13

1.1K 209 11
                                    

🌔


"Entah apa yang membuatku seperti ini. Agak memalukan, aneh, aku tahu itu. Ada sesuatu yang mendorongku untuk melakukannya. Aku sedang mencarinya, tapi apa."

Eren melepaskan tangan yang mengikat Mikasa. Dia menundukkan kepala mencengkram sebagian rambut dengan sebelah tangan. "Maafkan aku," Eren melisan lagi tulus.

Di bawah sinar bulan, serta cahaya mangata yang membias di air laut. Belum lagi koloni bintang menghias langit begitu menakjubkan. Suasananya hening, gelap, hanya siluet yang mampu terlihat. Mikasa dan Eren saling berhadapan.

"I see." Mikasa terdiam. Sulit untuk menata hati, tiba-tiba canggung menyelimuti mereka. "Ingin kembali ke sana?" tanya Eren tanpa berani memandang Mikasa. Perempuan itu menggeleng lemah sebagai jawaban.

Mikasa menunjuk Undholi. Sejenis ayunan kayu dekat pesisir pantai. Di sampingnya terdapat pohon palm yang rindang, daunnya melambai seolah mengundang untuk datang. "Di sana terlihat nyaman. Mau duduk?"

"Tapi ini sudah malam." Eren melirik arlojinya sekilas. "Aku sudah bilang jika kamu dalam pengawasanku, kan?"

"Iya aku tahu. Bagaimana kalau treatment-ku kita mulai besok lagi" pinta Mikasa. Gaun serta rambutnya tersingkap lembut oleh angin. Dia menyelipkan rambut yang menganggu ke belakang telinga. "Lagi pula ..." kalimat Mikasa menggantung. Dia mendongkak ke langit sambil tersenyum getir.

"Ini hari terakhirku di Maldives."








Levi lemas. Akalnya kacau tak menentu, heroine, kokain, opium yang selama ini menopang kehidupannya hilang. Dia seperti orang sakau tanpa Mikasa.

Levi stress, beberapa hari ini dia terjaga mencari sebuah nama. Dia bahkan sampai menyewa badan intel swasta yang berada di Jepang, demi melacak keberadaan Mikasa.

Upaya membuahkan hasil, Levi puas meski harus remuk redam sekali pun. Dia sekarang tahu Mikasa berada di Maldives. Terekspos jelas, beberapa foto yang terlampir dalam sebuah email.

Levi yang kala itu di depan monitor berlogo apel, tersenyum kemenangan. Netranya menangkap sosok Mikasa tengah melakukan aktifitas random. Dan kebanyakan, foto tersebut hanya menampakan figur Mikasa saja. Tak ada foto lain di sana selain Mikasa. Toh untuk apa? Kalau ada pun, Levi tak akan peduli.

"Aku harap kamu pulang secepatnya."

"Akhirnya aku menemukanmu."

.

Krieet

Terdengar suara pintu terbuka, bersama langkah kaki yang tak lama memecah hening. Langkah itu semakin mendekat, kemudian terdengar suara yang tidak asing di telinga Levi.

"Hubby. Beri aku alasan kenapa kamu seperti ini? Aku menunggu kamu pulang."

"Kamu tahu? Menantimu itu rasanya ..." suara Petra tertahan karna tak sanggup meredam tangis.

"Menyakitkan," tungkas Levi memperjelas. Seolah melanjutkan kalimat Petra. Dia terbangun dari mejanya, memandang sang istri dengan tatapan kosong.

Petra seka sedikit air mata yang meluncur di pipi. "Itu kamu tahu. Harusnya kamu mengerti perasaanku."

"Tapi apa yang harus aku perbuat? Dari dulu sudah kutekankan, aku hanya menanti satu hati, dan itu bukan dirimu."

Jantung Petra nyaris mati seperti tersambar petir. Hatinya sakit bukan main, terasa sesak, tak sanggup lagi. Bahkan pereda rasa nyeri pun tak akan berpengaruh. Sumber kesakitan dan penawarnya terdapat di diri Levi. Petra serba salah, lantas dia harus bagaimana?

"Andai saja aku bisa membunuhmu."

"Bunuh saja kalau kamu mau." Levi acuh, memasang wajah datar.

"Tapi jika kamu mati. Bukan hanya aku yang akan kehilangan— anak kita juga. Apa jadinya jika dia lahir tanpa ayah? Apa jadinya dia lahir saat sang ibu masuk jeruji besi karna tertuntut bersalah. Kamu pikir akalku sampai situ? Dangkal?"

"Tidak Levi ... aku bertahan selama ini karna dirimu. Apa kamu tahu? Aku sangat bahagia saat ini. Tapi kamu tak akan pernah sadar. Tak akan pernah, bahkan jika matahari terbit dari barat sekali pun."





Rasa sejuk merengkuh Mikasa. Membawa bau harum menyegarkan dari laut. Mikasa terpejam, terlena sesaat akan malam itu. Dia duduk sendiri damai lambat di undholi. Angan Mikasa melompat, membayangkan utopia atau surga. Mungkin rasanya nyaris seperti ini.

Untuk sekejap, isi kepala Mikasa enggan membahas problema yang dia punya. Sebentar saja Mikasa ingin menghela napas lega, kemudian tersenyum bahagia.

"Aku benci, kamu terlalu mudah percaya kepada Mike. Kamu tahu? Dia memberimu jus apel bercampur martini? Kamu masih berpikir jika dia lelaki baik-baik? Dan sedangkan dulu, saat aku memberimu obat saat di pesawat. Kamu begitu waspada! Kamu membeda-bedakan aku? Atau karna wajahku yang mirip seperti mafia?"

Eren tiba-tiba datang dari arah belakang, dia memberi segelas jus Markisa kepada Mikasa, serta sepiring makanan berisi smoked salmon, bayam, telur, dan juga alpukat. Sudah kesekian kalinya Mikasa memakan hidangan tersebut. Melihat itu membuat Mikasa mau muntah.

"Lagi? Dan kamu menyuruh aku makan malam di sini?" netra Mikasa membulat. Memasang wajah tak suka. "Jangan melawan. Aku sudah bilang ini resep yang kamu minta."

"Kebetulan sudah lama juga aku ingin protes. Hey! Aku meminta resep bukan segelas jus aneh, dan sepiring makanan yang itu, itu saja. Aku tidak sedang dalam program diet!"

"Hoo ..." Eren duduk di sebelah Mikasa di undholi, yang mengayun lembut. "Semalam tidurmu nyenyak?"

Sontak Mikasa kelu, diam membatu. "Ya— iya. Hanya saja ..."

"Semua makan ini mengandung senyawa yang membuatmu rileks. Asal kamu tahu, ada banyak obat manjur di dunia ini, selain obat kimia." Eren menyentil dahi Mikasa gemas. "Kamu masih enggan untuk memakannya?"

"Jadi aku harus membayar jasa konsultasi dokter, hanya untuk segelas jus aneh dan sepiring makanan? Kalau begitu, aku juga bisa mencarinya di internet."

"Memangnya aku meminta bayaran?" kini Eren menoleh. Ingin menyaksikan reaksi Mikasa yang kian mati kutu.

"Setelah diingat-ingat. Jawabannya tidak." Mikasa menjawab malu-malu. Saking malunya dia ingin mengubur diri dalam peti mati. Eren berkelakar kemudian. "Ahahaha ..."

Mikasa terkejut, secepat kilat bersemuka dengan Eren. Ini kali pertama Mikasa melihat Eren tertawa lepas seperti tadi. Mata Mikasa tak berkedip beberapa detik.

"Ah. Maaf kalau aku kelewatan," tungkas Eren seraya mengelus perut yang serasa geli. "Ya— Tidak,  maksudku—."

"Kenapa? Kamu seperti terpesona begitu?"

Sadar akan hal tersebut, semu merah jambu menyebar dikedua sisi pipi Mikasa. Segera Mikasa membuang wajah sembarang, menyembunyikan rona.

Padahal Mikasa tak perlu risau, sebab Eren tak akan mampu mengetahui. Di sana terlalu gelap untuk memperhatikan sedetail itu. Untung sinar bulan membantu cahaya temaram dari lampu taman. Tak begitu berdampak.






— 10082019

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


— 10082019

Beastly AffectionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang