Ayra dan Aiden sampai tepat sebelum hujan deras mengguyur. Saat ini, Aiden masih berada di rumah Ayra karena terjebak hujan. Cowok itu bisa saja pulang sekarang karena jarak tempat tinggalnya yang sangat dekat, hanya di depan rumah Ayra. Tapi cowok itu rasanya enggan untuk meninggalkan Ayra di rumah sendirian.
Memang ada pembantu Ayra di rumah itu. Tapi tetap saja, ia khawatir jika terjadi sesuatu nantinya. Aiden kini berada di ruang tamu. Ia menghela napas dalam. Tanpa disadarinya, gadis yang ia tunggu kini melihatnya dari kejauhan.
Ayra baru saja selesai berganti pakaian. Saat ini ia tengah melangkahkan kakinya untuk menghampiri Aiden. Niat awalnya adalah untuk mengageti cowok yang ia anggap menyebalkan itu. Tapi melihat cowok itu yang menghela napasnya dalam, gadis itu mengurungkan niatnya. Adien nampak seperti bukan Aiden. Dari wajahnya, cowok itu terlihat sangat lelah.
Apa mungkin itu karena Ayra? Jika iya, Ayra merasa sangat bersalah. Seharusnya Aiden tak perlu repot-repot kembali dari Kanada hanya untuk menjaga Ayra selama di Indonesia. Ayra juga merasa bersalah karena ia membenci Aiden.
"Aiden!" seru Ayra yang membuat Aiden menoleh.
"Kenapa, kangen lo sama gue?" seketika Ayra menyesal dengan semua yang ia pikirkan tadi. Memang benar, Aiden itu MENYEBALKAN!
"Taulah. Mending gue balik lagi ke kamar. Sana pulang!" ucap Ayra yang kesal dengan Aiden. Entah mengapa jika urusan membuat Ayra kesal dan naik darah, Aiden juaranya.
"Lo ngusir gue? Lo tega ama gue? Hujan tuh, deres banget lagi."
"Siapa suruh ngeselin!"
"Iya deh, maaf." Mata Ayra seketika membelalak. Gadis itu lalu mendekati Aiden yang menempelkan tangannya di kening cowok itu.
"Lo ngapain sih?" ucap Aiden sambil menurunkan tangan Ayra dari keningnya.
"Ya habisnya lo beda banget. Tumbenan amat lo minta maaf? Lo nggak lagi kerasukan kan?"
"Sembarangan kalo ngomong! Oh iya, tadi kenapa lo nggak bareng sama Angga sih pulangnya?" tanya Aiden.
"Angga ada urusan tadi. Lagian gue sensiri yang pengen cepet pulang. Gue nggak mau gangguin dia kalau soal kerjaannya." Raut wajah Ayra menjadi berubah. Bisa dilihat bagaimana selaput bening mulai membasahi mata gadis itu. Aiden bangkit dari duduknya yang membuat Ayra bingung.
"Ra, mau ikut gue nggak?" tanya Aiden.
"Kemana? Lo nggak tau ini lagi hujan apa?" tanya Ayra. Tanpa menjawab, Aiden tiba-tiba menarik tangan Ayra. Cowok itu membawa Ayra melangkah menuju taman belakang rumah Ayra. Cukup terawat dengan bunga-bunga kesayangan Dara yang menghiasi taman ini.
"Lo ngapain sih bawa gue ke sini?"
"Mau hujan-hujanan nggak?" tanya Aiden. Dih, gila nih cowok! "Lo mau bikin gue sakit atau gimana?"
"Hujan-hujanan bentar nggak akan bikin lo sakit," ucap Aiden. Cowok itu kembali menarik Ayra dan membawanya menikmati guyuran rintik dari langit itu.
Ayra mulai merasa nyaman dengan dinginnya air hujan yang menyapu wajahnya. Gadis itu akhirnya mampu melepaskan bebannya tanpa ada seorangpun yang menyadari. Iya, Ayra tengah menangis. Tapi siapa yang menyadari kala air hujan ikut menyapu air matanya? Ini yang diinginkan Ayra sedari tadi. Membuat air matanya lolos begitu saja tanpa ada satu orangpun yang mengetahuinya.
Gadis itu memejamkan matanya. Menikmati setiap rintik yang jatuh padanya. Ia hanyut dalam ketenangan yang dibawa sang hujan. Bebannya seakan menghilang separuhnya. Pikiran tentang Angga dan masalahnya seakan menghilang untuk sementara. Perlahan ia kembali membuka matanya. Gadis itu ikut menari di bawah hujan bersama dengan Aiden. Dengan tawa palsunya, ia tutupi semua kesedihannya.
"Nih," ucap Aiden yang kemudian menyerahkan sebuah pot yang tertanam tamaman mawar merah di dalamnya.
"Ih, itu kan punya nyokap gue," ucap Ayra dengan suaranya yang serak. Jangan pikir jika Aiden tidak tahu apapun. Aiden tahu Ayra tengah terluka. Bukan fisiknya, tapi perasaannya. Cowok itu tahu pasti jika Ayra tengah menangis. Namun, ia tiada niat untuk menanyakan apa yang membuat gadis itu menangis. Biarkan Ayra yang bercerita sendirian nantinya.
"Udah pegang dulu. Gue mau ngambil tanaman yang ada di situ tuh. Kasian nggak kesiram air hujan," ucap Aiden yang kemudian langsung memberikan tanaman itu pada Ayra. Cowok itu lalu mengambil sebuah tanaman kecil yang tidak tersiram air hujan karena terhalang oleh daun-daun tumbuhan besar yang menutupinya. Cowok itu lalu kembali mengambil tanaman mawar dari tangan Ayra dan meletakkan di tempat semula.
"Kenapa lo peduli sama tanaman itu?" tanya Ayra.
"Lo gimana sih? Tanaman juga makhluk hidup. Dia butuh air buat tumbuh. Lo liat, semua tanaman yang ada di sini tersiram air hujan sementara tanaman itu enggak. Itu sama aja ketidakadilan."
"Tanaman itu sama kayak gue. Di saat orang-orang dipenuhi kebahagiaan, kenapa gue harus dihantui rasa sedih. Gue merasakan ketidakadilan di dunia ini. Orang-orang bahagia sementara gue harus sengsara. Tapi kenapa nggak ada orang yang membantu gue untuk mendapat sebuah keadilan layaknya lo yang bantu tanaman itu mendapatkan hujan?" kalimat itu lolos begitu saja tanpa Ayra menyadarinya. Gadis itu sibuk dengan lamunannya tentang memori menyedihkan. Semua orang yang ia cintai rasanya tak ada yang ditakdirkan untuknya.
Aiden merasa iba pada kondisi Ayra saat ini. Ia tahu Ayra menangis. Ingin sekali dirinya merengkuh gadis itu untuk memberinya kekuatan. Namun siapa ia? Ia bukanlah orang yang gadis itu harapkan. Ia juga bukan malaikat pelindung yang selalu menyelamatkan.
"Ra, lo kalau ngomong ngelantur deh. Gue ngomongin taneman elonya malah curhat. Emangnya gue ma-" Ucapan Aiden terhenti saat suara isakan Ayra terdengar. Tadinya ia sadar jika Ayra telah menangis tanpa suara. Tapi kini, isakannya semakin terdengar.
"Gue nggak tau kenapa dunia ini nggak adil buat gue! Hiks,,,hiks,,,"
Aiden berjalan mendekat pada Ayra. Ia tak tega melihat Ayra seperti ini. Sepertinya ia salah telah membiarkan gadis melampiaskan kesedihannya. "Ra, mending kita berteduh dulu," ucap Aiden sambil menarik tangan Ayra. Sayangnya gadis itu tak mau mengikuti Aiden. Ia tetap berada di tempatnya sambil menangis.
"Ra, ayo! Lo bisa sakit kalo kelamaan," ucap Aiden.
"Lepasin gue! Gue nggak bisa nahan semua ini lagi. Beban ini terlalu berat buat gue. Tuhan nggak adil sama gue."
"Ayra, I don't know your problem. But please, listen to me. Nggak ada gunanya lo nangis-nangis di sini lagi. Asal lo tau, tadi gue sengaja bawa lo ke sini biar lo bisa nangis sesuka lo. Tapi ternyata gue salah. Lo malah merutuki diri lo sendiri dan menyalahkan takdir. Sekarang-"
"Aiden please, gu-gue-" tiba-tiba saja tubuh Ayra ambruk. Sesegera mungkin Aiden menahan tubuh gadis itu dan membawanya kembali ke dalam rumah.
"Aduh, Den. Itu Non Ayranya kenapa? Kenapa bisa pingsan?" Tanya Bi Mira yang panik dengan keadaan Ayra. Tanpa menjawab, Aiden langsung membawa Ayra menuju kamar gadis itu diikuti Bi Mira.
"Bi, tolong gantiin pakaiannya Ayra. Terus kasih dia air hangat kalau udah sadar," ucap Aiden.
"Iya. Aden lebih baik ganti baju aden dulu. Di samping kamarnya Ayra itu kamar Den Ayroz. Baju-bajunya juga beberapa masih di sana. Aden bisa pakai itu dulu daripada basah kuyup seperti ini."
"Nggak usah, Bi. Saya mau pulang dulu. Dari tadi saya belum pulang, takutnya Tante Gissel nyariin. Titip Ayra ya, Bi. Nanti malam saya ke sini lagi kok. Saya pamit dulu ya, Bi."
"Ya udah, hati-hati ya Den," ucap Bi Mira. Aiden lalu melangkah untuk pulang. Ada satu nama yang mengisi pikirannya. Ayra. Entah mengapa cowok itu terus memikirkan Ayra.
[MyIcePrince2]
Hi! Lama nungguin ya?
Maaf ya,,,Gumana nih hasil nilai rapor kalian?
Bagus nggak? Kalau dirasa kurang semangat belajar ya...Buat chapter ini tulis comment ya,
Jangan lupa vote juga
See you
KAMU SEDANG MEMBACA
My Ice Prince 2
Teen FictionSebuah hubungan pasti tak akan selalu berjalan manis. Kadang ada sebuah rintangan yang membuat hubungan itu menjadi lebih erat. Namun tak jarang hubungan itu harus kandas karena rintangan yang tak sanggup untuk dihadapi. *** Entah hanya perasaan Ayr...