Dua hari terakhir, hubungan Angga dan Ayra cukup membaik seperti dulu. Sedikit kemajuan untuk hubungan mereka yang tadinya diambang kehancuran. Hari ini, Angga menjemput Ayra seperti biasanya. Bedanya hanya tidak ada Tania yang biasanya selalu nempel dengan Angga.
"Ga, udah lama?" tanya Ayra saat di parkiran.
"Belum kok, mau langsung pulang atau jalan?" tanya Angga.
Kalau dipikir lagi, sudah lama Ayra tak menikmati waktu berdua dengan Angga. Apalagi setelah Angga lulus SMA, rasanya jarang sekali Ayra memiliki moment dengan Angga. Tidak ada salahnya jika ia jalan-jalan hari ini.
"Boleh, ke toko buku mau nggak? Aku mau nyari novel nih."
"Oke." Angga dan Ayra lalu masuk ke mobil.
Setelah dari toko buku, waktu sudah menunjukkan pukul setengah empat sore. Cuaca juga tak bersahabat, tampak dari awan hitam yang menyelimuti langit dan juga suara gemuruh yang menandakan hujan akan segera mengguyur.
"Mau langsung pulang?" tanya Angga pada Ayra.
"Iya, aku nggak mau kita kejebak hujan lagi kayak kemarin," ucap Ayra.
Angga lalu melajukan mobilnya menuju rumah Ayra. Perlahan rintik hujan mulai jatuh membasahi tanah. Hanyalah gerimis yang tak begitu lebat sehingga Ayra tak terlalu takut. Tapi jangan lupakan awan hitam di atas sana, hujan deras pasti akan segera turun. Tak lama Angga membelokkan mobilnya ke sebuah rumah yang tak lain adalah rumah Ayra. Saat itu juga hujan mulai turun dengan deras.
"Orang tua kamu mana?" tanya Angga.
"Biasalah, urusan kerjaan."
"Bang Ayroz?"
"Kuliah di Belanda."
"Aku boleh masuk?"
"Boleh, di dalem ada pembantu aku juga."
Mereka berdua turun dari mobil dan langsung masuk ke dalam rumah. Angga berhenti di ruang tamu sementara Ayra berjalan menuju kamarnya. Tak lama ia kembali turun menuju dapur dan kembali melangkan menuju ruang tamu dengan dua cangkir matcha greentea latte. Masih ingatkan, minuman kesukaan Angga.
Langkah Ayra terhenti saat ia mendapati Angga yang sepertinya sedang telfonan dengan seseorang. Ayra juga tidak tahu siapa orang itu. Namun karena rasa penasarannya, Ayra memutuskan untuk mendengarkan pembicaraan mereka dari balik dinding pembatas ruang tamu.
"Gue nggak bisa," ucap Angga pada seseorang yang menelfonnya.
"..."
"Gue janji, lain kali. Tapi hari ini gue bener-bener nggak bisa."
Mendengar ucapan Angga, Ayra semakin curiga. Baru saja ia baikan dengan Angga, sekarang ada saja masalah yang muncul lagi. Tapi Ayra berusaha meyakinkan dirinya untuk tetap percaya pada Angga. Setelah Angga menutup telepon, Ayra baru kembali dan bersikap seolah tak mendengar apapun tadinya.
"Telefon dari siapa Ga?" Tanya Ayra dengan tersenyum. Gadis itu mencoba untuk mengetes Angga apakah ia jujur atau justru berbohong.
"Oh, bukan siapa-siapa kok. Nggak penting juga," ucap Angga. Bukanlah jawaban itu yang Ayra inginkan. Ayra ingin Angga menjawab yang sebenarnya, bukan malah menutupinya seperti ini. Jujur, ada perasaan kecewa di lubuk hati Ayra.
"Em, Ga. Kayaknya udah mau sore deh, hujan juga udah reda. Kamu nggak pulang aja?" tanya Ayra. Bukannya bermaksud mengusir Angga atau apa, Ayra hanya tidak ingin emosinya meledak dan membuat hubungannya dengan Angga kembali merenggang.
"Em, ya udah deh. Aku pulang dulu ya,"
"Iya," jawab Ayra.
Angga lalu berdiri dari duduknya. Ia tersenyum ke arah Ayra. Sebuah senyuman yang mampu membuat Ayra buta dengan segalanya. Sudah jelas jika ia tersakiti tapi ia masih bertahan. Kadang Ayra heran dengan dirinya sendiri.
Setelahnya Angga berjalan keluar dari rumah Ayra. Senyuman yang tadinya Ayra tunjukkan berubah menjadi sebuah isakan. Ayra akui dirinya bodoh saat tetap diam ketika Angga menyakiti hatinya. Namun, ia tak pernah rela melepaskan Angga. Ayra berjalan menuju kamarnya. Dengan wajah yang murung, gadis itu melangkah menuju balkon kamarnya. Suasana sore setelah hujan, udara yang mampu menenangkan perasan Ayra. Dengan segala beban di hatinya, ia menghembuskan napas dalam.
❄❄❄
"Ayra masih belum tau?" tanya Chandra sembari menghampiri orang yang ia ajak bicara, Angga. Malam ini seperti biasanya, Chandra berada di rumah Angga.
"Belum. Gue masih nunggu waktu yang tepat buat ngomong semuanya sama dia. Untuk sekarang gue rasa dia masih belum bisa nerima semuanya," jawab Angga tanpa ekspresi. Cowok itu lalu mengambil ponselnya dan membukanya. Terdapat sebuah notif pesan yang ditujukan kepadanya.
Tania
Ga, lo di suruh ke rumah sama mami
Ada yang penting katanya.Angga menghela napasnya. Lagi dan lagi, ia terpaksa menuruti kemauan orang lain. Cowok itu membanting ponselnya di sofa. Ia mengacak-acak rambutnya frustasi dengan keadaan. Angga yang sekarang bukanlah yang dulu. Dulunya, ia seakan yang berkuasa dalam hidupnya. Tak ada orang lain yang bukan siapa-siapanya yang bisa mengaturnya. Tapi sekarang, keadaan justru berbalik. Takdir menyuruhnya untuk melakukan kemauan semua orang sekalipun itu yang tak ia inginkan.
Angga menginginkan kebebasan. Ia ingin seperti dulu lagi. Tidak apa ia harus mengurus bisnis keluarga asalkan ia bebas melakukan apapun. Angga menginginkan waktu kembali terulang. Ia ingin menarik kata-katanya yang membuatnya terkekang seperti sekarang ini.
"Dari siapa?" tanya Chandra.
"Tania," jawab Angga.
Chandra tak melanjutkan pertanyaannya lagi. Tadinya ia ingin menanyakan isi pesan itu. Tapi setelah tahu siapa sang pengirim pesan, Chandra sudah bisa memprediksi isi pesan tersebut.
"Lo nggak kasian sama Ayra? Gue yakin dia cemburu liat kedekatan lo sama Tania. Gue aja gedek tiap liat lo sama Tania apalagi Ayra. Lo nggak pernah pikirin perasaan dia?" tanya Chandra.
"Ayra biasa aja kok liat gue deket sama Tania. Dia bahkan temenan sama Tania sekarang. Gue rasa nggak masalah," ucap Angga yang entah mengapa membuat Chandra ingin melayangkan pukulan pada Angga. Andai saja Chandra tidak ingat jika Angga pemegang sabuk hitam taekwondo, ia pasti sudah maju menyerang Angga. Jika Chandra menyerang Angga, sudah pasti ia akan babak belur.
"Terserah lo. Tapi gue ingetin lagi, Ayra juga punya perasaan. Di depan lo dia kelihatan kuat padahal gue yakin dia sering nangis di belakang lo. Sekarang gue tanya, lo masih inget janji lo ke Kris sebelumnya?" tanya Chandra.
Ingatan Angga kembali pada saat ia akan berangkat ke Kanada. Kata-kata Kris masih bisa ia ingat dengan jelas.
"Lo tenang aja, gue nggak akan ngerebut dia dari lo. Dengan syarat jangan pernah bikin air mata dia jatuh setetespun."
"Kris bisa aja dateng dan bikin Ayra kembali ke dia lagi. Lo inget, perasaan seseorang akan berubah seiring waktu dan berapa banyak ia tersakiti. Jangan salahin Ayra kalau seandainya nanti dia kembali ke Kris ataupun orang lain." Chandra lalu berdiri dari tempat duduknya. Ia mengambil jaket miliknya lalu memakainya. "Gue mau pulang, gue harap lo pikirin kata-kata gue tadi."
Chandra kemudian melangkah untuk pergi. Sebelumnya ia sempat mebghentikan langkahnya. "Satu lagi, gue rasa ada orang yang bakal bikin perasaan Ayra ke elo berubah." Chandra lalu melanjutkan langkahnya. Seketika, Angga teringat pada Aiden. Cowok yang bersama Ayra di UKS beberapa waktu yang lalu. Apa mungkin yang dimaksud Chandra adalah itu?
[MyIcePrince]
Gimana nih...? Lanjut nggak...?
Jangan lupa vote dan commentSee you next part...
KAMU SEDANG MEMBACA
My Ice Prince 2
Fiksi RemajaSebuah hubungan pasti tak akan selalu berjalan manis. Kadang ada sebuah rintangan yang membuat hubungan itu menjadi lebih erat. Namun tak jarang hubungan itu harus kandas karena rintangan yang tak sanggup untuk dihadapi. *** Entah hanya perasaan Ayr...