Bagian #17

2.7K 317 58
                                    

Mutiara Habiba 🥋

Makan siang dengan lauk omongan orang, itu saja sudah sangat mengenyangkan, bahkan bisa membuatku merasa pengar. Orang-orang sibuk menggodaku dengan Bagas, apalagi memangnya yang bisa mereka jadikan bahan pembicaraan? Tidak ada yang lain selain aku dan Bagas. Masa Hanif dan Defia agaknya sedikit terganti.

Defia di depanku sesekali melihat ponselnya, sesekali lagi bertanya padaku tentang Bagas. Padahal dia tahu, Bagas lebih dekat dengan suaminya dibandingkan aku. Sudah lebih lama saling mengenal dan bahkan sempat satu klub sebelum Bagas berpindah klub ke Bhayangkara FC. Kenapa pula harus bertanya padaku?

"Ih, pendapat lo, Mut. Kalau seandainya Bagas suka sama lo, lo mau nggak sama Bagas?" tanya Defia semakin menjadi.

"Mau aja sih, Mut. Daripada kelamaan jomblo nantinya. Nggak usah terlalu pemilih juga. Lagi pula, si Bagas ganteng kok, manis, atlet bola profesional lagi kan?" Kak Grey ikut bersuara.

Konferensi meja bundar ini tidak menghasilkan apapun laiknya konferensi meja bundar di Den Haag yang diwakili oleh Bung Hatta. Hasil dari meja bundar ini hanyalah omong kosong belaka, gosip dan desas-desus yang sementara. Satu-satunya yang berfaedah di Wisma Atlet ini hanyalah kekuatan kita saling mendukung satu sama lain untuk memperjuangkan negara, selebihnya ngurusin hidup orang. Anehnya, aku tetap merasa nyaman bersama mereka semua, tanpa terkecuali.

"Cinta kan nggak semudah itu, Kak," balasku.

"Mudah kok. Ya, tergantung Tuhan mau kasih dengan cara yang mudah atau susah sih."

Baiklah, rasanya aku kalah jika sudah menyangkut Tuhan. Memang benar, terserah pada Tuhan menghadirkan cinta dengan cara apapun. Manusia tiada kuasa untuk mengatur Tuhannya.

"Bagas itu baik kan, Mut?" tanya Defia.

"Ya, lo bisa menilainya sendiri kan? Lo juga kenal sama dia."

"Ya, menurut gue sih, dia menyebalkan banget. Ember, suka gangguin orang, dia banyak negatifnya, dia juga..."

"Ish, gimana? Dia baik gitu. Suka bercanda, menghibur orang lain, tegas, nggak heran kalau dia wakil kapten di Timnas U-23," sambarku langsung menutup mulut.

"Cieeeeeeeee!" Zahra, Kak Grey, Apriyani, Melati, Defia dan Gregoria kompak bersuara.

"Uhuy, kan sudah nampak secuil-cuil," kata Defia.

"Secuil apa?"

"Mut, Mut, bercanda itu tidak selamanya membuat kita tertawa, tapi juga membuat kita menjadi tegang."

"Ah, nggak jelas lo!" Aku melihat Bagas yang baru saja masuk. "Gas, I Love You!"

Semua mata langsung tertuju padaku, semua mulut yang terkunci jadi menganga. Aku yakin, semua terkaget-kaget oleh ucapanku. Lagi pula, ini bibir ceplas-ceplos sekali, tapi tak apalah hanya bercanda. Biar mereka tahu kalau aku memang tidak ada rasa apapun. Semalam itu hanya kesal saja, merasa tidak dianggap oleh Bagas.

"Hah?" Bagas mendekat. "Apa lo kata?"

"I love you, three thousands."

"Panas lo ya?" tanyanya menempelkan telapak tangannya di dahiku. Sialnya, ada detak yang tidak kuduga.

Baiklah, Muti, kamu harus sedikit lebih tenang. Menghela napas. "Ih nggak jawab!"

Bagas semakin mendekat, menatapku hanya dari jarak 10 cm. "Me, too!" jawabnya dengan aroma napas yang begitu hangat.

Deg, deg, deg, itu bukan suara detakku, itu dentingan jarum sebuah jam di atas pintu aula. Bukan, bukan, itu bukan hatiku yang bergejolak dengan panasnya, itu panas yang keluar dari magic com di atas meja. Sungguh, itu bukan apa-apa.

Bagas vs Muti (WALS 2)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang