selamat membaca:)
Langsung up 2 part hehehe.
.
.
.
Mari Kita Mulai~mari kita mulai, mengupas semua luka yang selalu dibalut kasa. Lalu sama-sama mengusap, untuk saling mengobati~
Siapa yang menyangka jika Abid datang menemuiku lagi. Siang ini, aku dikagetkan oleh sosoknya yang tanpa intruksi, datang ke rumah Bude. Tak panjang lebar kujelaskan pada Bude tentang Abid. Nyatanya, aku memang tak tahu banyak tentangnya.
Aku terpaksa menyetujui ajakan Abid. Di sinilah, di sebuah tempat pertemuanku dengan Kak Azzam yang tengah mengakui sebagai Mas Rayyan. Di tempat yang sama, Abid mengajakku untuk memulai semuanya. Maksudnya, mulai menceritakan tentang dirinya. Kalau bersama Mas Rayyan, kami duduk di bangku dekat dengan meja kasir. Kalau dengan Abid, duduk di pojok belakang. Katanya, lebih nyaman untuk saling berdiskusi. Awalnya aku menolak ajakannya, tetapi karena aku penasaran dengan dirinya maka aku iya-kan saja ajakannya.
Kali ini dia memakai kaos navy, dengan celana krem. Dia mengeluarkan ponselnya, memainkan sebentar lalu menatapku. Aku menganggukkan, mengisyaratkan agar dia segera membuka obrolan. Dia memejamkan mata, meraup muka kasar. Tampaknya, dia sedang mengumpulkan kekuatan untuk bercerita.
“Eh, kontak motor ketinggalan di meja, diamanin kan?” Dia mmembuka suara. Tapi bukan untuk mulai bercerita.
“Yaudah, pasti diamanin. Tenang aja.” Kami memang ke tempat ini berjalan kaki. Satu yang kutau dari Abid. Dia anti dengan perempuan. Duduk berhadapan denganku saat ini saja dia kebanyakan melihat ke sisi lain, seperti sedikit canggung.
“Jadi, saya kenal Rayyan ketika dia pindah ke Magelang. Rumah kita tak jauh, rumah saya menghadap jalan lintas kalau rumah dia masuk gang. Bisa dibilang rumah saya di depan rumahnya, Cuma ya nggak deket banget sih. Kalau Mira, saya kenal dia dari Rayyan. Adek kelas yang pernah diajak Rayyan nyusul saya ke rumah sakit. Cuma demam waktu itu, tapi sampe dibawa ke rumah sakit. Dari situ, kami sering main.”
Dia menghentikan ucapannya, berhenti sejenak untuk menyeruput jus melon di hadapannya. “Rayyan sering banget cerita ke saya tentang masa-masa di kotanya dulu. Tapi, dia nggak pernah nyeritain ke Mira. Katanya, dia Cuma nyaman cerita ke saya. Dia bilang punya sahabat, anaknya imut, tapi padahal biasa aja sih menurut saya.”
“Tolong, serius!” Dia terkekeh. “Semua tentang kamu, dia cerita ke saya. Waktu ketemu kamu di Papua, dia cerita semua ke saya. Mulai dari kamu yang lupa sama dia, sampai akhirnya kalian saling dekat lagi.”
“Ehm, boleh kamu kasih tau aku tentang kamu? Katamu kemarin, kita sama-sama terluka, kan?”
Dia mengangguk pelan, “Jangan potong pembicaraanku, ya. Luka yang baru saja saya rasakan itu adalah mencintai orang yang mencintai sahabat saya sendiri. Dari SMA, saya mulai menyukai dia. Saya mencoba untuk menahan rasa suka saya. Sering saya terbakar cemburu karena dia selalu dekat dengan sahabat saya. Tapi saya tahan. Waktu saya ngejar pendidikan, jarang ketemu lagi sama dia. Ketemu mungkin kalau saya cuti. Bahkan, pesiar pun dia jarang menyempatkan waktu untuk bertemu saya. Suatu hari, luka saya melebar ketika mendengar dia akan menikah dengan sahabat saya sendiri. Padahal, mereka tak pernah pacaran. Dan sahabat saya itu cerita ke saya kalau dia nggak mencintainya. Saya sakit, selama ini saya mati-matian buat ngejar karir demi mendapatkan gadis itu. Tapi, akhirnya sia-sia. Sekarang, gadis itu nggak jadi nikah. Seharusnya saya bisa ngambil peluang buat deketin dia lagi, tapi rasanya udah malas. Selama ini saya banyak nanggung luka. Kamu tau dia siapa?”
Aku menggeleng, “Siapa memang?”
“Mira.” Sungguh, ini mengejutkan. Alur mereka terlalu rumit. Bahkan, ini seperti bukan nyata.
“Yaudah, kita sama-sama terluka. Saya percaya sama kamu, bakal jaga apa yang saya ceritain ke kamu. Nggak ada yang tau kecuali kamu dan Allah.”
“Bantu doa agar aku bisa menjaga,” katanya dengan suara lirih. Aku tak mampu berkomentar apapun. Ternyata dia sama-sama terluka.
“Apa Mbak Mira tau kalau kamu cinta dia?” tanyaku. Dia mengangguk, membuatku semakin terkejut dengan semuanya. “Dia tau, pernah saya bilang ke dia. Tapi dia bilang kalau kami Cuma teman dekat. Its okay, penolakan secara halus. Eh, tiba-tiba ngasih kabar mau nikah aja.”
Aku menggeleng, cerita ini seperti benar ruwet. Sangat rumit. Dan Abid, dia hanya berlapang dada. Bagaimana rasanya mencintai orang yang mencintai sahabatnya sendiri?
“Kamu udah tau sekarang. Saya mohon, kamu kalau ada apa-apa bilang ke saya, ya! Termasuk, dengan siapa kamu mau menikah nanti. Ini amanah Rayyan.” Aku tertawa kecil mendengar kalimatnya. Masih saja mencuri waktu untuk membicarakan hal receh ini.
“Yaudah lah, daripada kamu nyuruh aku laporan ke kamu. Lebih baik kamu cariin ajalah, yang sholeh, yang baik, yang penyayang. Hahahaha,” kataku bercanda. Aku ingin menjemput tawanya. Selama bercerita, wajahnya terlalu tegang.
“Kamu nyuruh saya nyariin? Kalau mau yang sholeh, yang hampir sebelas dua belas sama Rayyan. Ada, sih. Daripada kamu nikah sama orang lain, kan.”
“Siapa itu?” Aku masih dengan tawa.
“Saya. Saya sebelas dua belas sama Rayyan. Daripada kamu nikah sama orang lain, pas awal ngenalin ke saya pakai tampang baik. Giliran saya udah nggak ngurusin calon suami kamu, baru deh biadabnya keliatan.”
“Astagfirullah. Doain yang bener ngapa!” Aku melihat senyum terbit dari bibirnya. Wajah kakunya mulai mengendur.
“Ya bener. Saya bisa jadi yang baik untuk jadi suami kamu, kan? Kasian Rayyan, kalau sampe kamu dapet yang lebih buruk dari saya.”
“Humormu tinggi juga, Bung!” Dia tertawan lepas, memegang perutnya yang mulai mengeram. “Eh, bisa tuh dipanggil ‘Bang’ aja, hahaha.”
“Eh ciee biar ngerasa dipanggil sama Mbak Mira, ya? Secara kan dia panggil Mas Rayyan pake ‘Abang’”
“Idih, enak aja. Sory sory ya, itu udah masalalu. Kalo dipikir, ngelunjak juga tuh si Mira panggil saya Abid-Abid aja tanpa embel-embel.”
“Yah, nanti kan ganti panggilan. Jadi, ‘suamiku’ hahaha eh,” tawaku terhenti ketika hidungku terkena sesuatu. Ah, dia melempar tisu yang telah dia bentuk menjadi bulatan lumayan besar.
“Boleh tanya lagi, nggak?” Dia meredakan tawanya, mengangguk dengan yakin.
“Kata Mama, orang tuamu nggak ada?” Aku hati-hati dalam berbicara. Memang, terkesan tidak sopan menanyakan ini dengannya yang notabenenya baru kenal. Tapi, entah ide darimana tiba-tiba aku nekat menanyakannya.
Dia langsung membisu, membuang muka ke arah lain. Aku jadi merasa bersalah. “Eh, nggak usah dijawab. Maaf ya aku nggak sopan, Kak.”
“Saya sendiri yang janji bakal ceritain siapa saya. Saya bakal jawab, kamu jangan merasa bersalah. Kelas 1 SMP, Umi meninggal. Sakit jantung. Saya tinggal serumah sama Abah dan satu kakak tiri. Waktu itu, Umi menikah dengan duda beranak satu, Abah saya. Sepeninggalan Umi, saya selalu merasa sendiri. Abah selalu kerja berangkat pagi pulang maghrib. Kadang nginep di rumah sakit. Abah dokter. Saya di rumah sering berantem sama Kakak tiri saya. Namanya Mbak Retno usianya 32 tahun, beda lima tahun dengan saya. Dia itu jengkel sama saya, Abah selalu manjain saya. Makanya, saya selalu ke rumah Rayyan, di rumah nggak ada rasa nyaman sama sekali. Dua tahun kepergian Umi, Abah menyusul. Abah meninggal kecelakaan saat mau menjemput saya pulang Ujian Nasional. Dari situ, Mbak Retno nyalahin saya. Dia bilang kalau Abah meninggal gara-gara saya. Sampai sekarang, Mbak Retno udah punya anak, dia nggak pernah mau bicara sama saya. Di acara pernikahannya, dia sama sekali nggak ngenalin kalu saya adik tirinya. Dia sering pulang ke rumah Abah, rumah yang saya tempati kalau pulang. Kemarin, dia ke rumah Abah sama suami dan anaknya. Tanpa bicara, saya langsung pergi dari rumah itu. Dan akhirnya, nginep di rumah Mama.”
Lagi-lagi aku terhenyak oleh kisahnya. Tak ada yang menyangka, sosok tegap Abid ini banyak menyimpan luka. Pantas saja dia bilang susah untuk mengenali dirinya. Bahkan, Rayyan yang sahabatnya sendiri saja tak tahu perihal asmara Abid kepada Mira. Ada banyak luka di hatinya, yang mungkin hingga saat ini hanya ditimbun olehnya.
“Kak, yang sabar ya. InsyaAllah semua akan membaik. Selalu berdoa sama Allah, agar Mbak Retn dibukakan hatinya.” Dia mengangguk, lalu tersenyum.
“Mbak Retno seorang dokter anak, dia kuliah pakai biaya dari menjual tanah milik Abah. Semua dijual, hingga tersisa rumah dan satu pekarangan di Jogja. Saya memulai kehidupan SMA dengan luka parah. Saya masih bersyukur, biaya kehidupanku selama SMA masih terpenuhi. Uang sekolah selama tiga tahun, dilunasi dari hasil jual tanah itu. Dan untuk kehidupanku, alhamdulillah dari hasil sewa toko samping rumah. Uangnya dikasih ke saya. Lulus SMA, saya mati-matian belajar, latihan, buat masuk ke sekolah asrama. Saya malas harus menempati rumah itu. Rasanya pahit semua. Alhamdulillah, saya lolos Akmil waktu itu. Saya seneng banget bakal pergi dari rumah itu. Dari wisuda prajurit sampai praspa, Mbak Retno sama sekali nggak peduli. Cuma Mama Rayyan yang mendampingi saya. Keluarga Umi juga sudah tidak ada seluk-beluknya. Aku tak pernah dikenalkan dengan mereka. Mungkin, Umi juga tidak banyak keluarga.”
Cerita seorang Abid. Aku lebih beruntung darinya. Tapi, aku merasa kalau aku ini yang paling terluka. Aku egois!
“Jadi, karena itu kamu sudah seeperti anaknya Mama dan Om Rudi?” Dia mengangguk. “Yuk, pulang.” Aku mengikuti langkahnya. Sambil berjalan lambat, menunggunya yang sedang membayar di meja kasir. Tak selang lama, dia datang menyusulku. Kami berjalan dengan saling diam. Aku masih tak menyangka dengan kisahnya. Lagi-lagi aku ingin menangis ketika pulang dari Balkondes ini. Seperti dulu, saat bersama Mas Rayyan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sersan, kau kembali(Completed)
Romansa"Aku pengen jadi pejuang, pembela, dan pahlawan." ~Azzam Ar-Rayyan~ "Kalo aku pengen jadi guru, Mas. Keren gak?" "Kerenan tentara lah. Kamu tau Pak Imron yang pernah ke balai desa gak? Tentara tu kayak dia itu. Dia suka membantu orang-orang. Tenta...