MIKASA. Wanita itu memilih Maldives untuk menghabiskan liburan musim panas. Tapi bukannya ia merasa gembira, kedatangannya malah membawa nasib sial.
"Cleopatra dan Mark Antony saja saling jatuh cinta pada pandangan pertama. Malah, saking dalamnya ci...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
🌿
NAPAS Mikasa beradu. Dalam ruangan minim cahaya. Hanya gelap, sesak, bingung yang Mikasa rasa. Kepalanya sakit berdenyut-denyut, mata yang sengaja ditutup oleh sehelai kain berwarna hitam. Menebak-nebak, apa yang Levi lakukan sekarang.
Levi sibuk membuka laci nakasnya, dia memeriksa, di mana barang yang sering dia gunakan untuk menyiksa Mikasa?
Mikasa yang ketakutan menangis. Apa yang akan Levi lakukan padanya setelah ini? Air mata sudah mengalir deras sejak awal, di dalam kamar tersebut. Berpintu merah tua yang membuat bulu halusnya berdiri tegak. Suasana kamar mewah itu tegang, semua gordein tertutup rapat. Mikasa merasakan kengerian luar biasa. Tempat di mana Levi sering melakukan aksi anehnya.
Bayangan yang sudah Mikasa kubur, kini kembali muncul. Oh, ya Tuhan, Mikasa hanya bisa memanjat asa yang semu sendari tadi. Memohon kepada Tuhan, untuk diberi keajaiban agar bisa terlepas dari lelaki itu.
"Jangan bergerak," ujar Levi sesaat menemukan dua buah borgol, yang satunya terdapat rantai saling mengikat. Mikasa meronta, tapi tubuh hanya diam tak sudi bergerak. Efek obat bius yang Levi beri belum juga menghilang. "Bajingan gila! Lepaskan aku!" Mikasa berteriak, dengan suara yang tercekat. "Sudah cukup! Mau sampai kapan kamu mau bermain-main dengan hal seperti ini? Sadar lah Levi, kamu sudah menyakitiku!" timpalnya, kini isak tangis mulai terdengar.
Levi memandang Mikasa gamang, dia berada di ujung petiduran memegang kedua borgol kesukaannya. Dia membuat tatapan sedih, namun bibirnya tersenyum. "Aku sudah menepati janjiku sayang, kamu yang lebih dulu meminta itu padaku. Kamu yang memulai perjanjian itu. Namun sekarang apa? Kamu yang meninggalkanku, bukan? Kamu menghancurkan janjimu sendiri. Siapa, yang menyakiti siapa?"
Levi berucap dengan mata dan suara bergetar. Seolah menyuruh Mikasa untuk berpikir. Kemudian Levi mendekat, dengan langkah gontai. Dia tidak sanggup seperti ini, Mikasa wanita pujaannya. Tanpa Mikasa hidupnya hampa. Seperti langit tak berbintang, seperti kupu-kupu yang kehilangan sayap.
Levi tidak punya pilihan. Mikasa cintanya. Levi ingin hidup terus bersama cintanya. Cinta Levi begitu dalam, mustahil untuk sirna. Karna Mikasa sudah tertanam di dalam sanubari.
"Kamu mau pergi ke mana pun tidak akan bisa. Kamu milikku, meski aku bukan sepenuhnya milikmu. Aku sangat mencintaimu Mikasa, kemari lah. Aku tidak akan bertindak kasar selagi kamu, tidak melawan"
Levi beranjak naik, dia duduk di atas petiduran, pura-pura melunak. Sambil mengangkat kedua tangan Mikasa. Kemudian dia cium, bibir Mikasa dengan rakus, seperti biasa. Ciuman yang menuntut. Levi tak sanggup membendung, hasratnya sudah tumpah ruah. Levi ingin segera menghabiskan tubuh menggoda—yang selalu sukses membangkitkan gairahnya.
Levi lumat dengan kasar, sampai Mikasa kejang kehabisan napas. Levi seolah lupa, jika wanita yang sedang dia cium adalah manusia hidup. Tak sampai di situ, Levi beranjak naik ke atas tubuh Mikasa yang terlentang.
Dia menatap intens ke arah Mikasa, sambil mencumbu. Satu tanganya masih menahan Mikasa untuk tidak bergerak, yang satu lagi bertumpu untuk menahan beban tubuhnya.
"Dari dulu sampai sekarang kamu tetap menarik sayang, aku suka," katanya melepaskan tautan bibir. Lalu Levi memasangkan sebuah borgol tanpa rantai di kedua lengan Mikasa, hingga wanita itu tak mampu untuk melakukan apa pun. "Aku merindukanmu, aku ingin tubuhnu sayang. Sudah lama aku tidak merasakannya. Ah, sial. Kamu memang menggoda,"
"Bajingan gila ..." lirih Mikasa. Suaranya parau, dia sudah nyaris telanjang, dengan baju yang tersingkap. Levi kemudian membuka baju hitam yang Mikasa pakai, menampaki tubuh yang membuat Levi semakin bergairah.
Siluet yang sempurna, payudara ranum. Kulit yang putih seperti salju—lembut ketika disentuh.
"I don't even care," ujarnya menatap Mikasa penuh napsu. Seperti ada api menyala dalam mata Levi. Kemeja putih yang dia pakai, dilepaskan kancingnya satu persatu. Hingga terlepas secara menyeluruh, Levi lempar kemeja itu sembarang.
"Aku merindukanmu memakai tali garter sayang. Padahal semua gaun tidurmu masih kusimpan dengan rapi. Tapi biar lah, kamu tetetap memukau, apa pun yang kamu kenakan, akhirnya akan kulepas juga,"
Mikasa semakin menggila. Batinnya seperti terbakar oleh api yang dicipatakan Levi. Dia sungguh marah, dia berandai bangkit dari petiduran, lalu menghempaskan bajingan itu sampai terpental. Tapi apa dayanya, tubuh Mikasa masih dijerat efek samping obat bius.
. . .
EREN melepaskan sneli identitasnya, di dalam lift yang menuju lantai dua. Dia sudah menuntaskan tindakan operasi yang ke tiga hari ini. Salah satunya, operasi usus buntu yang baru saja dia selesaikan. "Saat di ruang operasi kamu terlihat buru-buru, what happen?" Hitoria bertanya yang kebetulan ada di belakangnya. Dia memasukan kedua tangan ke dalam saku sneli, berlapis baju operasi serba biru. Seperti biasa, Historia selalu memperhatikan pria itu.
"I have to rush," jelas Eren. Kondisinya nampak masih segar bugar, kendati merasa amat letih. Mungkin akibat julukan tenaga kuda, yang melekat di diri Eren—Jadi terbiasa.
"Kemana?"
"Ke rumah temanku. Aku mau mengajaknya minum. Kulihat dia sedang galau akhir-akhir ini," Eren menjawab tanpa menatap Historia, menatap lurus ke depan, menunggu pintu lift terbuka. Dia menjelaskan seolah-olah—jika dia adalah kawan yang baik. Eren kemudian bersedekap.
"Temanmu yang seorang CEO itu?" tanya Historia, seraya mengingat-ngingat, sebab dia pernah memergoki Eren bersama Levi, tapi entah kapan.
"Correct," Eren mengiyakan, dia tersenyum tipis. "Ke Pub? Apa aku boleh ikut? Kenali aku pada temanmu," Historia lagi-lagi menggencarkan aksi pendekatan. Dia menganggap, teman Eren maka akan menjadi temannya juga. Tapi sepertinya Eren tidak menangkap maksud tersebut.
"Anytime. Sebab aku minum di rumahnya, kalau kamu mau nanti kita lakukan di tempat lain, okay?" Eren melepaskan tanganya yang menyilang.
Sesaat pintu lift terbuka, Eren tersenyum memberi tanda perpisahan. Historia membuang napas kasar, perempuan itu masih terdiam di dalam lift, sambil memandangi punggung Eren yang kian menjauh, dan menghilang dari mata Historia.
Historia bergumam. "Hey, apa kamu terlalu mustahil untuk kugapai?"
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.