembali ke ruangan itu dan kamu udah gak sadarkan diri. Kalo Dokter Seonghwa gak berhasil nyelamatin kamu, maka aku bakal jadi orang yang paling berdosa di dunia ini."

KAMU SEDANG MEMBACA
Rewrite The Stars ➖Mingi ATEEZ [✔]
FanfictionActs like an angel and sins like a devil. Somehow, he does. Was #1 in Mingi, ATEEZ. Originally written by Penguanlin, 2019.