Sayonara

3.6K 300 1
                                    



Pagi sekali, Riri menerjang dinginnya Kota Bandung. Semua dilakukan dengan buru-buru. Katanya memang lagi diburu waktu. Untung saja, barang-barang di ransel tak satu pun di keluarkan. Hanya di tas jinjingnya yang dia keluarkan. Jadi mempermudah dia untuk mengemas.

“Gila, Ris! Paman udah di depan!” katanya menggendong ransel. Keluar bergitu saja mengabaikanku yang sedang membereskan roti bakar di meja. Ah, bahkan untuk menyentuh roti bakar yang sengaja kupesan untuknya saja tak sempat. Aku ikut menyusul ke depan, kubawa roti bakar beserta kotaknya.

“Ini, aku udah beli buat kamu. Dibawa aja deh,” kataku menyerahkan satu kotak roti bakar untuknya. Aku sempat mengobrol tipis dengan Pamannya. Namanya Om Bambang. Dari sudut mataku, aku bisa melihat betapa sayangnya Om Bambang pada Riri. Salah satunya ya, ini, beliau rela menjemput Riri.

Aku dan Riri berpeluk-peluk manja, saling mengucap sayonara. Air mata pun berhasil lolos setelah menerobos tembok pertahanan. Kemarin memang tak ada sedih, tapi pagi ini seperti dioles bawang, pedih dan sedih sekali. “Kamu ikut ke Depok aja, yuk!” katanya setelah mengusap ingus. Aku bergidik melihat Riri Sang Gadis yang terkenal dengan kecantikannya, sedang mengelap ingus dengan jarinya. “Nggak mungkin, Ri. Kerjaku di sini.” Dia menangis lagi, sekarang sedikit merengek seperti bocah. Dia menatapku, “Oke, aku berangkat ya. Pokoknya kamu harus main ke Depok, temuin aku!” Aku mengangguk, mengusap punggungnya untuk menenangkan.

“Gas Om! Dada Risel Si Mulei Lappung!” Aku tersenyum, melambaikan tangan pada Riri. Pagi ini aku ditinggal pergi oleh sahabatku. Tapi aku yakin, dia pasti kembali lagi.

“Risel!!! Tolong Hp aku di mejamu dong!” Aku dikejutkan oleh suara Riri. Tiba-tiba muncul di tengah lamunanku. Aku menertawakan kalimatku tadi. Yah, dia pasti kembali. Benar sekali, kembali untuk mengambil ponselnya yang tertinggal.

Setelah kuserahkan ponselnya, mobil melaju lagi. Kali ini dia tak kembali. Tapi tak benar-benar pergi. Lihat saja, pasti dia selalu mengabariku. Belum berpisah saja, dia selalu memberiku pesan. Meski sekadar sapaan. Mungkin itu kelakuan gadis jomblo yang nggak ada teman chat. Hehehe.

Aku melirik jam di dinding kamarku, seketika aliran darah di tubuhku berhenti. Jam 7 kurang 15 menit. Aku menepok jidatku penuh penyesalan. Untung saja aku sudah mandi dan pakai seragam. Kalau tidak, matilah aku.

Aku segera berselancar di aplikasi ojek online, memesan ojek untuk segera mengantarku. Sialnya, tak ada yang menerima pesananku! Mungkinkah aku lari secepat kilat agar tiba di sekolah tepat waktu? Atau ... izin untuk tidak mengajar dengan alasan tak enak badan? Oh tidak! Guru macam apa aku? Aku bergidik, menyalahkan pikiran konyolku itu.

“Ya Allah Risel kamu mikir dong! Tuh ada kontak motor Riri!” Aku segera mengambil kontak dengan gantungan pita biru itu.

“Haish! Motor Riri kan masih di kostnya.”

Aku melangkah keluar, tanpa pikir panjang langsung lari menuju kostnya. Mungkin lima menit sampai kost Riri. Lalu,  gas kencang menuju sekolah 10 menit bisa lah.

Orang-orang melihatku kasihan. Aku membayangkan diriku ini salah kostum. Harusnya pakai kaos olahraga untuk lari pagi seperti ini, tapi malah pakai seragam guru! Jadi di pandang aneh oleh orang-orang yang melihatku.

“Huh, sampai!” Aku segera mengambil motor di garasi. Melajukannya dengan kecepatan kuda. Tak peduli dingin lagi, yang penting sampai sekolah tepat waktu.

Aku membawa motor Riri mengeliuk memotong jalan raya. Ternyata aku hebat juga bawa motor! Tak sampau tiga belas menit, aku sudah sampai di  parkir motor guru. Hoah! Sebuah prestasi. Eh, waktu SMA dulu aku lebih dari ini. Perjalanan yang harusnya ditempuh selama tiga puluh menit, menjadi dua belas menit karena terburu waktu. Bedanya, dulu jalannya nggak ada macet. Cuma berlubang aja, maklum jalan kampung.

“Pagi, Bu.” Aku membalas dengan senyum seramah mungkin. Anggap saja perkenalan dengan siswa. Kalau mendengar sapaan begitu, aku jadi ingat SMAku dulu. Setiap hari tak pernah berhenti menyapa. Baik menyapa guru, kakak tingkat, ataupun teman sebaya. Rasanya damai sekali, saling melempar senyum mengibarkan bendera perdamaian.

“Tumben, Teh. Biasanya duluan kamu datengnya,” kata Bu Nining yang memanggilku denggan sebutan Teteh sejak awal kenal. “Kesiangan, Bu Ning.” Beliau tertawa, melihatkan aura kecantikannya yang masih saja berseri diusia hampir setengah abad. Kata orang, menjadi guru memang selalu terlihat awet muda. Hehehe. Makanya, aku mau jadi guru. Tapi, ini alasan yang entah nomor urut berapa ya. Bukan alasan utama kok.

Baru saja aku duduk di tempatku, bel berbunyi. Aku segera menilik jadwal ngajarku. Niatnya mau makan roti bakar yang belum sempat dimakan tadi, tapi apalah daya tugas memanggilku. Aku hanya sempat minum, lalu membawa buku dan melangkah menuju kelas 11 Ipa 2 untuk menunaikan tugasku dua jam kedepan.




|Lampung.

Mohon kritik dan sarannya ya agar bisa memperbaiki kesalahan ...

Sersan, kau kembali(Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang