Bagian 4 Tidak Asing

5.9K 503 0
                                    

                                    ~Mungkin kamu bagian dari ingatanku yang sedikit terlupa~



Setelah lima belas hari kami pendidikan untuk menjadi pengajar di pedalaman, akhirnya hari ini kami dilantik untuk segera diberangkatkan ke Papua. Aku bersama lima orang rekanku. Tiga wanita dan dua pria.

"Saya, Aninda Risel Fernisa, akan berbakti kepada Ibu Pertiwi, Indonesia, Indonesia, Indonesia," teriakku lantang dihadapan semua rekan.

Hari ini takkan pernah kulupa, hari di mana aku mewujudkan impianku. Setelah meminta izin kepada orang tuaku dengan susah payah, akhirnya aku diberangkatkan hari ini juga.

"Bay, perjalanan masih lama, ya?" tanyaku pada Bayu, koordinator dari kelompok kami.

"Iya, masih sekitar 4 jam lagi."

***

Hampir saja aku menyerah, menjelajahi jalanan penuh rintangan. Tapi, aku takkan pernah menyerah untuk mengabdi pada pertiwi. Seberat apapun, akan kulalui. Begitu tiba di desa terpencil ini, aku disambut oleh kepala suku. Awalnya mengerikan, tapi ternyata mereka sangat baik pada kami. Tak lama dari itu, rombongan anak kecil menghampiri kami, menunjukkan deretan giginya.

Tanpa sadar, aku tak berhenti senyum melihat mereka tertawa bahagia menyambut kedatangan kami. Rasa lelah perjalan seolah sirna begitu saja. Ya Allah, nikmat manakah yang patut aku dustakan.

"Hay Adik, perkenalkan nama Kakak, Aninda Risel Fernisa. Kalian bisa panggil Kakak Risel." Mereka memelukku, sebagai salam perkenalan. Ah, rasanya bahagia sekali.

Tak sengaja mataku memandang ke halaman rumah tak jauh dari tempat kami berdiri, segerombolan tentara sibuk mengobrol dengan warga.

"Oh iya, kebetulan kita tuh bareng sama tentara itu," kata Bayu yang menjelaskan.

"Kaka Risel, kami punya kaka baik di sini!" celetuk salah satu anak-anak didikku nanti.

"Oh ya, siapa?" tanyaku

"Kaka Ajam, dia baik sekali dengan sa," katanya lagi.

Aku melirik gerimbolan tentara itu, salah satu dari mereka datang menghampiri kami.

"Selamat datang dan selamat bergabung dengan kami," salam tentara muda di depanku ini. Kemudian dia menjabat tangan rekan-rekan lelakiku. Dia tak berjabat dengan wanita.

"Kaka Risel, ini dia Kaka Ajam kami." Aku memandang sekilas orang yang disebut 'Kakak Ajam' itu. Aku memberikan senyum sebagai tanda perkenalan.

Rasanya aku tak asing dengan wajah Kak Ajam ini, seperti pernah bertemu sebelumnya. Mungkin aku pernah melihatnya di Instagram.

"Sebenernya nama saya itu Azzam, tapi mereka nyebutnya 'Ajam'" jelas Kak Azzam.

Kami digiring untuk masuk ke tempat singgah kami selama di sini. Kami diizinkan untuk tinggal di rumah kepala suku untuk sembilan bulan lamanya. Ya, kontrak tugas kami hanya sembilan bulan berhubung kami masih pertama kali mencoba.

Sepanjang aku membereskan barang-barangku, aku masih memikirkan Azzam. Dia tak asing di ingatanku. Hatiku berkata bahwa aku pernah mengenalnya, bukan sekedar melihatnya. Bapak tentara muda, sepertinya sejak detik ini aku akan mencari tau latar belakangmu. Mungkinkah aku menyukainya? Ah idak. Aku hanya mengaguminya. Aku memang selalu kagum dengan tentara dari dulu.

Sersan, kau kembali(Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang