~Meskipun aku telah mengukir banyak cerita, namun kisah bersamamu takkan pernah terlupa~
Mentari mulai tampak, seolah menyokong semangat anak manusia untuk menjalani aktivitasnya. Beruntung sekali, hari ini hari minggu jadi aku tak perlu memburu waktu. Ah, menikmati pagi dengan kopi latte semakin membuatku mengagumi pertiwi ini.
Pagi ini tak kubaca koran di meja. Aku lebih tertarik dengan ponselku, membaca postingan orang-orang di instagram. Jarang sekali aku sampai nge-love postingan mereka, bahkan deretan instastory kulihat semua. Ibu jariku berhenti menggeser layar ketika membuka instastory milik teman kuliahku. Memperlihatkan pria muda dengan baju lorengnya sedang membawa bunga untuknya. Oh, ternyata pacarnya.
Melihat seseorang berpakaian doreng membuatku senyum-senyum sendiri. Bagaimana tidak, dulu aku pernah menjadi fans fanatik para Kakak loreng. Tapi itu dulu sekali ketika aku masih SMP. Mendadak memoriku memutar kenangan lama. "Rayyan."
Azzam Ar-Rayyan, teman masa kecilku dulu. Bahkan kami sudah seperti adik-kakak. Dia tetanggaku, tepat di samping rumahku. Kami tumbuh bersama, menjadikan kami semakin dekat. Dia lebih tua tiga tahun, karenanya dia menganggapku sebagai adiknya berhubung dia juga anak tunggal.
"Mas ... Mas Rayyan! Mau kemana?" teriakku ketika Mas Rayyan menjauh dari halaman rumah.
"Beli es krim."
"Aku mau ya!" Tak ada jawaban darinya. Mas Rayyan langsung saja membeli es krim tanpa meng-iyakan permintaanku.
"Nih, untukmu," katanya sambil menyodorkan es krim rasa cokelat. Dia memang seperti itu. Kadang sangat cuek, kadang sangat lucu.
"Besok aku daftar SD loh, seru bakal punya temen banyak," ucapku. Ya, kata Ibu besok aku akan didaftarkan ke SD. Usiaku masih 6 tahun dan Mas Rayyan 9 tahun. Dia sibuk memakan es krim miliknya.
"Sana cari teman baru, seru punya teman baru terus kamu jadi sombong," celetuknya dengan nada sinis. Tapi aku tak menganggapnya serius. Aku sudah paham dengan sifatnya.
"Mas Mas, kamu kalo udah besar mau jadi apa? Waktu itu guru TK ku bilang kalo setiap anak harus punya cinta-cinta." Dia tertawa, tapi aku tak tau apa yang membuatnya tertawa. Aku semakin bingung ketika dia semakin tertawa.
"Risel, Risel. Bukan cinta-cinta, tapi cita-cita oneng!" aku Cuma meringis.
"Aku pengen jadi pejuang, pembela, dan pahlawan." Katanya
"Oh, mau jadi super hero ya Mas?"Aku tertawa membayangkan dia menjadi super hero di masa depan.
"Hishhh, mikir dong. Aku tuh pengen jadi tentara, Sel."
"Kalo aku pengen jadi guru, Mas. Keren gak?"
"Kerenan tentara lah. Kamu tau Pak Imron yang pernah ke balai desa gak? Tentara tu kayak dia itu. Dia suka membantu orang-orang. Tentara juga jagain Indonesia."
"Pokoknya aku maunya jadi guru, gak mau jadi tentara. Kayak Bu Hanung itu dia disayang sama murid-muridnya. Aku kan mau disayang sama murid-muridku."
"Eh, tentara juga disayang rakyat loh, pokoknya keren dah."
"Terserah Mas Rayyan mau jadi tentara kek, polisi kek, pokoknya aku tetep jadi guru."
Aku sebel sama Mas Rayyan yang menyanjung-nyanjung tentara. Pokonya aku hanya ingin jadi guru. Guru lebih seru daripada tentara. Daripada aku kalah debat sama dia, aku langsung lari masuk ke rumah. Dia tetap saja bilang lebih kerenan tentara daripada guru.
***
Hari ini adalah hari yang ditunggu-tunggu oleh Mas Rayyan. Hari kelulusan. Dia akan melepas masa SDnya, menyambut masa putih birunya.
"Sel, kata Mama aku mau dimasukin pesantren."
"Yah, gak bisa ketemu lagi kita."
"DI Jawa."
"Beneran?"
"nanti malem kamu ke rumahku ya. Perpisahan."
"Beliin aku bakso dong, perpisahan lah ya."
"Yaudahlah nanti aku minta uang mama untuk beliin kamu bakso."
Sepulang sekolah, kami langsung pergi ke warung Mbak Sumi untuk memberli bakso. Dengan meminta uang Ibunya, dia membelikanku bakso lengkap dengan es campur. Aku tahu aku dengannya akan berpisah, tapi belum ada kesedihan yang mendalam bagiku. Oh, mungkin aku sedang euforia menikmati bakso gratis darinya.
"Sel, aku ini kayak kakakmu aja ya," celetuknya setelah meneguk es campur. Aku langsung menganggukkan kepala tanpa menoleh ke arahnya.
"Kata Mamaku, aku bakal pindah ke Jawa juga loh!" ucapnya. Kali ini aku mendongak, menatap maniknya dengan tatapan kaget.
"Yang bener, Mas? Katanya Cuma mau mondok aja."
"Aku gak mau dipondokin, loh. Aku maunya sekolah biasa. Sekolah negeri gitu."
"Yahhh, berarti kita bakal gak ketemu lagi, ya." Kataku sedih.
"Ya mungkin aku bakal kesini kalo lebaran, ke rumah Oma." Aku hanya mengangguk sedih. Yah, akhirnya kesedihan datang padaku. Rasa sedap bakso yang kumakan seolah hilang begitu saja berganti dengan pilu.
***
"Bu, rumah Mas Rayyan kok tutup sih," kataku pada Ibu yang sedang mengiris tomat di dapur.
"Lupa, ya. Eh, kamu sih semalem bobonya awal jadi nggak ngeliat Rayyan pindah." Deg ...
"Loh, kok aku nggak dibangunin sih. Ishhh, kan aku jadi nggak bisa ngucapin salam perpisahan." Aku marah. Ya, aku marah. Tega sekali aku tidak dibiarkan untuk menyaksikan Mas Rayyan pindah. Mentang mentang umurku baru 9 tahun, dikibulin begitu saja.
Sejak saat itu, aku marah pada Mas Rayyan, tapi aku juga rindu padanya. Dia jahat, masa dia tidak memberiku hadiah untuk kukenang. Terakhir kali, bakso dan es campur. Bahkan, dia tak pernah memberiku gelang atau kalung sebagai tanda persahabatan. Katanya dia menganggapku sebagai adiknya, tapi tak pernah memberiku tanda bahwa aku ini adik kesayangannya. Meskipun aku jengkel padanya, aku takkan berencana untuk melupakannya. Dia adalah kakakku, ya kakak tersayang.
Dengannya, aku merasakan kasih seorang kakak. Aku merasakan perlindungan darinya. Ah, Mas Rayyan semoga kamu tidak melupakanku apalagi mencari adik baru.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sersan, kau kembali(Completed)
Romance"Aku pengen jadi pejuang, pembela, dan pahlawan." ~Azzam Ar-Rayyan~ "Kalo aku pengen jadi guru, Mas. Keren gak?" "Kerenan tentara lah. Kamu tau Pak Imron yang pernah ke balai desa gak? Tentara tu kayak dia itu. Dia suka membantu orang-orang. Tenta...