"I love you,"
"Udah berapa kali kamu ngomong gitu hari ini?"
Kami saling menatap satu sama lain dalam posisi berbaring. Aku memainkan rambut Mingi. Ia benar, rambut panjang lebih menyenangkan untuk diusap-usap.
Mingi mengangkat bahunya, "Gak tau, pokoknya aku sayang kamu."
"Gitu aja terus sampe bosen,"
Aku bangkit dari posisiku dan menoleh ke arah nakas, mencari obat-obatanku, meskipun aku masih dalam kondisi polos tanpa terbalut apapun. Mingi sepertinya ikut bangkit dari posisinya.
"Kamu nyari apa?" tanya Mingi.
Aku mengatupkan bibirku, kemudian menghela napas. "Kamu tau apa," jawabku singkat.
Mingi tiba-tiba menahan tanganku. Aku menatapnya bingung, "Kenapa?"
"Obat pencegah kehamilan?" tanya Mingi.
Aku mengangguk pelan. "Ya, kenapa? Aku selalu minum itu," jawabku.
"Hera, gak," Mingi menahan tanganku dan menatapku serius, "Kenapa kamu harus minum obat itu lagi? Kamu gak percaya aku? Kita kan udah berkomitmen untuk yah... Pacaran? Or something higher than pacaran."
Aku meletakkan tanganku di atas telapak tangan Mingi dan membelainya lembut, "Gak secepat ini, kita masih butuh waktu."
Mingi mengangkat sebelah alisnya. "Apa ada yang salah sama aku? Atau kamu gak mau punya anak sama aku karena kita ga mungkin menikah?" tanyanya.
"Oh my, everything goes silly," gumamku.
"Bukan itu, toh mau punya anak dari siapapun aku gak peduli, tapi aku butuh waktu, aku belum siap. Kalo kita benar-benar punya anak, aku harus jadi ibu dan yah, aku gak siap," ucapku.
"Kenapa? Ada banyak orang di rumah ini, semua orang bisa kamu andalkan, ada aku juga," balas Mingi.
Aku hampir lupa jika Mingi sangat keras kepala. Sepertinya tidak ada hari di mana aku memenangkan adu argumen dengan Mingi.
"Kamu punya ide lain?" tanyaku.
Mingi menggigit bibirnya, "Kamu gak perlu minum obat itu. Punya anak atau enggak, cepat ataupun lambat, kita gak pernah tau. Kalo kita benar-benar punya, kita harus janji buat rawat dia."
Aku kembali mengangkat tanganku dan mengusap rambutnya, "Why you do this? Yeah, it's kinda..."
"I--why?" tanyanya. "Is it a bad idea, thought? Kamu gak mau?"
Mata Mingi menatap tepat pada kedua mataku. Tanpa perlu aku tanyakan lagi, aku sendiri tahu jawabannya.
"Ok, fine. I won't eat this," ucapku sambil menggoyangkan botol obat itu di depan Mingi, namun aku tidak serta-merta membuang obat itu. Entahlah, aku merasa sepertinya obat ini akan terpakai suatu saat nanti.
Kami kembali mengambil posisi tidur dengan selimut tebal yang menutupi tubuh polos kami. Kami kompak terdiam sambil menatap ke arah langit-langit, tenggelam pada dunia dan pikiran masing-masing.
"Hera," panggil Mingi.
"Ya?" jawabku.
"Udah berapa tahun sejak pertama kali kita ketemu?" tanya Mingi.
Aku menghitung dengan jari tanganku, "Dua? Atau tiga tahun?" ucapku ragu.
"Ah, ternyata waktu berjalan cepat, sementara semuanya baru dimulai hari ini. Apa aja yang kita lakuin di masa lalu? Kenapa kita ga memulai semuanya lebih cepat?" ucap Mingi panjang lebar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rewrite The Stars ➖Mingi ATEEZ [✔]
FanfictionActs like an angel and sins like a devil. Somehow, he does. Was #1 in Mingi, ATEEZ. Originally written by Penguanlin, 2019.