8. Mission

50 6 4
                                    

"Bagaimana penelitianmu?" ucap seorang pria bersetelan hitam dengan aksen Italia kental.

Derren Xhapier menoleh kikuk. Semakin hari ia merasa gelisah terus-menerus berada di laboratorium bawah tanah. Ambisinya perlahan memudar menjadi rasa takut. Ia dikenal sebagai sosok ilmuwan ambisius, tetapi ia tak akan melibatkan manusia sebagai kelinci percobaan, itu bertentangan dengan prinsipnya. Derren berambisi menyelamatkan bukan melukai seseorang.

"Braindeath masih harus diuji coba," jawab Derren setelah berhasil mengendalikan kekikukannya.

Braindeath sebuah alat yang diciptakan untuk menopang hidup pasien koma agar otak tetap berfungsi dengan baik tanpa efek samping. Alat itu ditanamkan di bagian tulang belakang. Namun, ini bukan lagi alat untuk menyelamatkan seseorang. Hanya sesuatu yang dapat berakibat fatal jika benar-benar jatuh ke tangan sang tokoh kriminal.

"Fiona, kau tahu apa yang harus kau lakukan?" tanya pria itu lagi.

Seorang wanita berjaket kulit hitam tersenyum licik, ia membungkukan punggung penuh hormat. Lalu pergi untuk menjalankan tugas yang Derren terka tak jauh uji coba dan penelitian. Ia semakin cemas, jika ketakutannya terbesarnya itu akan terjadi dalam waktu dekat.

Puas mendengarkan sumpah serapah Bob---pemilik supermarket yang menuntutnya untuk ganti rugi. Jane meletakkan selembar cek di meja kasir, lalu keluar dari sana sebelum tangannya terayun memukul wajah pria bertubuh gempal itu.

Jane menghela napas, ia tak menyukai bau wine apalagi hingga mengotori jasnya. Berjalan ke area parkiran, ada mobil muscle merah menghadang jalannya. Tangan kanan bersiap mengeluarkan sebilah pisau bedah dari dalam kantong jasnya.

Seorang gadis berambut pirang keluar dari pintu sisi kanan depan. Jane semakin mengeratkan genggamannya pada pisau tersebut, alisnya menukik tajam melihat langkah pelan gadis asing itu.

"Mary Jane!"

Fokusnya tertuju ke arah sumber suara, mengabaikan gadis berambut pirang itu yang berlalu begitu saja.

"Tetka," gumamnya. Melihat sosok Marianna, Jane mengendurkan genggaman dari pisau di dalam saku jasnya itu.

"Jangan katakan, kalau kau juga diserang seseorang," tebak Marianna.

Sebelah alis tebal gadis itu terangkat. Marianna memapah gadis itu ke dalam mobil, sedangkan Alicia harus berpisah di sini karena memiliki jalan misi yang berbeda.

Mobil melaju di kecepatan sedang. Jane menyandarkan kepalanya ke kaca jendela sambil menatap jalanan yang cukup dipadati oleh pengendara hari ini. Beragam pertanyaan dan spekulasi bermunculan, ia bingung.
Mengapa seseorang menyerangnya?
Apakah seseorang berkhianat, menyebar luaskan anggota klan Antonovich sebagai salah satu klan paling berpengaruh di dunia, setelah klan Rekhanov dan Maksimoff?
Jika memang begitu, apakah Blaze mengalami hal yang sama?

Klan Rekhanov dan klan keluarganya telah saling berkerja sama sejak era kekaisaran Rusia, tetapi mereka tidak seperti klan Maksimoff yang sedikit terbuka kepada publik, walau tidak secara keseluruhan. Jadi bukan hal yang keliru jika Jane merasa seseorang telah berkhianat. Keluarganya sangat tertutup dan karena itu juga nama marga Blaze adalah Rekhanov bukan Maksimoff.

"Hati-hati."

Jane tersenyum simpul sambil mengangguk pelan. Ia melangkah setelah mobil yang dikendarai Marianna menghilang dari pandangan.

Namun, niatnya urung seketika. Gadis itu berdiri mematung di depan pintu yang sedikit terbuka. Suara penuh emosi dari dalam membuatnya tak nyaman.

"Mengapa harus aku?!"

"Itu karena kesalahanmu," jawab Natasha dengan suara tenang.

Blaze mengumpat, diiringi suara pecahan sesuatu. Lalu perdebatan sengit antara Natasha dan Marina terjadi. Itu adalah hal yang tak biasa bagi Jane, mereka tidak pernah beradu argumen sesengit itu. Ataukah ia baru saja mengetahui sebuah fakta yang tidak pernah ia ketahui?

"Sikapmu melampaui batas," ujar Marina dengan kedua tangan terkepal.

"Kau tak akan mengerti, Marina."

Marina tersenyum miring." Ya, tentu. Aku tidak mengerti karena aku bibinya bukan seorang ibu."

Hening. Ruangan itu mendadak sepi ketika Jane membuka pintu dan menatap satu per satu dari mereka.

Blaze diam. Jane tak tahu harus bagaimana, situasi saat ini begitu canggung. Ia tidak pernah mendengar nada suara Blaze dan Marina seemosional itu. Natasha memalingkan wajah tanpa raut emosi, lalu masuk ke ruangannya di dekat tangga. Disusul Marina yang berjalan menaiki tangga. Tersisalah ia dan Blaze yang terduduk lemas di anak tangga ketiga.

"Bersiaplah, kita akan pergi ke Kingsley malam ini." Blaze berhenti di depan pintu.

Sebuah misi untuk menegakkan keadilan ataukah hukuman?

Mike mengunyah permen karetnya sambil menatap malas Stuart yang nampak begitu bersemangat. Sungguh ia enggan menjadi salah satu detektif pilihan yang harus menyelidiki keberadaan markas Riot Chamber di Kingsley. Ditambah omong kosong walikota Carl Johanson di radio membuatnya mempunyai niatan untuk melemparkan sepatu botsnya ke wajah pria itu setelah semua ini berakhir.

Keputusan sudah bulat, Detektif Mike dan Opsir Stuart akan pergi ke Kingsley untuk misi pencarian markas Riot Chamber yang menurut rumor ada di kota kecil itu bersama Frank. Namun, Kota Kingsley adalah salah satu tempat di LA yang diguyur salju saat musim dingin tiba, itu sungguh merepotkan bagi Frank. 

Ia tak membenci salju, hanya saja pria itu lupa membawa sepatu botsnya. Cukup merepotkan berjalan menggunakan sepatu pantofel karena salju yang ia pijak masuk ke dalam alas kaki. Ditambah ia dan Stuart harus mendorong mobil yang tersendat tumpukan salju hingga ke dalam garasi. Bertambahlah kadar kekesalan pria asal Nevada itu.

Mike keluar dari kursi kemudi, ia membuang permen karetnya secara sembarangan dan langsung mendapat teguran sopan oleh Stuart. Pria itu mengangkat bahu tak acuh, lalu tertawa.

Ketiganya kompak menatap sebuah rumah berlantai dua di depan. Bangunan itulah yang akan menjadi tempat tinggal mereka selama menjalankan misi.

"Kita hanya bertigakan?" tanya Frank, memastikan.

"Memangnya siapa lagi yang akan bergabung?" timpal Stuart.

"Diam, kalian ingin membeku?!" Mike masuk terlebih dahalu.

Frank berjalan di posisi paling belakang sambil membawa dua tas berisikan senjata api dan amunisi. Ia merasa sedikit khawatir dengan keputusan pihak petinggi Amerika di tengah-tengah situasi pengejaran The Nero yang menurutnya terlalu terburu-buru. Namun, apalah daya, inilah tugasnya sebagai bagian dari penegak hukum, menolak sama saja dengan pemberontakan. Tepatnya, tak ada kata tidak.

"Tetangga!"

Frank menoleh, tatapannya langsung tertuju pada seorang pria berkaca mata yang tengah melambai-lambai tangan kanannya kepada Frank sambil tersenyum ramah. Frank membalas senyuman orang itu tak kalah ramah, lalu berbalik masuk menyusul Mike dan Stuart di dalam rumah.

Senyuman ramah pria berkacamata itu berubah menjadi seringai tajam setelah sosok Frank hilang dari pandangannya.

"301 ... 301 ... 301...." Ia bergumam sepanjang jalan, terkadang ia tertawa lalu terdiam dan kembali menyeringai tajam. Tangan kirinya menyeret kapak dengan sisa noda merah di bagian gagangnya. "Aku suka orang baru."

REDSMAXX [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang