26; Rumah

1.9K 377 54
                                    

Jangan lupa pencet bintangnya ya guys!

***

Aerin POV

Sebelum bertemu dengan keluarga Pak Seokjin, aku belum pernah mencicipi rasanya kehidupan yang spesial. Kata orang, hidup itu tidak pernah berjalan mulus. Seperti perjalanan sebuah rollercoaster ataupun roda yang berputar, pasti ada naik turunnya. Akan ada saatnya berada di bawah maupun di atas.

Namun, aku selalu berada di tengah. Tidak ada kejadian yang membuatku ingin meneteskan air mata karena terlampau bahagia ataupun sedih yang berlarut. Hidupku memang seaneh itu, tapi aku menyukainya.

Lagi, kata orang kita tidak boleh menyukai sesuatu berlebihan atau sesuatu itu akan pergi dari genggaman. Aku tidak terlalu mengambil perhatian dengan omongan itu. Aku menyukai kehidupanku yang sebelumnya sampai kusadari kalau ada hal-hal yang seharusnya kuperhatikan sejak awal.

Ibu selalu bekerja, sedangkan ayah selalu menghabiskan uang ibu entah untuk apa. Aku tidak pernah bertanya lebih jelas tentang apa yang terjadi di keluarga kami, tapi aku tidak pernah marah pada ayah. Ibu bilang kalau cukup ibu saja yang membencinya, aku harus tetap sayang pada ayah.

Hidup kami tidak terlalu sejahtera, tapi aku masih diurus dengan penuh kasih sayang. Walau ayah tidak pernah pulang dengan kondisi baik, ayah tetap membawakanku cokelat dan kue yang kusuka.

Semuanya mendadak berubah ketika ibu meninggal karena penyakitnya. Anehnya, aku tidak menangis ketika itu. Ibu terlalu berjuang keras untuk menghidupiku di dunia ini, setidaknya ibu bisa beristirahat di surga setelah ia pergi. Memang sedih, tapi aku bahagia ibu telah menempati tempat yang lebih baik.

Mungkin karena hal itu, ayah tiba-tiba menyadari kalau sikapnya selama ini salah. Penyesalan selalu datang terlambat, itu juga yang dikatakan orang-orang.

Aku percaya pada ayah, tanpa ragu memberikan semua uang peninggalan ibu padanya hanya beralasankan 'ayah ingin membuat sebuah usaha.'

Aku memang bodoh sekali, baru menyadari semua itu adalah kebohongan saat ayah pergi membawa semuanya entah kemana. Meninggalkanku dengan berbagai hutang yang tidak pernah kuketahui.

Selama ini aku cukup bersabar, selalu berusaha untuk bertahan walaupun sulit.

Tapi mengapa setelah pahit yang kujalani, ayah kembali datang memasuki kehidupanku?

"Ada perlu apa?"

Pertanyaan keduaku setelah terpaksa duduk berhadapan dengan pria tua itu. Jungkook dan Taehyung sudah dipindahkan ke kamar, begitu juga Jimin yang kembali tertidur saat menyentuh kasurnya. Dua pria lainnya yang ada di rumah ini seolah paham dengan keadaan langsung memberikan ruang kepada kami, tapi aku tahu Namjoon setengah waspada sedang mengintip dari celah pintu kamarnya.

"Kabarmu baik?"

"Itu bukan jawaban."

Pria tua yang dulunya dan sampai sekarang kupanggil ayah itu kembali tersenyum. Kelihatannya ia memiliki hidup yang sangat tentram sehingga menyunggingkan satu senyuman bukanlah hal yang sulit untuknya.

"Tidak boleh ya seorang Ayah rindu pada putrinya?"

Aku spontan tertawa kecil, di tengah tawaku itu kupaksakan untuk tidak meneteskan air mata.

"Putri Ayah? Siapa maksudnya?"

"Aerin-ah, Ayah minta maaf."

Ibu pernah bilang, menangis itu sama seperti bersin. Tidak bisa ditahan. Walaupun bisa menahannya, bersin yang berikutnya pasti akan lebih menyakitkan.

HyungieTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang