Rayyan POVSudah dua bulan lamanya aku di tanah ini, tanah Papua. Memang belum lama, tapi tanah ini sudah memberiku banyak cerita. Senang, sedih, haru, bangga, semua kurasa. Bahkan, gadis itu kutemukan kembali di tanah ini.
Aninda Risel Fernisa, adik manis yang pernah mengisi hidupku. Tapi, sayang. Dia tak mengenaliku. Mungkin, dia sudah melupakan kisah kita. Rasanya tak berubah, dia masih seperti Risel kecil yang selalu ingin menjadi guru.
Aku terkejut saat menyambut kedatangan pengajar muda, ternyata ada sosok yang kurindu selama 13 tahun ini. Betapa senangnya aku bisa menemukannya lagi. Tapi rasa bahagiaku hilang, ketika dia tak mengenaliku.
Saat itu, di sungai ketika aku bertanya namanya. aku sengaja menanyakan nama lengkapnya dan aku bilang dia mirip dengan adikku. Tapi, nihil. Dia tetap tak ingat denganku.
Sekarang aku tau, dia tinggal di Bandung. Aku sangat paham, Risel pasti tak ingin pulang karena selalu dilukai oleh Bude Uli. Kurasa begitu. Bude Uli sedari kami kecil, dia selalu merendahkan Risel. Ah, aku rindu Risel.
“Kak, kok ngelamun?” lamunanku dikacaukan oleh Risel.
“Itu, anak-anak udah aku arahin ke luar kelas, katanya mau ngajarin baris-berbaris?”
“Ah, biar Anam saja. Aku sedang sedikit tak enak badan sepertinya.”
“Udah minum obat belum? Mau aku ambilkan?” Risel oh Risel, kenapa kamu lupa denganku? Dulu kamu yang bilang jangan cari adik baru sebagai penggantimu, tapi sekarang kau bahkan tak mengenaliku lagi.
“Tidak.”Aku meliriknya, dia mendadak diam setelah aku menjawab pertanyaannya dengan dingin.
“Sel, ini aku yang kamu bilang cuek dingin dan nggak peka,” ucapku dalam hati.Tiba-tiba dia melangkah untuk pergi tanpa berbicara sepatah kata padaku.
“Temani saya!” kataku menghentikan langkahnya. Dia berbalik, dan kembali ke posisinya tadi.
“Maaf, Pak nggak enak duduk berdua.” Ah, dia memanggilku dengan sebutan ‘Bapak’. Benarkah dia marah padaku?
“Kamu liat, di depan ada anak-anak dan Anam.”
“Iya. Tapi ngapain saya nemenin Bapak di sini kalo akhirnya saya didiemin?”
“Udah, kamu duduk aja diem!” kataku sedikit membentak.
Ya, dia diam. Tapi, diamnya sambil menahan isak. Ah, Risel kamu tidak berubah dari dulu cengengmu belum hilang juga.
“Kamu kenapa?”
“Nggak papa. Emang kenapa?”
“Kamu benar-benar mirip dengan adikku. Adikku kalau aku cuek dan nyebelin, dia selalu membelakangiku dan diem-diem nangis. Hehe, maaf ya.”
“Oh ya?” Dia kembali ceria, dan sepertinya meminta cerita lebih banyak dariku.
“Iya. Wajahnya pun mirip denganmu. Dia selalu nangis kalau saya sedikit berkata keras padanya. Dia juga suka ngeyel, pokoknya apapun yang diinginkannya harus saya turuti.”
“Adikmu sekarang di mana?”
“Aku tidak tau. Terakhir bertemu 13 tahun yang lalu saat kelulusan SD. Aku pindah ke Magelang ke rumah Papaku. Aku ingat, aku lupa memberinya kenang-kenangan perpisahan. Aku hanya membelikannya makan saja waktu itu. Bahkan, saat aku berangkat ke Jawa, dia malah tidur dan tidak mengucapkan salam perpisahan denganku.”“Dia adik kandungmu?”
“Bukan. Tapi aku menganggapnya sebagai adikku yang tersayang. Yah, mungkin dia juga seumuran denganmu. Dulu dia bilang mau jadi guru juga seoertimu.”
“Ah, aku jadi ingin bertemu juga dengan adikmu itu.”
“Risel, kamu benar-benar lupa tentang kita?”
“Yah, kamu bercermin saja pasti kamu akan bertemu dengan adikku.”
“Ih, aku maunya yang asli.”
“Yaudah kamu boleh kembali ngajar. Saya sudah sehat sekarang. Terima kasih dan maaf untuk tadi.”
“Oke. Aku pergi dulu.”
Suatu saat, aku akan mengatakan semuanya padamu, Sel.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sersan, kau kembali(Completed)
Storie d'amore"Aku pengen jadi pejuang, pembela, dan pahlawan." ~Azzam Ar-Rayyan~ "Kalo aku pengen jadi guru, Mas. Keren gak?" "Kerenan tentara lah. Kamu tau Pak Imron yang pernah ke balai desa gak? Tentara tu kayak dia itu. Dia suka membantu orang-orang. Tenta...