29

1.3K 192 20
                                    

BGM / BTS; Boy with luv (piano ver)

BGM / BTS; Boy with luv (piano ver)

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Saking lamanya perasan itu hilang.
Aku lupa caranya tubuhku berekasi saat jatuh cinta.

.
.

🌿

EREN dan Mikasa terdiam sedang menyingkron keadaan. Membuat posisi itu hingga satu menit, setelah sadar, Mikasa bangun lebih dulu. "Maaf, aku membangunkanmu tadi aku tersandung, oh ya kenapa aku bisa ada di sini? Dan semalam kamu ada di rumah Levi?"

"Okay stop," Eren kemudian membetulkan letak duduknya. Belum juga sadar secara penuh, kepala Eren mendadak dihujani banyak pertanyan. "Harusnya aku yang bertanya demikian, kenapa kamu ada di rumah temanku. Levi, dia temanku," jelas Eren menatap Mikasa masih berdiri di hadapannya, sambil satu tangan memegangi kantung infuse. Mata Mikasa berputar, lalu menatap Eren lagi dengan mata terbuka lebar. "Huh?" dahi Mikasa mengerut dalam.

Kejutan apa lagi ini? Oh Godness! "Dan lagi, kenapa kamu ada di sana? Maaf, kalau boleh jujur. Aku tengah berasumsi yang tidak-tidak sekarang. Aku curiga, kamu ..." Mikasa panik, jantungnya bergemuruh. "Apa?"
"Jangan-jangan selama ini wanita yang sering Levi sembunyikan adalah kamu?"

Kerutan di dahi Mikasa lenyap. Tapi rautnya berubah menjadi dingin, tiba-tiba Mikasa teringat sesuatu yang paling dia benci. "Ya, dia kekasihku, yang pernah kubilang tempo hari. Sepertinya kamu juga sudah tahu, kalau aku hanya kekasih gelapnya?" Oh yah, Mikasa membenci mulutnya sendiri, kenapa harus dia mengatakan itu.

Sorot mata Mikasa mendadak kosong, aura cantik yang menghias, saat Eren pertama kali membuka mata hilang. Lantas Mikasa berjalan mundur dia membalikan badan, dia malu. Dia tidak mau Eren menatapnya seperti wanita hina. Eren tak sanggup berkata-kata, dia menyugar wajah seraya membuang napas kasar. "Wtf," ujarnya menyeringai. Eren berharap ini menjadi lelucon saja, ini tidak nyata.

"Okay, now I know. Ini pagi yang paling buruk yang pernah kualami. Lantas, luka apa yang ada di tubuhmu itu? Terakhir kali aku melihatmu, kamu baik-baik saja. Katakan dengan jujur. Aku tidak akan marah, atau andai kata Levi memang bersalah, aku tidak akan membelanya meski dia temanku sekali pun. Maaf aku sedang tidak bisa berpikir positif." Eren menatap punggung Mikasa, yang terbuka oleh gaun tidurnya. Menampaki taburan lebam yang bersemu biru kemerahan.

"Aku tidak mau mengatakannya. Aku yakin apa yang kamu pikirkan adalah benar." Mikasa merunduk menatapi pualam. Sial! Air mata Mikasa tiba-tiba menerka ingin keluar. "Kenapa kamu diam saja? Shit! Apa yang sudah dia lakukan padamu?" Eren menahan diri untuk mengumpat kasar, tapi tak sanggup.

Eren sangat terpukul, belum juga semalam hubungannya dengan Levi mengeruh. Ditambah dengan adanya fakta ini, perasaan Eren kian meradang. Eren setengah mati untuk menelan kenyataan gila ini. "Baik aku mengerti. Aku mengerti perasaanmu, kita bicarakan pelan-pelan sampai kamu mau bercerita." Mendengar kalimat itu, Mikasa menoleh kebelakang memandang Eren lamat-lamat. Eren mengangguk. "Iya aku tidak memaksa, itu pun kalau kamu mau. Dari semalam aku ingin menghajar orang itu. Setelah mengetahui persoalan ini, aku semakin punya alasan untuk menghajarnya. Thanks."

Eren bangkit dari sofa, kemudian dia mengelus puncak kepala Mikasa sesaat. Mikasa tersenyum tipis. Tapi tunggu, kenapa juga Mikasa harus tersenyum. Mikasa menggeleng membuang perasaan anehnya.

"Kita sarapan. Kamu mau apa?" Eren beranjak menuju kitchen set. Yang tak jauh dari living room. Mikasa mengekor langkah Eren, kendati hati belum tertata sempurna. Suasana di antara mereka juga masih terkesan canggung. "Terserah, anu ... apa aku boleh mandi?"

Eren memiringkan kepalanya, dia menyipit. "Yah maksudku. Aku mau membersihkan diri meminjam kamar mandimu," timpal Mikasa gelagapan ditatap tajam oleh Eren. "Luka di badanmu tidak boleh terkena air, tunggu sampai mengering." Sedetik kemudian netra Mikasa membulat, tak setuju. "Tapi setidaknya kamu boleh mencuci rambut," tetap saja jawaban Eren tidak membuat Mikasa puas.

"Oh," deham Mikasa lesu. "Tanganmu tidak boleh terkena air. Get it? Di kamarku ada kotak P3K. Di sana ada latex baru. Selagi keramas gunakan itu," hardik Eren lagi, sambil tangannya sibuk mengambil bungkus oats dari dalam kulkas. "I got it," jelas Mikasa menatap tangga. Dia mendesah, butuh perjuangan untuk menaiki tangga itu.

Selagi Eren membuat sarapan, Mikasa berada di dalam kamar mandi. Dia berhadapan dengan washtafel dan cermin besar. Mikasa tidak ragu-ragu untuk menggunakan shamppo yang ada di kamar mandi itu. Apa boleh buat, ini bukan waktunya Mikasa mengeluh. Sudah terlepas dari Levi saja Mikasa sangat bersyukur.

Mikasa mengenakan latex sesuai dengan perintah Eren. Dia tuangkan sedikit shamppo di telapak tangannya. Dia basuhkan ke rambut yang sudah dibasahi. Mikasa memijat-mijat kepalanya sambil bercermin. Ingatan bersama Eren di Maldives kembali terbayang.
Mikasa seperti orang sinting, dia tidak sadar selama di kamar mandi dia tersenyum-senyum sendiri.

Hinggga akhirnya dia kehilangan fokus, lalu air dari atas kepalanya meluncur dan mengenai mata. "Ahhhhhhhhh!!" teriak Mikasa. Eren yang berada di bawah otomatis terkesiap, jeritan Mikasa jelas terdengar. Eren segera menghentikan kegitannya, dia memandang ke arah mezanine. "Is she okay?" Eren mengerut. Kemudian melangkah ke lantai atas, menuju kamar mandi. Yang terletah di sisi kamar tidur. Eren masuk ke dalam tanpa mengetuk, sebab pintunya tidak tertutup rapat.

"Apa yang terjadi?" tanya Eren agak panik. Melihat Mikasa terpejam, sambil meringis menahan sakit. "Perih ..." jawabnya spontan. Eren yang langsung paham apa yang terjadi, terkikik geli. Dia tersenyum jenaka. "Dasar," gumam Eren melihat sisi polos Mikasa. "Aku bantu membilasnya, kemari." pinta Eren menggenggam sebelah tangan Mikasa. Dia menuntun wanita itu menuju bathup marmer di sudut kamar mandi. Mikasa patuh, berjalan seperti orang buta secara hati-hati. "Merunduk lah," Eren membantu Mikasa untuk merunduk ke arah bathup, Eren memilih untuk berdiri membelakangi Mikasa.

Saat tubuh mereka saling menempel, Mikasa menahan napas. Bagian depan tubuh Eren bisa Mikasa rasakan. Seketika ada rasa aneh menelusuri aliran darahnya. Jantung Mikasa bergetar lagi. Eren tidak sadar, dia hanya fokus memegangi shower yang diarahkan ke kepala Mikasa, untuk membersihkan sisa busa shamppo.

Setiap sentuhan jemari Eren bergerak, jantung Mikasa enggan berdamai. Terus berdegup-degup membuatnya tersiksa. Jemari Eren merayap ke helaian rambut dan kulit kepala Mikasa dengan lembut. Bau harum yang pernah Mikasa hirup kini dapat dirasa. Membangunkan banyak kenangan. Napas Eren yang berhembus ke arah punggung Mikasa. Ah ... cepat lah, busa sialan. Pria ini terlalu berbahaya untuk kudekati.


 Pria ini terlalu berbahaya untuk kudekati

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Beastly AffectionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang