MIKASA. Wanita itu memilih Maldives untuk menghabiskan liburan musim panas. Tapi bukannya ia merasa gembira, kedatangannya malah membawa nasib sial.
"Cleopatra dan Mark Antony saja saling jatuh cinta pada pandangan pertama. Malah, saking dalamnya ci...
PAGI harinya, Eren tak menyangka menemukan kamar VIP yang Mikasa tinggali, sudah dalam keadaan kosong. Dia berdiri di depan meja receptionis, mengetahui informasi tersebut dari sana.
Terlihat dia mengenakan kaus hitam dan celana pendek. Serta ada sebuah baki berisikan sarapan khusus. Smoked salmon, alpukat, telur, dan juga bayam. Kudapan seperti biasa yang Eren siapkan dengan perhitungan akurat, mulai dari ukuran porsi, kalori, nutrisi, serta kandungan yang bermanfaat untuk menyembuhkan Mikasa.
Tapi sia-sia. Apa yang dia bawa pagi itu tak berguna, sebab orang yang dia tuju kini sudah tiada. Eren mendesah, menyugar rambutnya frustasi. Menatap keluar kaca lobby. Di luar begitu terik, langit biru membentang cerah. Sekarang apa yang harus dia lakukan tanpa Mikasa?
Sadar atau tidak, Eren merasa bosan dan bingung. Sambil sibuk membuat pertanyaan. Kenapa dia pergi tanpa berpamitan? Setidaknya meninggalkan kata selamat tinggal. Eren memang tidak begitu mengharapkan, atas dasar apa Eren mendapat ucapan selamat tinggal?
Mikasa bukan siapa-siapanya.
Itu lah alasan kenapa Eren menolak ajakan Mikasa untuk berdansa di bawah sinar bulan—tadi malam—lalu meninggalkan Mikasa di pantai begitu saja. Eren merasa ada dinding tebal di antara mereka.
Apa lagi saat Mikasa berkata.
"Barusan kamu mencium wanita yang sudah memiliki pacar."
Mendengar itu, Eren memutuskan untuk menjaga jarak. Dia tahu kesalahannya, dia merasa bodoh dan tak mau mengulang itu hingga berkali-kali.
• • •
MIKASA keluar dari pintu terminal 2. Dia menarik koper Rinowa-nya yang berukuran 24"—berwarna silver.
Wanita itu mengenakan dress one piece berpola bunga, warna hitam. Ada kaca mata dengan warna sama menghias wajahnya. Dia nampak misterius, tapi itu justru membuat Mikasa terlihat kharismatik.
Rambutnya berayun diterpa angin, bau harum parfum Mikasa mampu tercium dari radius beberapa meter. Mengakibatkan orang di sekitar melirik Mikasa dengan tatapan kagum. Mikasa tetap mempesona—kendati semalaman dia mengudara.
Mikasa berjalan menuju jalan di sebrang terminal. Matanya menangkap Lexus hitam terparkir di sana, bersama sang empu nampak keren— berbalut setelan mahal. Lelaki itu bersender di mobilnya sambil melipat tangan. Berpose seperti demikian, lantas mengundang perhatian banyak orang.
"Welcomeback baby," senyuman hangat Levi menyambut, namun bertolak belakang dengan Mikasa yang terdiam. Demi Tuhan, dia masih merasa muak menatap wajah Levi. Senyuman itu tak ingin Mikasa balas.
"Aku tidak menuruhmu untuk menjemputku," katanya sinis.
"Tak perlu disuruh pun, aku akan tetap datang. Harusnya kamu beruntung punya kekasih sepertiku."
Oh—perut Mikasa terasa terpelintir. Dia enggan mendengar kalimat itu, apa lagi ada kata kekasih di sana. Mikasa ingin mengerang dengan keras.
"Aku pulang naik taxi saja."
"Kamu pikir aku akan membiarkanmu, hm?" Levi menyeringai, dia maju beberapa langkah memangkas jarak. Tapi refleks, Mikasa menarik mundur dirinya. "I miss you so much. Did you know?"
Mikasa membuang napas kasar. Levi semakin mendekat merapatkan tubuhnya dengan Mikasa. Dia kecup pelipis Mikasa lembut, tapi sungguh— Mikasa tidak suka kecupan itu.
"Hentikan," pinta Mikasa. Levi tak menggubris, dia rengkuh kedua pinggang ramping Mikasa. Membelai tubuh Mikasa halus. Levi mendesis, napas Levi mampu Mikasa rasakan. Terasa memburu, Levi sudah tidak sanggup sekian lama menahan diri.
"I want you. Darling," Levi terus bergeriliya, hingga kedua bongkong Mikasa Levi remas. "Stop, please." Mikasa merasa tak nyaman, lantas dia mendorong tubuh Levi tapi tidak berhasil. Levi berusaha mempertahan posisinya.
Levi putar tubuh Mikasa—memojokkan wanita itu ke mobil—hingga tersudut. Levi membenamkan kepalanya di ceruk leher Mikasa.
Levi kecup perlahan, kemudian Mikasa benar-benar mengerang saat Levi menyesap, sebagian kulit Mikasa. Lama-kelamaan, Levi juga menggiti leher Mikasa hingga membekas.
"Kamu berani bermain selain denganku, huh?" bisik Levi masih dalam ceruk leher Mikasa. Raut Levi berubah geram, senyumannya yang tadi ceria—kini memudar seketika.
"Coba jelaskan? Kenapa kamu tiba-tiba menghilang? Mau meninggalkanku? Iya?" lanjutnya, kini rima suara Levi semakin dalam. Mikasa meringis takut, bercampur nahan perih di sekitar tulang selangka—yang sudah memerah.
Sialan! Enyah sana!
Batin Mikasa berteriak. Namun mulutnya kelu tak mampu berkata apa pun. Levi selalu menggertak—otoriter—membuat Mikasa tak kuasa membuat perlawanan.
"Kenapa diam? Aku minta penjelasan. Kenapa kamu bersembunyi di Maldives?" Levi menarik mundur kepalanya, menatap dingin netra Mikasa. Sedangkan Mikasa membuang atensi sembarang, takut.
"Nanti kujelaskan. Aku lelah, aku ingin pulang dan istirahat," Mikasa beralasan dengan suara bergetar. Dia mengusap lehernya sesekali, meraba luka yang barusan Levi buat.
"Well, kita pulang sekarang. Tapi tidak ke rumahmu, ke apartemenku di Azabu." Mikasa meratapi jalan aspal, dia merunduk sambil mengigit bibir.
"Kamu tidak mau? Ayo lah, kamu sudah pergi cukup lama, dan aku sangat merindukanmu Mikasa. Salah kah kalau aku ingin bersamamu lebih lama?"
Levi berjalan menuju pintu mobil yang berada di sisi kanan, kemudian membuka kunci mobil. "Ayo cepat masuk," titahnya.
Mikasa ingin kabur, tapi Levi seolah mengurungnya tanpa celah. Kalau pun pergi, Levi akan mencarinya seperti ini. Meski Mikasa pergi ke ujung dunia sekali pun, Levi akan tetap menemukannya.
• • •
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.