18

1.1K 202 8
                                    

🌿

SEDAN Petra berhenti di sebuah bangunan, Mikasa sempat meninjau rumah itu teliti. Bangunanya mewah, berada di jalan raya yang ramai. Titik paling strategis untuk membangun sebuah bisnis. Bangunanya berwarna putih dan coklat mendominasi. Bercampur ornamen kayu yang didesain apik.

Mikasa belum bisa menebak-nebak bangunan apa itu, hanya saja terdapat plang kecil di depan pintu kaca, yang bertuliskan Petra's Gallery.

Petra lantas turun, tak lupa untuk meminta Mikasa ikut keluar dari mobil.

Bruk

Mikasa tutup sambil masih menengadah ke bangunan berlantai dua itu. "Come in," ajak Petra. Dia mempersilahkan Mikasa masuk ke dalamnya.

Mikasa patuh mengekori langkah Petra, sambil berpikir macam-macam. Mikasa menampaki suasana di dalam temaram. Namun cukup jelas, Mikasa bisa melihat banyak sekali lukisan serta perkakas, layaknya palette, kuas, dan canvas.

"Gallery-mu?" Mikasa bertanya asal, meksi sebenarnya dia sudah tahu. "Begitulah. Tapi, Tenang saja, Levi tidak akan menemukanmu di sini, aku rasa kamu akan aman," rasa waspada Mikasa sedikit meluruh.

"Kenapa anda bisa tahu? Atau kenapa anda bisa bersikap tenang seperti ini? Kalau saya menjadi anda, saya mungkin akan mencela habis-habisan"

"Hanya dengan melihat tingkah Levi saja, saya sudah tahu, untuk masalah itu ..." kini Petra tersenyum getir, mereka beranjak menaiki tangga ke lantai dua. Melewati lorong yang dihimpit dinding berhias lukisan, dan figura foto. Sambil menunggu jawaban, Mikasa melihat-lihat ke arah sana.

Sesekali Mikasa berdecak kagum memandang lukisan, yang menurutnya indah.

"Anda kenapa berbuat seperti ini? Seolah-seolah membantu saya untuk bersembunyi. Harusnya anda marah kepada saya, bukan?"

Petra terdiam sejenak, ketika Mikasa menekankan lagi. "Saya harus marah kenapa? Kamu tidak salah. Oh ya, mari kita bicara casual. Lagipula kita ini seumuran," Petra menoleh sesaat ke belakang, memamerkan senyum beratnya.

Mikasa langsung berpikir, sekaligus menilai, bahwa Petra terlihat lebih dewasa dibanding darinya. Petra juga lebih bersikap tenang. Mikasa tak bergeming, ketika membandingkan dirinya dengan Petra.

Petra cantik, anggun, lihai melukis pula. Seni sense-nya teramat tinggi. Dia cerdas, serta memiliki nilai lebih, keluarga Petra sama elitnya dengan Ackerman. Yah, tidak ada alasan kenapa Ackerman menolak Petra, sebagai calon menantu mereka. Petra lolos dari segala aspek penilaian.

"Duduk," Petra menunjuk sebuah sofa empuk berwarna dusty, Mikasa tergoda untuk duduk di sana. Kemudian melenguh panjang. "Mau minum apa?"

"Tidak usah," Mikasa menolak, dia sedang tidak mood mengkonsumsi apa pun. Petra membuka coat yang dia kenakan, lalu ditaruh ke atas meja kerja.

Atensi Mikasa melebar di ruangan 9x10 meter, bergaya kontemporer. Unik, dan menawan, Mikasa berpendapat lagi dalam hati. Sedangkan Petra memilih duduk di samping Mikasa. Tindakan dia begitu santai, berbanding terbalik dengan Mikasa, yang masih merasa canggung.

Mikasa serasa berada dalam mimpi, tak pernah terbesit untuk bisa sedekat ini dengan Petra—istri dari kekasihnya.

Konyol

Mikasa bergumam.

"Mari kita bicara, ada yang perlu aku bahas," Petra memulai pembicaran, dia tipe wanita yang berterus terang. Halis Mikasa melonjak naik, "Ya?" Mikasa sudah bisa menebak, ke arah mana pembicaraan mereka, kalau bukan menjurus ke sebuah nama— Levi.

.

"Sialan!" Levi meruntuki pualam berwarna hitam, sebelah tangannya meremas rambut karna frustasi. Lepas ditinggalkan Mikasa begitu saja, tentu dia marah besar. Namun untuk saat ini, dia redam terlebih dahulu lalu dilepaskan kemudian. Levi sudah berencana untuk mencari Mikasa ke seluruh pelosok kota, atau bahkan penjuru negri.

Perlahan Levi masuk ke bilik kamar. Dia masuk ke dalam kamar bernuansa maskulin yang mewah. Melempas jas sembarang, dan mengendurkan ikatan dasi di lehernya.

Namun sesaat berjalan mendekati ranjang, di sana dia dikejutkan dengan sosok pria, yang terlentang di atas petiduran. Menyadari kedatangan sang pemilik rumah.

Netra Eren menyipit. "Kenapa kau?" menoleh ke belakang sekilas.

Levi tidak kalah heran, sejak kapan pria itu ada di rumahnya—di Azabu. Terlebih di dalam kamar pribadinya.

"What are tou doing here, dude?" Eren mengerut, kenapa pertanyaannya di jawab dengan pertanyaan.

"I decided to comeback early," Eren berusaha menimpal, dengan tenaga yang tersisa. Saat dia terpejam, mendadak bayangan Mikasa mucul.

Sepenggal kepergiaannya dari Maldives, Mikasa terus memenuhi isi kepala Eren. "Shit!" erangnya, Eren menghela napas. Meski sudah mencoba untuk mengusir, bayangan tersebut tetap tak kunjung sirna.

Begitu pula Levi menidurkan diri di sofa kosong.

"Pergi sana, tidak punya rumah kau? Sampai masuk ke rumah orang sembarangan?"

"Kamarku lebih luas di banding kamarmu," Eren balik menyerang.

"Are you mad too?" Levi bertanya tanpa menatap Eren. Terdengar dari respon Eren yang parau, Levi menduga Eren juga sama sedang tidak mood.

"I don't need to clarify, because I bet you know it," sedetik kemudian Levi menyeringai masam.

"Kenapa kau? Huh?" giliran Eren yang menyelidik. "Dia berhasil kabur dariku,"

"Siapa?"

"Menurutmu?" Levi tak menyebut nama, Eren sejujurnya tidak tahu sosok itu. Karna Levi selalu menyebut Mikasa dengan istilah 'X'—misterius. Levi enggan membongkar sosok Mikasa kepada Eren.

Eren juga sebenarnya tidak begitu tertarik, dengan kehidupan privasi Levi.




•••

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Beastly AffectionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang