Bagian #41

2.2K 321 21
                                    

Bagas Adi Nugroho ⚽

Kedua kakiku masih seperti mati rasa, biasanya jika berlari tak sebanyak itu. Aku bukanlah atlet lari marathon, atlet bola juga punya porsinya untuk berlari. Untungnya bukan cedera parah, ini menunggu satu dua hari juga sudah baik lagi. Tapi aku tidak bisa menyalahkan pelatih juga, aku yang salah dalam hal ini. Dan bahkan mengorbankan Muti ikut berlari bersamaku. Aku merasa bersalah padanya, tapi terlalu takut menghubunginya. 

"Ngapain lo?" tanyaku ketika Kevin tiba-tiba memijit kakiku.

"Ya, lo pasti kan capek. Gue mah kasian aja," jawabnya. 

"Buset, manis amat lo sama gue? Awas ya lo sampai jatuh cinta sama gue. Masih normal nih, dan akan selalu normal."

Kevin mengangkat kakiku, langsung membantingnya keras-keras. "Lo kagak tahu bromance sih. Mandi sono lo! Setengah jam lagi sarapan nih."

"Lah, kagak jadi mijitin gue?" tanyaku ketika Kevin membuka pintu kamar, hendak keluar. 

"Males. Udah, mandi sono lo!" Dan dia benar-benar menghilang dari jangkauan mataku.

Selesai mandi, aku langsung menuju ke aula, tempat kami semua biasa makan pagi, siang, dan malam. Tempat kami berkumpul, mengobrol, dan berbagi pengalaman. Meskipun beberapa hari aku tidak bisa bergabung. Belakangan suasana aula juga tidak semenarik dulu kata Kevin dan Andy. Kenapa? Ya, karena urusan sepak bola senior yang sedang dihujat habis-habisan membuat banyak atlet lain sungkan mengajak bercanda para pemain Timnas Sepak Bola Senior. Kevin saja yang sering berbincang dengan Papa Fano sekarang tidak lagi, sungkan katanya, apalagi aku, nambah sungkan lagi. Masalahnya aku tahu susahnya jadi pemain bola, latihan, jauh dari keluarga, mati-matian membela negara tapi ternyata rezeki kami juga tak sebagus Perancis, China, atau Korea Selatan bahkan. Di level Asia Tenggara saja, kami sering kesusahan melawan Thailand dan Vietnam. 

Sampai di aula, aku sempat bertemu Muti, sesekali menggerakkan kakinya kurang nyaman, mau meminta maaf tapi tidak punya cukup banyak keberanian, mau mengajaknya bicara saja sungkan. Akhirnya aku hanya diam. Yang biasanya aku satu meja dengannya, kali ini bahkan aku menarik Kevin dan Andy menjauh darinya. Aku ikut gerombolan anak Timnas U-16. 

"Kaka Bagas, masih hidup ya?" tanya Alexandro dengan wajah mengejeknya. 

"Gue kira kemarin mau terjun, Bang. Eh tahunya nggak jadi. Sumpah itu kalau novel, nggak ada klimaksnya, datar," seru Marcell JP.

"Iya, padahal kalau jadi terjun, novelnya bisa jadi best seller. Katakanlah kalau kisah nyata di Indosiar, ratingnya bisa tinggi. Ha ha ha." Valeron pun tidak mau kalah.

Aku memicingkan mata pada mereka. Seenaknya saja mereka mengatakan itu. Bagaimana pun, aku tidak akan berpikir untuk bunuh diri. Dilarang Allah Swt.

"Ha ha, buciners tetep takut mati," sindir Kevin.

Ternyata, bergabung dengan anak-anak Timnas U-16 justru lebih menyebalkan dibandingkan ada di dekat Mutiara Habiba, meskipun aku hanya bisa diam dan menahan rasa bersalah. 

"Ha ha ha, eh, btw Kak Muti udah jawab, Bang?" tanya Valeron.

Aku diam. 

"Udah belum?" tegasnya lagi. 

"Kalau duduknya aja jauh-jauhan kaya gini. Ada dua kemungkinan, belum dijawab atau sudah dijawab tapi ditolak. Ya kan, Bang?" tanya Merselino Ferdinan. 

"Ha ha, iya, bener juga nih bocil." Kevin menyambar. "Pas lo lari semalem, lo ditolak atau lo nggak dapat jawaban? Nggak mungkin dong kalian diem aja lari sebanyak itu."

Menghela napas. Aku tidak akan menjawabnya di depan para pemain Timnas U-16. Bisa turun derajatku di depan mereka, dengan kejadian kemarin saja aku sudah kehilangan wibawa sebagai senior mereka. Ah, aku berpikir pendek kemarin. Pintar sekali menasihati Hanif tapi gagal total memerintah diriku sendiri. 

Bagas vs Muti (WALS 2)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang