Bagian #12

2.4K 327 10
                                    

Mutiara Habiba 🥋

Hening, hening, dan hening.

Usai pekik memecah gendang telinga dari Bu Vivi, kami hanya bisa diam, kaku, merasa bersalah tapi juga tidak sepenuhnya merasa bersalah. Tak apa mau dianggap menyepelekan, kenyataannya kurang lebih begitu.

"Ibu laporkan ke pelatih kalian!" gaung suara Ibu Vivi semakin merdu memecah hening di antara kami.

Bukan berniat tidak mengikuti aturan, terkadang kami juga butuh sedikit hiburan. Memperjuangkan nama bangsa dengan tekanan yang tinggi, kedisiplinan latihan yang tidak longgar, tuntutan menang dengan kesempurnaan, semua membuat kami lelah dan sesekali ingin menyerah. Seandainya saja tidak ada merah putih, mungkin kami tidak bertahan sejauh ini. Kami pasti sudah menyerah dari dulu-dulu. Lebih enak kok jadi warga negara biasa, ikut upacara, haha hihi, daripada harus berjuang mengharumkan nama negara, lalu mendapat hujatan tidak manusiawi. Tapi tetap saja, ada kalanya kami bosan namun semua kalah oleh kepak merah putih yang harus selalu kami kibarkan.

Haha hihi, tinggal berseragam rapi, ikut upacara, belajar dan pulang, atau kerja lalu pulang. Menyenangkan, sangat menyenangkan, bahkan kami rindu sekali saat-saat tidak dikenal dan menjadi manusia rebahan. Sekali lagi, meski bosan kami tetap merasa hidup kami ini lebih berharga untuk dikenang. Masalahnya ya itu tadi, sesekali kami ingin menjadi manusia biasa, tidur telat, makan yang instan-instan, bangun siang, tidak olahraga sehari. Tetapi selalu saja tidak bisa, banyak tuntutan dan larangan.

Kami sudah berjuang sampai sebegininya saja, masih banyak orang yang menghujat kami, katanya atlet tidak berguna dan lain sebagainya. Apalagi jika kami malas-malasan. Ah, tapi boleh lah sekali saja kami nikmati kebersamaan ini meski dianggap tindakan indisipliner.

"Turun kalian semua!" pekik Bu Vivi membuat para pemain Timnas U-19 yang paling kecil diantara kami ketakutan.

Maklum, mereka baru pertama kali TC di wisma atlet dengan penjaga seperti Bu Vivi. Penjaga lain memang berpatroli sama seperti Bu Vivi, tapi biasanya penjaga perempuan tidak segalak Bu Vivi. Belum lagi, penjaga perempuan biasanya tidak naik sampai ke kamar cowok. Pasti penjaga laki-laki yang patroli ke kamar cowok.  Ya, mungkin nasib sial kami semua hari ini.

"Bu, tapi kita cuma sebentar aja. Maaf, Bu. Tapi kita juga butuh hiburan, toh besok kita latihan malam," Kak Grey sepertinya mencoba bernegosiasi.

"Jangan bilangin pelatih dong, Bu. Bisa gagal berangkat Korea Open nanti, Bu," Kevin juga memberikan alasannya.

"Iya, Bu. Tim bola sudah siap dengan AFF U-23 nya, kalau nambah masalah begini kasihan Coach Indra Sjafri," Bagas pun berusaha.

Mungkin maksud mereka. Turnamen untuk keduanya sudah semakin dekat. Jika masalah ini disampaikan ke pelatih, pasti menambah masalah lagi. Padahal harusnya tidak ada masalah lain kecuali menyiapkan strategi dan fisik.

"Ya kalau kalian memikirkan turnamen kalian. Kalian memikirkan pelatih kalian, kenapa tidak disiplin? Kalian sendiri yang membuat masalah!" Bu Vivi berusaha menghubungi seseorang, entah siapa, itu terjadi berulang kali.

Kami semua hanya bisa menunduk.

"Yah, gimana dong, Mbak? Coach Fakhri kalau lagi marah, lebih mengerikan dari apapun. Kami selalu nurut apa kata Coach Fakhri, beliau itu Ayah kami. Kami jadi merasa seperti anak durhaka hari ini," keluh Nando di belakangku.

Nando ini ada di PPLP Jateng, paling tidak aku alumni dari situ. Dan ada beberapa juniorku di karate juga atlet dari PPLP Jateng, makanya aku kenal juga sama Nando. Walaupun kami tidak pernah saling ngobrol. Sebatas tahu saja.

"Iya, Kak Muti. Coach Fakhri pasti kecewa sama kita," yang lainnya menyahut.

Bagus sekali anak-anak ini. Mereka punya rasa bersalah, punya ketakutan juga pada pelatih mereka, punya rasa hormat. Semoga selalu begitu hingga akhir nanti.

Bagas vs Muti (WALS 2)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang