Bagian #40

2.4K 316 13
                                    

Mutiara Habiba 🥋

Angin berhembus kencang, tapi tak mampu mengenyahkan amarah yang bergerumul di dalam mulutku. Hatiku seperti dipermainkan, sudah khawatir sekali tahunya dia hanya bercanda perihal bunuh diri. Aku bersyukur, sangat bersyukur, tetapi tetap saja, aku yang lari-larian dari lantai terakhir, sudah panik bukan main, takut dia jatuh dan aku akan kehilangan seseorang yang menyatakan cintanya tetapi perasaanku masih hidup. Sungguh aku khawatir, tetapi dia justru tertawa begitu melihatku berteriak, bahwa aku mempercayai ucapannya. Dia melakukan hal segila ini dengan bercanda. Apa menurutnya Malaikat Izrail bisa diajak bercanda? 

Kalian tidak akan pernah melihat Malaikat Izrail dengan candaanya kan? Tidak mungkin Malaikat hendak mengambil nyawa seseorang dengan mengatakan, "Hayo, aku ambil nyawamu ya?" Lalu, kamu sudah ketakutan bukan kepalang. Tiba-tiba Malaikat mengatakan lagi, "He he he, nggak jadi, bercanda saja aku tadi." Sungguh, bila telah tiba waktunya, tidak bisa dipercepat atau pun diperlambat.

Kenapa Bagas harus main-main dengan itu?

Aku memegangi kepalaku, pusing sekali rasanya. 

"Gila tuh anak, nekat bener," gumam Jojo yang duduk bersimpuh di sebelah kananku. Mungkin lututnya juga lemas, sama seperti lututku. Ginting juga melakukan hal yang sama. 

"Kalau sudah kaya gini, dan lo masih tetep anggap dia bercanda, parah sih, Mut," kata Kevin menyusul, Bagas, Koh Hendra dan Babah Ahsan. 

Memejamkan mata sejenak, ya, aku percaya pada akhirnya, tapi aku kecewa dengan caranya meyakinkan aku, sekalipun caranya ini hanya untuk menggertak, tidak sungguh-sungguh alias bercanda. Tapi kalau Malaikat mengaminkan, bagaimana? Benar kata Habibie, bahwa Cinta harus dibersamai kecerdasan. Dan aku sekarang telah didatangi laki-laki yang jauh dari penggambaran seorang Habibie. 

"Dia nggak bakalan mati karena terjun dari atas gedung, dia bakalan mati di tangan pelatihnya sendiri," gumam Ginting. 

"Iya, nggak tahu bakal diapain itu sama Coach Indra," balas Andy Setyo langsung ikut turun ke bawah, diikuti Ginting dan Jojo. 

Aku berjalan menepi, menikmati malam wilayah Kemayoran dari roof top tower 1, Wisma Atlet. Bertanya-tanya mengapa jalan hidupku di Wisma Atlet justru serumit ini? Padahal dulu enak-enak saja dan lancar-lancar saja. Apa karena sekarang sedang jatuh cinta, maka semuanya terasa rumit? Mungkin.

"Bagas sudah hampir mati gitu kalau lo masih nggak yakin juga, itu parah sih, Mut," ujar Kak Grey berdiri di sampingku, menikmati kerlap-kerlip lampu Ibukota, dan suara klakson yang berharap dapat memecah kemacetan. 

"Gue percaya kok sekarang, Kak. Cuma kecewa aja caranya meyakinkan harus segitunya."

Kak Grey menghela napasnya. "Lo sendiri yang nyuruh tadi siang. Kenapa lo nyalahin Bagas?" 

Aku menoleh. "Iya juga. Tapi  nggak harus segila itu, Kak."

"Ya, mau bagaimana pun, laki-laki tidak pernah benar."

"Muti, lo diminta turun sama Coach Indra," kata Andy dengan napasnya yang terengah-engah, dia pasti berlari dari lantai terakhir, naik tangga menuju roof top

Menoleh pada Kak Grey. Maksud hatiku bertanya pada Kak Grey, kenapa aku juga ikut dipanggil, tapi Kak Grey tidak menanggapi raut waajahku.

"Cepetan sudah ditunggu."

Aku langsung bergegas turun, diikuti Kak Grey dan Andy. Sesampainya di bawah, lobi Wisma Atlet sangat ramai, dan di tengah-tengah ada Bagas bersama pelatih-pelatih lain. Dia menunduk lesu. Aku takut apa yang dia lakukan itu dapat menghambat karirnya, jika dikatakan atitude-nya kurang baik bagaimana? Lalu dengan alasan itu Bagas dicoret dari pelatnas. 

Bagas vs Muti (WALS 2)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang