"Kau masih hutang penjelasan padaku, Aerin.""Sudah berapa kali kubilang?! Dia itu adik pak Seokjin! Kenapa kau tidak percaya sih?!"
Aerin berulang kali mengatupkan giginya kesal, berusaha agar suaranya tidak menganggu beberapa orang yang duduk di sekitarnya. Pasalnya, mereka sedang berada di perpustakaan kampus dan Nara tanpa ampun terus menghujam Aerin dengan pertanyaan-pertanyaan yang sekiranya dapat membuat kepala Aerin meledak.
"Bagaimana mau percaya?! Memangnya bra siapa yang dia pegang kemarin? Punya si kembar tiga? Jangan gila!"
"Pelankan suaramu bodoh! Kau mau membuatku mati, ya?!"
Berkali-kali mereka ditegur oleh beberapa mahasiswa yang sedang serius belajar. Aerin sendiri sudah lelah rasanya mendengar desisan orang yang duduk di belakangnya. Tapi tidak dengan Nara. Mungkin sampai negara api menyerang pun, ia tidak akan berhenti bertanya hingga jawaban yang ia inginkan keluar dari mulut Aerin.
"Makanya! Jujur saja, dia pasti ada apa-apanya denganmu, kan?"
Ingin rasanya menjambak rambut Nara yang digulung asal-asalan itu lalu berteriak "TIDAK!" tepat di depan telinganya, tapi Aerin masih sadar tempat.
Jika tahu Nara akan menyusulnya kemari, Aerin pasti lebih memilih mengerjakan tugasnya di rumah walaupun gangguan dari ketiga adik Seokjin itu dapat memekakkan telinganya.
Berniat meredakan amarah, Aerin membabi-buta menekan keyboard laptop asal. Tidak perduli lagi dengan tugasnya yang susah payah di revisi berkali-kali. Namun hal tersebut tidak membuat suasana hatinya membaik. Ia malah semakin muak dengan pertanyaan Nara yang tak ada habis-habisnya kemudian memutuskan untuk menutup laptopnya secara kasar.
"Sumpah demi tuhan! Aku—"
Ucapan Aerin terhenti akibat segumpal kertas kecil yang tiba-tiba saja jatuh mengenai kepalanya. Ia menoleh ke sekitar, mungkin saja menemukan siapa gerangan yang melempar kertas itu padanya. Namun tidak ada, semuanya sedang sibuk dengan bacaan masing-masing.
Nara lebih dahulu merebut kertas itu dari tangan Aerin dan membaca isinya. Seketika ia langsung berdiri dengan sangat tidak santai disusul dengan gebrakan meja yang mengejutkan semua yang ada disana.
"Hei, Kalian mau mati ya?! Wah Dasar bajingan keparat! Siapa yang menulis ini?! Keluar sekarang sebelum aku memecah kepala kalian lalu mengurai otak kalian untuk umpan pancingan!"
Aerin menganga lebar. Tak ingin berlarut-larut terdiam dalam keterkejutan, ia segera menarik Nara untuk duduk kembali. Namun tampaknya Nara benar-benar sangat marah hingga tarikan Aerin dengan sangat mudah ditepis.
"Pasangan homo? Les—wah! Benar-benar! Sini kupatahkan jari-jari kalian!"
Mungkin saja, jika pengawas perpustakaan tidak datang dan menyeret mereka keluar, Nara benar-benar akan melakukan apa yang ia katakan. Untuk kali ini Aerin bersyukur walaupun malu setengah mati.
"Hei! Jangan kira kau lolos dariku! Kau masih berhutang sejuta penjelasan Aerin!"
***
'Kalau ingin berkelahi jangan disini, dasar pasangan homo! L****'
Kira-kira seperti itulah isi surat dari kertas yang tadi menimpuk kepalanya. Aerin sendiri tak habis pikir, apa dia sebegitu jomblonya sehingga dikira mempunyai orientasi seksual yang melenceng?
"Sepertinya kita tidak boleh bertemu sering-sering. Aku tidak mau pria-pria yang sedang mendekatiku jadi menjauhiku karna mengira aku ini tidak normal."
"Ya sudah, pergi sana! Kenapa mengikutiku terus?!"
"Kau masih ada hutang padaku gadis bodoh!"
Aerin mengacak kesal rambutnya yang sudah kusut, lalu menatap Nara seolah meminta ampunan. Jangan sampai kejadian yang sama terulang lagi di kantin! Aerin sangat tidak ingin menanggung malu dua kali dalam sehari.
"Aku sudah menjelaskan semuanya, apalagi yang kurang?!"
"Serius? Kau tidak menyembunyikan apa-apa lagi, kan?"
Dengan semangat menggebu, Aerin mengangkat tangannya yang membentuk huruf V. "Sumpah! Tidak ada lagi yang aku sembunyikan! Sungguh!"
Nara akhirnya menganggukkan kepala, membuat Aerin bernapas lega kala itu juga.
"Tapi awas saja kalau kau ada apa-apa dengannya! Tidak akan aku ampuni!"
Dering handphone Aerin memutus percakapan kedua gadis itu. Ia segera mengangkat telpon dengan alis terangkat. Heran saja, kenapa Hoseok yang sangat jarang, bahkan hampir tidak pernah menghubunginya tiba-tiba melepon hari ini.
"Noona! Urgent! Mayday mayday!"
Aerin sedikit menjauhkan telinganya dari handphone ketika suara melengking khas Hoseok terasa menusuk gendang telinganya.
"Ada apa? Apa yang darurat?"
Terdengar helaan napas di ujung sana, samar Aerin dapat mendengar Hoseok berkali-kali mengucapkan maaf entah kepada siapa.
"Aku ada di depan kampus noona. Noona sudah pulang, kan? Ayo kita pulang!"
"Hah? Kenapa—"
"Aku pinjam motor Namjoon hyung. Cepat noona! Keadaan di rumah sangat darurat! Aku tidak tau harus melakukan apa."
Bertepatan dengan Hoseok yang mematikan sambungan telpon, Aerin segera beranjak dari duduknya. Nara memandang bingung, lekas menahan lengan Aerin yang hendak pergi.
"Aku pulang dulu, ada urusan."
"Siapa yang jemput?"
Haduh, rasanya menjawab pertanyaan Nara itu lebih berat ketimbang merevisi tugasnya berkali-kali. Sangat merepotkan!
"Hoseok. Siapa dia? Dia adik pak Seokjin juga. Jangan bertanya lagi, sungguh!"
Nara menukikkan alisnya, masih setia memegang lengan Aerin erat. "Ada berapa sih adiknya? Ibunya tidak lelah apa melahirkan berkali-kali?"
"Ada enam, kan sudah aku beri tau dulu! Jangan bertanya lagi! Aku pergi!" Jawab Aerin, lalu melepas tangan Nara dari lengannya. Tak ingin berbasa-basi lagi segera melangkahkan tungkainya menjauh.
"Ada yang tampan tidak?! Kenalkan padaku satu dong! Kecuali si kembar tiga dan si mesum!"
Aerin rasanya ingin menenggelamkan kepalanya ke dasar laut saja. Entah berapa kali ia dibuat malu karena tingkah laku sahabatnya itu.
***
Sesampainya di tempat Hoseok memarkirkan motor, Aerin segera mengambil helm butut bewarna kuning yang di gantung di sangkutan motor bewarna neon (yang tak kalah butut) lalu memakainya.
"Noona, kita harus cepat! Keadaan sangat darurat!" Ujar Hoseok lalu menghidupkan motor.
"Apa yang terjadi sebenarnya?" Tanya Aerin setelah naik ke motor. Berulang kali membuka kaca helm tetapi terus terjatuh karna pengaitnya sudah rusak.
"Tidak bisa kuceritakan sekarang. Pokoknya gawat sekali!"
Tidak ada lagi percakapan karna keduanya tengah dilanda perasaan panik. Bahkan rasanya perjalanan dari kampus Aerin ke rumah mereka memakan waktu yang sangat lama, padahal biasanya hanya membutuhkan waktu 15 menit.
Sepanjang jalan Aerin hanya dapat berdoa, semoga saja umurnya tidak semakin berkurang ketika mendapati keadaan apa yang terjadi di rumah.
Semoga saja.
[Hyungie]
Note!
Oke, tidak ada Yoongi disini. Yoongi nya aku simpan dulu, katanya capek, mau rebahan aja.

KAMU SEDANG MEMBACA
Hyungie
FanficAda tiga monster kecil, satu monster receh, satu monster bernapas api, satu monster penghancur, dan satu monster berotak separuh. Jika disuruh memilih satu, siapa yang akan kalian pilih untuk diasuh? 2019, Chocooky_