#20

2.2K 81 1
                                    

Happy Reading, Readers!❤️

“Ning sudah.. saya nggapapa.. Allah tau kebenarannya kita ngga ngelakuin apa-apa emang..” ucap Anjar pada Fia.

...

“Sudah.. sudah.. Abah percaya kalau kalian ngga melakukan hal sehina itu! Tapi nduk, le, kalian terbukti bersalah. Peraturan tetap peraturan, kalau dua-duanya salah, dua-duanya juga harus menerima konsekuensinya!” ucap Kyai Yazid, yang membuat Anjar dan Fia mengangguk mengerti.

“Anjar, kamu tetep ta’zir, ditambah skors ngga ngajar satu minggu nggih Nak?” ucap Kyai pada Anjar.

“Nggih Bah, Anjar mohon maaf sebelumnya..” balas Anjar menerima.

“Kalau Fia, sama ta’zir juga. Tapi tetep masuk kelas, sama setor Al-Mulk dengan waktu satu minggu nggih Nduk?” Ucap Kyai pada cucunya itu.

Ucapan itu sempat membuat Fia melotot tak terima, namun akhirnya mengangguk juga. Bukan masalah dijemur yang membuat Fia kaget, tetapi lebih pada hafalan suratnya hanya diberi waktu satu minggu.

Fia dan Anjar berjalan ke lapangan bersama Gus Zaenal selaku Kepala Keamanan pondok untuk menjalankan hukumannya.

Fia sudah berganti kerudung putih dengan coretan pylox merah, dan Anjar memakai baju putih dengan coretan pylox merah juga. Atribut yang menandakan bahwa mereka seorang pelanggar dengan kasus berzina. Anjar terlihat menunduk malu, sedangkan Fia tetap mengangkat dagunya dan melirik tajam setiap orang yang melihatnya. Hari itu sangat cerah dan matahari terasa begitu menyengat kulit. Mereka berjemur di lapangan bersebelahan dengan jarak sekitar dua meter.

Waktu menunjukkan pukul 10.00 WIB, artinya hukuman ta’zir mereka satu jam lagi akan berakhir. Terlihat botol minum yang dibawa Fia yang sudah kosong, sedangkan milik Anjar masih tersisa setengah.

“Ning Fia ngga apa-apa?” ucap Anjar sambil menunduk menahan panas cahaya matahari.

“Ning Fia masuk aja, biar saya yang gantiin sisanya.” Imbuhnya.

“Aku udah biasa kali dihukum gini!” balas Fia yang kini ikut menunduk karena panas.

Anjar melihat Fia yang begitu kelelahan dan terlihat haus. Tak mungkin Anjar terang-terangan memberi air minum untuk Fia, karena mereka saat ini adalah pusat perhatian orang-orang yang sedang berada disekitarnya. Akhirnya Anjar menendang pelan botol minumnya ke arah Fia.

“Maaf ngasihnya ngga sopan, minum aja punya saya..” ucap Anjar masih tetap menunduk sambil melirik sedikit ke arah Fia.

Fia memahami situasi Anjar saat ini, ia sedang berada pada pusat perhatian mata. Kemudian Fia berjongkok dan meminum seteguk dari dalam botol itu. Lalu meletakkannya di samping kanannya, dan menendang pelan ke arah kanannya menuju Anjar.

“Terima kasih!” ucap Fia tersenyum.



Malam harinya Fia mengirim pesan lagi pada Anjar. Dan sudah pasti membuat Anjar menarik bibirnya tersenyum.

“Mas, maaf ya gara-gara Fia..” –Fia

“Hehe, saya yg harusnya ngomong gitu Ning..” –Anjar

“Awas aja nanti kalau Ajeng ketemu aku” –Fia

“Sudah sudah Ning, ngga baik nyimpen dendam.. Cukup ini jadi pelajaran hari ini.” –Anjar

“Kok baik bgt sii?” –Fia

“Sudah, jangan patah semangat buat cari ilmu yaa!” –Anjar

“Iyaa pasti hehe..” –Fia





Anjar POV..

Aku sudah menduga kalau jadinya akan seperti ini. Perkataan Ning Fia tadi siang cukup membuat jantungku berdebar. Antara kaget dengan sikapnya yang begitu kasar terhadap orang-orang disana, dan ada perasaan kagum tidak menyangka karena ia terang-terangan berusaha menjaga nama baikku.

Menurut pembicaraan orang-orang yang hanya melihat Ning Fia dari sisi depannya, ia adalah sosok yang judes, keras, dan urakan.

Begitu juga denganku saat pertama mengenalnya. Tapi apa yang aku pikirkan dahulu sangatlah berbanding terbalik saat aku mulai mengenalnya lebih dalam. Ia sosok wanita yang kuat, bertekad besar, dan pemberani. Selain itu ia juga memiliki sisi lembut dan perhatiannya sebagai wanita dengan caranya sendiri, dan tentunya dia juga… ehm.. cantik.

Aku memastikan bahwa aku telah mencintainya. Tapi yang selalu berputar di kepalaku adalah 'aku ini hanya santri biasa'.

Ia juga selalu dikelilingi oleh banyak laki-laki hebat, apa mungkin ia melihat ke arahku? Mungkin saja ia hanya menganggapku sebagai temannya dan tidak lebih.

Ya Allah jika memang Ning Fia engkau takdirkan untukku, maka tetapkanlah hati ini padanya, jagalah ia dari pengaruh-pengaruh buruk yang dekat dengannya, serta pertemukanlah kami dalam ridho-Mu. Tapi jika memang ia bukan takdir hamba, bantu hamba untuk mengikhlaskannya serta pertemukanlah ia dengan seseorang yang dapat membawanya kepada Jannah-Mu.

Anjar POV End..





Fia meletakkan ponselnya di samping bantalnya. Kemudian ia kembali menyahutnya dan mengetik sebuah pesan pada Rasyid untuk menanyakan kabar Anjar.

“Mas..” –Fia

“Dalem Ning?” –Rasyid

“Tanya dong.. Mas Anjar gimana sekarang?” –Fia

“Wkwk kirain mau nanya kabarku Ning.. Baik-baik aja kok, ini dia lagi tiduran..” –Rasyid

“Pasti terpukul banget ya, cuman gara-gara nganterin Fia kepercayaan orang-orang sama Mas Anjar terancam.” –Fia

“Santai aja Ning, seminggu lagi pasti balik normal kok wkwk..” –Rasyid

“Sok tau! Tapi ya Aamiin sih semoga aja..” –Fia

“Aku juga pernah kali ning, santai aja..” –Rasyid

“Anjar juga gak nyesel kok kalau dihukum demi ngelindungin Ning Fia..” –Rasyid

“Bahasanya bikin baper deh-_-” –Fia

“Beneran ini, kalau Anjarnya suka sama Ning Fia gimana? Wkwk..” –Rasyid

“Ngarang banget deh.. yaudah deh mas, Fia bobo dulu.. Salam buat Mas Anjarnya yaa! Wkwkw” –Fia

“Ciyeee wkwk, siaap Ning!” –Rasyid

Setalah menutup percakapan online dengan Rasyid, Fia membuka galeri ponselnya.






Fia POV..

Aku menghubungi sahabat dekat Mas Anjar untuk menanyakan keeadaannya dan syukurlah ia baik-baik saja. Semoga ia tidak begitu terpukul karena hukuman ini.

“Beneran ini, kalau Anjarnya suka sama Ning Fia gimana? Wkwk..”

Sial, chat yang dikirim Mas Rasyid itu membuatku kepikiran. Tidak mungkin lah, ia mengantarku kan hanya untuk memastikan temannya aman.

Oh iya aku belum sempat melihat foto selfieku bersama Mas Anjar kemarin. Kalau diliat-liat gini Mas Anjar ganteng juga sih ya. Pantes aja santriwati-santriwati itu pada ngerebutin Mas Anjar. Kalau di pikir-pikir lagi, dia tuh ya ngga ada kurangnya sih. Udah ganteng, tinggi, berkarisma, bela dirinya oke banget, hafidz, suaranya merdu, sholih lagi. Enak kali ya kalau suamiku besok kek Mas Anjar gitu.

Rencananya aku mau bobok sih tapi tidak sadar malah melamun dengan senyum-senyum di kamar membayangkan paras Mas Anjar. "Oh my God! Fiaa stop, Mas Anjarkan temenmu. Udah-udah jangan sampek rusak pertemanan cuman gara-gara perasaanmu Fi! Lagi pula mana ada orang sebaik Mas Anjar suka sama anak yang urakan kek aku?” Batinku.




Fia POV End..




Bersambung..





Mohon maaf atas keterlambatan updatenya yaa..😢





Mohon maaf jika terdapat typo, hehe..
Kritik dan saran yang membangun, sangat dibutuhkan.
Jangan lupa vote teru yaa! Terima kasih!!❤️😘

Pantaskah Aku? Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang