Ahlan Wa Sahlan

3.6K 326 2
                                    

.
.

Aku benar-benar menjadi asing di rumah ini. Aku buta untuk melihat kedamaian di sini. Aku tuli untuk mendengar suara lembut saat ini. Bukan, aku tak buta dan tuli. Tapi, kedamaian dan suara lembut itu memang tak ada di sini. Kita sama-sama diam untuk saat ini.

Sebagai istri, aku tetap menyiapkan segala kebutuhannya. Tapi dengan membisu. Aku terlalu sakit untuk berbicara, yang pada akhirnya hanya abai yang kudapat. Aku terlalu lemah untuk menyembuhkan.

Sampai kami telah menata baju-baju di lemari rumah dinas, kami masih saling diam. Aku hanya melakukan apa yang bisa kulakukan. Mengepel, menyusun alat-alat dapur, dan menata baju di lemari.

Tak selang lama dari kedatangan kami, anggota Mas Abid datang membawa sofa dan meja makan dari rumah Magelang. Mas Abid sibuk menyusun bersama mereka. Aku berkutat di dapur, membuatkan sop buah. Kebetulan, kemarin aku sempat menyetok buah di kulkas yang hari ini kubawa. Kuhidangkan empat mangkuk sop buah untuk mereka, juga sepiring gorengan yang dibeli saat perjalanan ke sini.

“Silahkan dinikmati, Om.” Mereka mengangguk senyum lalu menyendok sop buah yang kuhidangkan untuk mereka. Abid memilih mengunyah tempe goreng.

Aku melihat halaman belakang rumah ini, masih lapang. Hanya ditumbuhi beberapa bunga liar dan rumput. Tampaknya ini tempat untuk menjemur pakaian, tepat berada di bawah matahari saat siang seperti ini.

Ahlan Wa Sahlan, rumahku. Ah, tepatnya rumah dinas Mas Abid. Saat masuk ke rumah ini, aku berharap tak ada lagi keheningan. Aku ingin rumah ini hangat, tempat yang paling nyaman untuk Mas Abid pulang. Biarlah, aku hanya mampu berharap.

Lamunanku buyar oleh suara Mas Abid dan anggotanya sedang kerepotan menggotong mesin cuci. Aku melirik, rupanya mesin cuci baru. Begitu aku masuk ke dapur, kulkas baru juga terlah berdiri di samping dispenser. Lagi-lagi aku tak berhak tahu rencananya.

Menjelang sore, aku memilih untuk bergelut dengan sayur-mayur. Aku berencana ingin membuat sop untuk sore ini.
“Mas, suka sayur nggak? Atau sayur apa yang nggak Mas suka?” tanyaku begitu Abid melangkah ke kamar mandi dengan handuk yang bertengger di bahunya. “Suka semua.” Aku mengelus dada, harus sabar menghadapi sikap dinginnya. Sebelum melanjutkan aksi masak, aku beralih ke kamar untuk menyiapkan pakaian Mas Abid. Kuambil kaos berwarna abu dengan celana selutut, kutaruh di atas kasur.

Begitu sopku matang, aku langsung menggoreng perkedel kentang. Kulakukan dengan sepenuh hati, berharap Mas Abid segera hangat padaku.
“Mas, makan dulu?” tawarku. Dia masih tiduran di depan televisi. Iya, tidak ada sofa di depan televisi seperti rumahnya Di Magelang. Hanya ada karpet bulu yang terhampar.

“Mas?”

“Nanti malem aja.” Aku menghela napas. Aku memilih masuk kamar mengambil handukku dan pakaian ganti, lalu bergegas masuk. Oke, mulai sekarang aku tak akan memaksa dia untuk bicara.

***


Selepas shalat isya, dia baru menjamah makanan di atas meja. Aku sebal dengannya, aku memilih untuk segera tidur malam ini tanpa menemaninya makan. Toh kemarin juga dia enggan kutemani. Aku meringkuk di atas kasur, mencoba memejamkan mata. Tapi tak bisa. Otakku terlalu penuh memikirkan Mas Abid.

Cklek .. Aku menoleh ke arah pintu, Mas Abid masuk lalu menutup kembali pintunya. Aku langsung pura-pura memejamkan mataku. Dia mulai merebahkan tubuhnya di sampingku, setelah mematikan lampu.
“Mas?” Akhirnya aku membuka suara setelah hampir 30 menit belum juga bisa tidur. Ada baiknya aku mendiskusikan masalah ini jika dia belum tidur juga. “Hm,” jawabnya. Aku langsung menatap langit-langit kamar yang gelap. “Boleh aku ngomong?” lagi-lagi dia hanya berdehem.

Sersan, kau kembali(Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang