Belum Usai, kan?

3.8K 332 5
                                    



Pagi ini Risel kembali menyesap aroma tanah basah sisa hujan lepas subuh tadi. Masih di tempat yang sama, samping rumah tempat ia dilahirkan dengan rasa bahagia. Sampai saat ini, Ibunya melarang untuk kembali ke Bandung. Honornya saja sudah dilepas. Padahal Risel tak rela jika harus meninggalkan Bandung selama ini.

“Nak?” pundak Risel dipegang oleh Siti.

“Eh, Ibu. Bentaran ya Bu, masih nikmat aromanya, hehehe.”

Siti menyebik, “Gadis aneh, masa bau tanah bekas hujan dibilang nikmat. Susu, biar semangat beres-beres rumahnya.”  Risel tersenyum, lalu menerima segelas susu cokelat dari Siti.

Hampir setiap pagi, Siti selalu membuatkan susu untuk Risel. Tentunya untuk menambah semangat Risel sebelum mulai gulat dengan pekerjaan rumah. Memang, semenjak kejadian di Papua kala itu, Risel seperti berlian yang tak boleh lecet sedikit pun. Saat pergi ke seminar kepenulisan itu, butuh rayuan paling manis untuk meminta izin.

“Terima kasih, Mama tercinta,” kata Risel sambil mencium kening Siti.

“Mama, Mama! Biasanya juga manggil Ibu. Mama Rayyan kali,” ucap Siti.

Sepertinya nama Rayyan mempunyai arti sendiri bagi Risel. Setiap kali mendengar kata Rayyan, semua kenangan tentang mereka seolah terputar. Risel segera menggeleng, menepis semua yang ada di pikirannya. “Astagfirullah”

“Kemarin ketemu sama Mas Rayyan, Bu.”

“Ngapain? Emang nggak sibuk?” tanya Siti yang memilih duduk di bangku.

“Risel diajak ke rumah abang lettingnya.”

“Wih, sudah kayak mau diajak pengajuan aja ya dibawa ke asrama,”

“Pengajuan? Nikah maksudnya?” tanya Risel canggung.

Siti menghela napas, mengukir senyum di bibirnya, “Hehehe Ibu bercanda, sayang.” Risel ikut tersenyum, tapi hambar.

“Bu, kalau lelaki seperti Mas Rayyan, Ibu setuju?” celetuk Risel. Siti langsun membelalakkan matanya, menepuk paha Risel pelan.

“Apa ini maksudnya?”

“Tanya aja, Bu. Kalau ada yang seperti Mas Rayyan melamarku, Ibu setuju?” ulang Risel.

“Sikapnya sih Ibu setuju, asalkan profesinya bukan seperti Rayyan!” Risel langsung menatap wajah Siti.

“Kenapa?”

“Ibu nggak rela aja anak kesayanganku sering ditinggal,”

“Kalau emang jodohnya, gimana dong Bu?”

“Emang kamu suka sama Rayyan?” deg ... bagai tertohok, Risel langsung diam membisu.

“Kok diem aja? Jangan-jangan beneran suka sama Rayyan, ya?”
1, 2, 3 hening. Risel masih menunduk enggan menjawab denggan anggukan.

“Ibu nggak setuju!” kata Siti seraya meninggalkan Risel.
“Eh, Bu! Nggak! Aku nggak suka! Mas Rayyan sahabat kecilku, mana mungkin!” ucap Risel menghentikan kaki Ibunya.

“Bagus lah, yuk bantu Ibu beres-beres!”

Risel dan Siti masuk ke dalam rumah, mengerjakan pekerjaan rumah yang sudah memanggil-manggil. Risel masih dengan semua rasa penasarannya. Mengapa Ibunya tidak setuju jika Risel menyukai Rayyan?

***

“Beneran, Bu?” tanya Risel memastikan jawaban pada Ibunya. Rasanya detik ini Risel benar-benar patah.

“Tanya Ayah!” alih Ibunya. Risel langsung menatap Ayahnya yang masih menggenggam ponsel.

“Yah?” Herman menatap Risel. Meletakkan ponsel di meja makan, lalu menghela napas. “Iya bener, barusan Om Rudi telepon. Kalau bisa, kita semua datang ke sana. Tapi sepertinya belum bisa. Nanti saja, datang waktu resepsinya.”

Risel menatap Herman dan Siti bergantian. Sepertinya ini mimpi yang tak pernah diharapkan. Ya, ini mimpi buruk. Ia langsung melangkah menuju kamarnya, tempat paling nyaman untuk menjatuhkan tubuh yang lelah.

Ia melabuhkan tubuhnya di kasur, menelungkupkan mukanya pada bantal. Siti mengekori Risel, dan membelai ubun-ubun Risel dengan penuh kasih sayang.

“Nak, Ibu telat ngasih peringatan ke kamu. Terlambat, kamu sudah keburu suka sama Rayyan,” kata Siti pelan sekali. Risel menyeka air matanya.

“Jadi Ibu udah tau ini dari kapan?”

“Waktu Mamanya Rayyan telepon, cerita-cerita tentang kalian. Terus Mamanya bilang kalau dia ingin Rayyan segera menikah. Dan ternyata memang Rayyan sedang dekat dengan perempuan. Ah, Ibu lupa namanya.”

“Mira?”

“Nah, iya benar!”

Risel semakin patah. Benar dugaannya, bahwa Mira lebih dari teman dekat.

“Ya mungkin Rayyan nurutin kemauan Mamanya untuk segera nikah. Kamu buang perasaan kamu ya, mumpung belum terlalu dalam!”

“Bu, sakit ya ternyata.”

“Ikhlaskan, Allah ganti dengan yang lebih baik,”

“Mas Rayyan juga berhak bahagia sama pilihannya, Bu.” Siti memeluk Risel, mengusap punggungnya untuk menenangkan.

“Bu, izinin Risel ke Bandung lagi! Risel takut nggak bisa lupa kalau di sini terus,” pinta Risel.

“Hanya karena ini? Sel, Rayyan juga nikahnya nanti di Magelang bukan di sini. Kamu kenapa ngehindar?”

“Bu, aku kenal Mas Rayyan di tempat ini. Aku selalu bareng Mas Rayyan di desa ini, dan setelah kami dewasa, tempat ini saksi kalau aku suka Mas Rayyan. Aku pengen lupa, Bu. Setidaknya tak perlu sampai lupa, sampai aku sembuh saja, Bu.”

“Ibu izinkan, kamu bilang Ayah ya! Jelasin ke Ayah,” kata Siti.

“Udah, nangisnya jangan lama-lama!” Siti merengkuh tubuh anaknya, didekapnya dengan penuh kasih sayang. Dibelainya pipi Risel, sesekali diusap air mata yang masih mengalir.

“Kita ini musti belajar tentang ikhlas, Nak ...” katanya membenarkan kerudung Risel yang sudah tak beraturan.

“Kita ini Cuma bisa berdoa, dan berusaha, lalu menjalankan. Selebihnya adalah kuasa Allah. Kamu sekarang sudah besar, umur 23 tahun menuju 24 tahun bukan anak kecil lagi. Sakit hati ini salah satu jalan mendewasakanmu. Biar kamu ngerti apa arti ikhlas yang sesungguhnya.”

Risel mendongak, menyeka air matanya dengan kasar , “Bu, tapi ini belum usai, kan?”

Siti mengerutkan dahinya, “Maksudmu?”

“Belum usai, Bu. Mas Rayyan belum nikah, artinya aku masih bisa berjuang.” Siti langsung menepuk bahu Risel membuat Risel meringis sakit.

“Nggak ada! Jadilah permata, Nduk. Yang sangat berharga dan siapa yang ingin memilikinya, maka ia harus bekerja keras.”

“Bu, aku nggak semurah itu ngejar-ngejar lelaki!”

“Katanya belum usai berjuang buat dapetin Rayyan?”

“Ada cara yang lebih kuat, Bu.”  Risel berdiri, menuju jendela. Menyibak gorden dan menatap luar  dengan tatapan semangat.

“Doa, Bu. Senjata paling ampuh,” katanya masih menatap halaman samping rumah dari balik jendela kamarnya.

Siti duduk di ranjang, menatap punggung Risel. Isakan tangis yang tadi enggan berhenti, kini tak terdengar lagi. Pipi Risel tampak mengering, tak seperti tadi yang terus dibanjiri oleh air permata.

Risel berbalik badan, menatap intens wajah Siti. “Aku akan belajar ikhlas, Bu. Hanya saja biarkan aku berjuang melalui doa, jikapun akhirnya tak sesuai inginku, aku akan belajar ikhlas. Doakan aku supaya mudah untuk ikhlas, Bu.”

Siti kembali merengkuh Risel, membawa dalam pelukan hangat. Air mata yang sempat mengering, kini menetes lagi. Ternyata rasanya patah hati itu begini. Air mata sulit dikontrol, sepertinya semua menjadi lucu.

“Jatuh hati yang lucu,” gumam Risel masih dengan isak tangis yang kian mereda.





Gimana guys???
Ayo dong kasih kritik dan saran😊😊😊

Sersan, kau kembali(Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang