25. FAKTA

1.3K 79 17
                                    


Seperti biasa, vote dulu yuk!

Commentnya juga...

HAPPY READING
.
.
.

"Ayra!" sebuah sapaan menghentikan obrolan mereka.

Seorang cowok berpostur tinggi dengan outfit berwarna hitam dan celana senada suskes mencuri perhatian semua orang yang ada di sana. Di belakang cowok itu berdiri seorang cowok bertopi putih. Refleks Ayra berdiri.

"Angga," ucap gadis itu. Ayra berdiri. Kakinya melangkah menghampiri Angga. Tanpa aba-aba gadis itu memeluk Angga. Cowok yang dipeluk membalas pelukan Ayra.

"Kamu kenapa nggak dateng?" tanya Ayra setengah terisak. Gadis itu sadar sejak awal jika Angga sama sekali tidak datang ke acara pemakaman Ayroz. Padahal saat itu Ayra berharap Angga datang dan memberinya kekuatan untuk menerima kenyataan. Bahkan dua minggu terakhir, cowok itu tidak menjenguknya.

"Maaf, aku baru tahu sekarang." Ayra lalu melepaskan pelukannya. "Jangan nangis dong, kamu kuat kok." Angga menyeka air mata gadis itu yang berlinang di pipinya.

"Ekhem. Ayra, gue sama yang lain pulang ya. Suasananya nggak enak," ucap Irene.

"Iya, Ra. Kita-kita pamit pulang, ya. Ayo, Ren, Raf, Dev!" ajak Vania.

"Kok buru-buru, sih?" tanya Dara yang baru saja datang mendengar ucapan mereka.

"Iya, Tante. Btw, AC di rumah tante kayaknya perlu di-service deh. Panas soalnya," ucap Irene yang membuat Dara mengernyitkan dahi. Menurutnya, suhu ruangan ini cukup dingin. Panas dari mananya?

"Kita pulang duluan ya, Tan!" Vania, Irene, Raffa, dan Devan berdiri. Mereka semua lalu mencium punggung tangan Dara berpamitan. Sebelum pergi, Devan sempat melirik ke arah Angga. Cowok itu menatap sinis Angga. Bukannya tidak menyadari, Angga sebenarnya sadar tapi ia memilih untuk diam. Tujuannya adalah untuk menghibur Ayra agar gadis itu tidak larut dalam kesedihan.

Setelah Vania dan yang lain pergi, Dara menyuruh Angga dan Chandra untuk duduk. Dara lalu kembali ke kamarnya. Kini di ruang tamu hanya ada Ayra, Evan, dan Chandra.

"Hey, udah dong jangan nangis," ucap Angga sembari menyeka air mata gadis itu.
Tangannya bergerak menarik kepala Ayra dan meletakkannya di bahunya. Ia mengelus puncak kepala hadis itu berharap Ayra segera berhenti menangis.

"Ndra, pergi yuk! Jadi nyamuk kita," ucap Evan. Chandra hanya menurut. Cowok itu lalu berdiri mengikuti Evan. Mereka menuju kamar tamu, atau lebih tepatnya kamar yang ditempati Evan selama cowok itu menginap si rumah Ayra. Mereka berdua lalu bermain PS membiarkan Angga dan Ayra berdua di ruang tamu.

Di luar kondisi Ayra mulai membaik. Gadis itu menghapus air matanya setelah hampir setengah jam menangis. Ia masih merasa sedih saat teringat Ayroz. Bagaimanapun gadis itu sampai sekarang belum bisa untuk bersikap seolah ia baik-baik saja.

"Handphone kamu kenapa selalu nggak aktif tiap aku nelpon? Chat dari aku juga nggak pernah di bales?" tanya Angga pada Ayra.

"Sorry, aku nggak pegang handphone akhir-akhir ini."

"Nggak papa kok. Justru aku yang minta maaf karena waktu itu aku nggak dateng."

"Seminggu terakhir kamu ke mana aja? Kenapa nggak jengukin aku?" tanya Ayra. Suara gadis itu masih serak karena terlalu lama menangis.

"Aku nggak tahu kalau kamu sakit. Aku baru tahu semuanya setelah kemarin malem aku ketemu Evan. Dia yang ngasih tau aku," ucap Angga jujur.

Angga memang baru tahu tadi malam saat cowok itu tidak sengaja bertemu Evan di sebuah cafe yang tak jauh dari kampusnya. Tidak sengaja Angga bertemu dengan Evan. Tanpa basa-basi Angga langsung menanyakan apa yang terjadi dengan Ayra. Pasalnya dua minggu gadis itu meliburkan diri namun tidak ada satupun orang di sekolah yang memberitahunya. Ponsel Ayra juga tidak bisa di hubungi.

My Ice Prince 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang