Aku Ingin ...

3.9K 342 6
                                    


Suara klakson mobil bersautan, memaksakan kehendak untuk menerobos macet. Lampung, dengan macet di hari kerja. Tapi tenang, tak separah Jakarta. Lampung masih longgar, seperti hati salah satu penduduknya. Mungkin Risel, hatinya disisakan ruang untuk insan yang tepat. Oh bukan! Ada yang telah masuk perlahan. Rayyan!

“Kiri, Om!”
Angkutan umum alias angkot berwarna merah itu segera menepi, bersiap pula untuk mendapat upah. Sebesar lima ribu rupiah, uang yang diberikan Risel pada sopir angkot itu. Sebenarnya belum sampai tujuan, tapi Risel memilih turun setelah melewati lampu merah. Kemudian ia melangkahkan kaki dengan semangat.

Lima menit dia berjalan kaki, tapi akhirnya tidak sampai tujuan. Perkiraannya salah total. Ternyata Gedung Serba Guna Universitas Lampung masih sangat jauh untuk pejalan kaki. Ia menepi, mengistirahatkan kakinya di halte.

Baru terpikirkan olehnya untuk memesan ojek online. Harusnya dari tadi ia sudah sampai tujuan. Sebutlah Risel si lemot. Jemarinya bergerak lincah memesan ojek di aplikasi. Tak sampai menunggu tiga menit, ojek pun menghampirinya dan siap mengantarkan ke tujuan.

“GSG ya, Kak?” tanya driver memastikan tujuan.

“Iya, Kak.”

Kemudian Risel dibonceng ojek bermotor matic itu. Sepanjang jalan mereka membisu. Bukan apa, Risel memang jarang sekali naik ojek. Ia lebih sering naik angkot semasa kuliah dulu.

“Sampai, Kak sesuai aplikasi,” kata driver menyudahi kebisuan. Risel segera membayar dan langsung melangkah memasuki gedung.

Ia memilih duduk di bagian depan, sengaja supaya lebih puas memandang penulis hebat yang dia kagumi. Tere Liye. Ia tak mau rugi, menghabiskan waktu 3 jam untuk menuju ke tempat ini. Belum lagi, menunggu bus pukul 06.00 WIB, tapi nyatanya keberangkatan bus pukul 08.00 WIB.

“Inilah yang kita nantikan, Tere Liye,” kata pembawa acara di depan.

Risel mengikuti rangkaian acara dari awal sampai akhir. Mendengarkan apa yang bisa didengar. Melihat apa yang terpampang di hadapannya. Dan mengikuti apa yang diarahkan oleh orang-orang di depan.

Sudah seminggu yang lalu ia mendaftarkan dirinya menjadi peserta seminar kiat menulis yang ampuh untuk penulis baru yang diisi oleh Tere Liye ini. Demi seminar itu, tiga jam perjalanan tak terasa lama bagi Risel. Ini adalah salah satu mimpinya ketika SMA dulu. Kalau dulu semasa SMA, ia tak pernah mengikuti seminar di Bandar Lampung. Yang diikuti hanya lingkup kabupaten saja. Bagi anak SMA dulu, dari kabupaten menuju provinsi sangatlah jauh. Makanya, ia tidak pernah diizinkan untuk mengikuti seminar di provinsi.

Salah satu mimpinya adalah ketika dewasa nanti akan mengikuti seminar kepenulisan dimanapun asal dirinya mampu. Dan yah, ia wujudkan hari ini. Meski ini bukan perwujudan yang pertama kali. Selama kuliah pun ia sering mengikuti seminar, bahkan tak hanya tentang kepenulisan saja.

Risel menilik jam di ponsel pintarnya. Menunjukkan angka 14.00. Jadwalnya adalah untuk bergegas pulang, tapi tak ada bus untuk jam segini. Bus baru jalan pukul 15.00, berarti ia harus menunggu satu jam lamanya.

Drettt... drettt...
Ponselnya bergetar, menampakkan nama Mas Rayyan di layar ponsel. Tanpa babibu, Risel mengangkat panggilan dari Rayyan.

“Assalamualaikum, kenapa Mas?” salamnya untuk Rayyan.
“Waalaikumussalam. Dek, kamu di Bandar Lampung ya?” Risel terkejut, darimana Rayyan tahu keberadaannya.

“Mas lihat story WA-mu. Belum pulang?”

“Iya, Mas.”

“Naik bus atau apa?”

“Bus,”

Mau pulang hari ini atau nginep?”

“Hari ini, lah!”

“jam 3 masih satu jam lagi, loh.

Kita jalan, gimana?”

Hah? Jalan gimana?”

“Jalan-jalan,”

Risel diam sejenak, mempertimbangkan tawaran dari Rayyan. Sebenarnya dia masih sakit hati mengingat Rayyan dan Mira yang sedang makan berdua waktu itu.

“Nggak ah! Jaga hati dong, Mas!” kata Risel menyindir Rayyan.

Jaga hati apa sih? Nggak jelas kamu!”

“Mira-mu itu, bahaya kalau tau kamu ketemu sama aku.”

“Lah kenapa? Mas Rayyan terbaik sejagad raya ini ingin bertemu adiknya.”

“Maaf ya, itu dulu. Sekarang ada Mira yang harus dijaga perasaannya. Huh dasar kamu Mas!” Risel masih saja pira-pura asik, padahal hatinya tersayat.

Ngapain bahas Mira sih? Mas susulin kamu. Tunggu, sampai aku dateng!”

“Eh lama nggak?”

Tunggu aja, Mas pasti datang.”

Rayyan langsung memutuskan panggilan tanpa mengucap salam. Risel keluar dari gedung, mencari tempat yang nyaman untuk duduk. Ah, bukan sekedar duduk. Tapi untuk menunggu Rayyan yang menjanjikan akan datang.
Dua puluh menit berlalu, sosok Rayyan mengemudikan motornya dengan cepat. Demi bertemu dengan kesayangan. Iya, Rayyan menyayangi Risel yang sudah seperti adiknya sendiri. Terpaut tiga tahun memang.


“Nunggu jodoh, Mbak?”
Risel menoleh ke belakang, sosok tubuh tegap berjaket kuning dan hijau. Ini jaket khusus kesatuannya.

“Lama banget!”
Rayyan meletakkan helm di atas motor, lalu duduk di samping Risel. “Tapi aku nggak ngingkarin janji, kan? Aku bilang tunggu aja nanti aku datang. Dan aku datang, kan?”

Risel mengiyakan dalam pikirannya. Rayyan tak salah.

“Mau kemana?” tanya Rayyan.

“Mas Rayyan yang ngajak, kan? Aku ngikut kamu aja lah,” jawab Risel.

“Oke, aku pesenin ojek online dulu.” Risel langsung menatap Rayyan. Bertanya dalam hati mengapa harus memesan ojek? Apakah dia nanti membonceng Mira dan mereka akan main bertiga?

“Lah kenapa, Mas?”

Rayyan menoleh, senyum manis yang membuat matanya menyipit. Lalu berkata, “Kita bukan Rayyan dan Risel kecil tanpa batasan.”
Risel terdiam. Semakin malu karena pertanyaannya. Bahkan ia tak berpikir sampai kesitu. Ah, Rayyan memang selalu melindungi dari dulu.

“Beda cerita kalau status kita bukan sahabat,” kata Rayyan tanpa menoleh. Risel mengerutkan dahi, mencoba memaknai ucapan Rayyan.

“Kalo kita saudara kandung, bebas ya Mas?” Rayyan menggeleng kecil, masih menatap ke depan.

“Bukan sekedar itu. Aku ingin ...” ucapannya terpotong oleh ojek yang sudah menghampiri.

“Ingin apa, Mas?” tanya Risel penasaran.

“Udah sana naik ojek!”

“Eh, Mas. Ojeknya cowok juga. Apa bedanya sama kamu?”

“Dia ojek, kamu penumpang. Mas ini bahaya kalau bonceng kamu.”

“Hah? Kok bisa?”

“Udah sana. Duduk perempuan, jangan pegangan!”

Risel masih berdiri, mencoba mencerna kata-kata Rayyan.

“Maksudnya jangan pegangan drivernya!”

Risel tersenyum dan langsung naik ke motor ojek. Di perjalanan ia masih memikirkan obrokan singkat yang sepertinya serius. Tentang Rayyan yang berkata ‘ingin’ tapi terputus karena ojek sudah sampai.

Hai Hai Hai..
Mohon Vote dan comment ya biar bisa memperbaiki kesalahan..

Sersan, kau kembali(Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang