#10

2.5K 85 7
                                    

Happy Reading, Readers!❤️


Anjar POV..

Entah bagaimana perasaanku padanya, yang pasti aku senang setiap kali melihatnya. Dia seorang perempuan yang terlihat jelas jauh dari kata Alim seperti yang aku idamkan. Dia gadis yang bagiku cukup urakan, tapi.. ia memiliki segudang prestasi.

Gadis itu adalah Ning Fia, cucu kedua, dari putri terakhir KH Yazid Assaili pemilik Pondok Pesantren Nurul Iman tempatku menimba ilmu.

Aku dan temanku Rasyid sudah lama mengenalnya, karena ia dan keluarganya selalu menginap di rumah Kyai saat liburan sekolahnya. Aku mulai mengenalnya saat aku duduk di kelas dua Madrasah Aliyah, sedangkan ia seumuran dengan adikku Azam yang masih kelas satu SMP. Saat itu aku dan Rasyid sedang dipanggil Abah untuk ikut ke rumahnya untuk dikenalkan pada cucu laki-lakinya asal Surabaya yang hendak mondok bersama kami, Gus Fahmi yang merupakan kakak kandung dari Ning Fia.

Kemudian kami juga diperkenalkan dengan cucu perempuannya Ning Fia dan Ning Alin. Singkatnya aku dan Rasyid mulai berteman baik dengan Gus Fahmi, Ning Fia, dan Ning Alin.

Flashback ON

“Gus, aku tuh mau ngukur seberapa jauh kemampuan bela diriku!” Ucap Ning Fia merengek pada Gus Cahyo yang sedang berjalan menuju lapangan tempat kami latihan silat.

Saat itu aku sudah menempuh pendidikan di UGM Yogyakarta di tahun ke dua. Mungkin saat itu Ning Fia sedang duduk di bangku SMA.

“Ini cowok semua Nduk, kamu tuh cewek!” Balas Gus Cahyo.

“Ngga takutlah!” Ucap Ning Fia.

“Bukan gitu nduk..” ucap Gus Cahyo terpotong.

“Bukan muhrim? Sparing sekali aja deh sama lawan yang kuat! Toh aku ngga bakal napsu juga sama mereka.” Potong Ning Fia.

“Sekali aja loh ya?” Ucap Gus Cahyo menyerah dengan mengacungkan jari telunjuknya.

“Oke aku ganti baju dulu.” Balasnya.

Batinku ini perempuan nekat banget, maksa ngajakin sparing sama laki-laki. Tak lama kemudian ia kembali ke lapangan yang saat itu sangat gelap karena waktu menunjukkan pukul 22.00 dan keadaan pondokpun juga sepi hanya ada santri-santri yang latihan silat. Begitu mencolok pakaian Ning Fia pada malam itu. Ia mengenakan setelan dogi (pakaian karate) berwarna putih, dengan sabuk karate berwarna hitam yang melingkar di perutnya.

“Jadi mau nantangin siapa?” Kata Gus Cahyo pada sepupunya itu.

“Terserah, yang pro player pokoknya.” Jawab Ning Fia.

“Njar tolong berdiri!” Ucap Gus Cahyo yang membuatku kaget.

Dhegg..

Aku sempat menelan ludahku karna kaget, yang bener aja Gus Cahyo menyuruhku untuk melawan gadis ini. Bagaimana jika aku memukul pada bagian yang nggak seharusnya? Astaghfirullah.. Pikiranku mulai rusak nih keliatannya. Kemudian aku berdiri dan menundukkan pandanganku.

“Aku menyuruhmu, karena aku percaya kamu ngga bakal cari-cari kesempatan.” Bisik Gus Cahyo.

“Oh Mas Anjar ya? Boleh juga hehe.” Ucap Ning Fia.

“Sebentar, aku minta disini pure sparing fisik ya, jangan pake tenaga dalam segala! Karena aku cuman pake pure fisik.” Tambah Ning Fia dengan menggulung sedikit lengan bajunya dan ujung celana karatenya.

Aku hanya mengangguk mengerti. Aku dan Ning Fia berdiri berhadapan.

“Siap-siap.. Yahhoooo!” Teriak Gus Cahyo menandakan dimulainya sparing.

Saat itu yang terpikirkan dibenakku “Bagaimana bisa aku menyerang seorang cewek?”. Pada akhirnya aku hanya memilih memancing, menghindar dan bertahan saja, tanpa menyerang.

Ia memasang kuda-kuda dengan kaki kanan di depan, dan aku justru memasang kuda-kuda kebalikannya agar ia merasa sulit menyerangku. Gadis itu melayangkan satu pukulannya dengan tangan kanan, dan berhasil aku tepis. Kemudian ia melayangkan sebuah tendangan padaku dan aku berhasil menghindarinya. Di tengah-tengah aku menghindari tendangannya, dengan cepat sebuah pukulan sampai diperutku. Sial aku terlambat menangkisnya.

Aku melayangkan sebuah tendangan kepala, tapi sama sekali aku tidak berniat untuk mengenainya. Sebuah serangan tak terduga datang menghampiriku.

“Bughhh” suara tubuhku terbanting.

“Ouhhh..” Sorak teman-teman tersentak.

Sial, ia menjegalku sampai aku kehilangan keseimbangan dan terjatuh ke tanah.

“Sampai kapan cuman mancing lalu menghindar?” Bisiknya yang jongkok di sebelahku.

Dheggg..
Lagi-lagi aku tersentak.

“Bagaimana ia bisa tau aku menghindarinya?” Batinku.

“Maaf, saya ngga menyerang perempuan, Ning” Ucapku padanya.

“Ohh.. Oke.. Jangan menyesal ya!” balas Ning Fia dengan sedikit menarik bibirnya.

“Stop!” Isyarat Gus Cahyo menandakan Ning Fia mencetak score dan kami harus kembali pada posisi awal.

“Mulai!” Teriak Gus Cahyo memulai.

Ning Fia masih tak segan melayangkan pukulan dan tendangannya, dan aku hanya tetap menangkis dan menghindar. Ditengah aku menghindari serangannya, lagi-lagi satu pukulan melayang di jidatku.

“Stop!” Teriak Gus Cahyo dan kami kembali pada posisi semula berhadapan.

Aku yang kelamaan sudah terpancing emosi. Terus-terusan menerima serangan dan tidak membalas membuatku terlihat lemah sebagai laki-laki. Kali ini akan ku balas Ning! Batinku.

“Mulai!” Teriak Gus Cahyo lagi.

Ning Fia tampak begitu antusias menyerangku di poin terakhir sampai tak sadar bahwa ia lengah menutup celah.

Saat ia hendak menendangku, langsung saja aku meringkas jarak kami dan menjegal satu kakinya yang menjadi tumpuan. Sudah aku pastikan ia akan jatuh dan aku segera mengambil posisi berdiri.

Grepp..
.
.
.
.
.

Bersambung..

Mohon maaf jika terdapat typo dalam cerita. Kritik dan saran yang membangun sangat diperlukan.
Jangan lupa vote terus yaa! Terima kasih!❤️

Pantaskah Aku? Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang