Assalamualaikum, temen-temen. Setelah ngutak-atik file cerita ini, tetep nggak bisa dipulihkan. Alhasil, aku nulis ulang next partnya.
Selamat membaca:).
Serius?
Aku terpaksa diantar pulang oleh Abid. Mendadak, Mama ikut Papa ke kantor. Katanya ada acara peresmian gitu, aku tidak tanya lebih. Pertama kali dalam hidupku, berdua di dalam mobil seorang pria. Aku ragu awalnya, namun Mama ngotot meminta agar aku diantar oleh Abid.
Abid mengemudikan mobilnya sangat fokus. Sampai-sampai sepi sekali suasana ini. Tak ada musik yang menyala, hanya suara klakson yang sesekali dibunyikan. Aku sempat melirik pada Abid, matanya menatap fokus jalanan di depan. Aku mengalihkan pandanganku ke luar jendela, membuang rasa bosan berada di suasana ini.
Pikiranku buyar, tiba-tiba Abid menepikan mobilnya. Aku mengernyit heran, kenapa dia menepi? Tak ada kata yang keluar dari mulutnya, dia langsung saja keluar dari mobil. Aku sebal sekali dengannya, sifatnya sulit ditebak. Kukira dia tidak sedingin ini.
“Nih, minum.” Tangannya menyodorkan teh kotak padaku. Aku menatapnya, lalu kusambut teh kotak itu. Mataku melihat Abid menusukkan pipet pada teh kotak, lalu menyedotnya. Aku pun demikian, ikut menikmati teh kotak pemberiannya setelah mengucap terima kasih.
Di tengah perjalanan, tentu saja suasana masih hening. Abid menyisir rambut cepaknya dengan jari. “Sel?” Aku menatap ke arahnya. Dia masih fokus ke depan.
“Target nikah kapan?” Aneh! Sekalinya ngajak ngobrol, nggak main-main. Tentang pernikahan. Dia nggak lagi bercanda, raut mukanya terlihat masih fokus ke depan.
“Emang ngapa?” Dia menggeleng, tentu saja masih menatap ke arah depan. “Tanya aja. Umur berapa kamu?”
“24.”
“Kapan mau nikah?”
“Ya kalau ada jodohnya lah. Ngapain sih nanya?”
“Pengen tau aja. Umur saya 27, seumuran sama Rayyan. Target nikah saha sih, sampai nemuin yang sejalan.”
“Sejalan gimana?” Aku malah mengajaknya lanjut untuk mendiskusikan hal ini. “Yaaa yang satu visi, tujuannya sama.” Aku mengangguk paham.
“Cuma belum sempat ngajuin cv si ke Murabbi.” Oh, dia tau proses ta’aruf sepertinya. “Kalau visi kamu dalam menikah, apa?” tanyanya. “Ya buat sama-sama gapai Ridho Allah, Lah! Karena ibadah yang durasinya paling lama, ya menikah. Membangun keluarga yang bisa berlanjut sampai ke syurga,” jelasku.
“Kalau kamu tiba-tiba diajak nikah sama orang yang nggak kamu cintai, tapi dia berani nemuin orang tua kamu, gimana?” Ih, apaan dia nanya begini. Tapi, nggak papa setidaknya suasana udah nggak sehening tadi.
“Ya liat dulu dia seperti apa. Tujuan dia ngajak aku membangun rumah tangga seperti apa.”
“Kalau tujuannya buat ibadah, buat gapai Ridho Allah, gimana?”
“Orang tuaku, kuncinya di situ.”
Suasana kembali hening setelah aku menjawab pertanyaannya. Dia kembali fokus mengemudikan mobilnya. Tak selang lama, mobilnya masuk ke halaman Rumah Bude. Aku keluar lebih dulu dari dia. Tak perlu menunggu lama, Bude sudah muncul di teras rumah dengan senyum. Aku langsung mencium tangannya. Abid keluar dari mobil, membawa sekantung plastik. Apa itu? Aku baru melihatnya.
“Ini Bude,” katanya menyerahkan plastik itu setelah menyalami Bude.
“Apa ini?”
“Cemilan, Bude.” Apa dia membeli itu waktu dia mampir ke mini market tadi? Tapi kemana saja aku sampai tak tau dia masuk dengan plastik yang berukuran sedang itu. Aku hanya melihatnya membawa dua kotak teh.
“Oalah, kok repot-repot. Makasih, ya!”
Abid masuk ke dalam ruang tamu, mengobrol dengan Bude seraya menikmati teh manis yang dibuat oleh Bude. Aku membereskan barang-barang yang kubawa dari rumah Mama. Termasuk pakaian kotor yang kupakai semalam. Telingaku mendengar mereka mengobrol dibarengi suara tawa. Tampaknya mereka asyik sekali. Ah, masa bodoh.
Aku menyusul mereka di ruang tamu setelah urusanku selesai. Abid menatapku sebentar, lalu menyeruput teh manis di hadapannya. “Bude lanjut nyuci, ya. Maaf ya ditinggal, Bid.” Abid mengangguk. Mataku mengekori langkah Bude, yang langsung hilang dari penglihatanku setelah melewati pintu antara ruang keluarga dengan ruang tamu. Yap, sisa kami berdua di ruangan ini. Aku sedikit risih, lebih tepatnya canggung. Setelah kaki Bude melangkah ke belakang, Abid menyibukkan dirinya untuk main ponsel.
“Kamu udah ada pacar?” tanyanya tanpa menatapku, masih fokus pada gawainya. Aku juga bingung dengan orang-orang yang mengajukan pertanyaan sedang dirinya saja asyik sendiri dengan ponselnya.
“Nggak ada nggak pernah.”
“Oh, alhamdulillah. Lagi sedang proses ta’aruf?”
“Nggak.”
Dia memasukkan ponselnya pada saku celana, menegakkan tubuhnya setelah mengembuskan napas. Aku menatapnya heran, ada apa?
“Mau nikah sama saya?” Mataku melotot, kaget mendengar ucapannya. Aku mencari titik bercanda di wajahnya, tapi tak ada. Matanya menunduk, menatap lantai di bawahnya. Rasanya aneh, entah apa yang sedang aku rasakan saat ini.
“Maksud kamu?” Aku memberanikan diri untuk membuka suara. Dia masih menunduk, lalu menegakkan kepalanya menatap ke arah depan. Tentu saja tidak menatapku yang duduk di sebelah kirinya.
“Saya mau ngajak kamu nikah. Kamu mau?” Aku tertawa mendengar ucapannya. “Lucu kamu! Sok serius gitu mukanya.” Dia menoleh ke arahku, “ Saya serius.” Tawaku langsung berhenti melihat wajahnya yang kaku.
“Saya mau menikahi kamu. Kalau kamu setuju, izinkan saya ketemu orang tua kamu untuk melamarmu.”
“Kamu sehat?”
“Kamu mau atau nggak?”
“Ini aku nggak tau ya kamu bercanda atau serius.” Dia meraup wajahnya, “Demi Allah, saya serius.”
“Kita nggak kenal.”
“4 hari sudah cukup bagi saya untuk mengenal kamu. Bukan Cuma itu, bertahun-tahun saya sudah dikenalkan dengan dirimu oleh Rayyan.”
“Alasan?”
Dia menarik napas lalu menghela, “Kamu memiliki tujuan yang sama dalam pernikahan. Saya yakin kamu bisa menjadi ibu yang baik, bagi calon generasi penerus Islam.”
“Kamu kan nggak kenal aku lebih dalam.”
“Yang saya tau, kamu baik. Nggak kurang bagi saya.”
“Aku nggak bisa.”
Dia langsung menatapku, menautkan kedua alisnya, “Kenapa?”
“Nggak tau. Terlalu asing. Iya, kamu asing bagiku.”
“Jadi kamu nolak saya?” Aku menelan ludah mendengar ucapannya. Bukan. Aku bukan menolaknya. Tapi aku masih ragu, dan tak pernah menyangka tentang semua ini. Terkesan dipaksa, untuk hal yang tak sepele ini. “Bukan. Kamu tanya orang tuaku aja, deh!”
“Oke. Besok saya ke rumah orang tua kamu. Kasih tau saya alamat lengkapnya.”
“Kamu serius?”
“Serius. Saya nggak pernah main-main. Saya ini udah lelaki dewasa, bukan saatnya main-main.”
“Entahlah, aku nggak tau harus gimana,” kataku dengan nada pasrah. “Tanya hati kamu, udah bisa nerima orang lain selain Rayyan, belum?”
“Yaudah, saya pamit. Saya tunggu alamat lengkapnya.”
“Eh, saya nggak punya nomor kamu,” kataku sebelum dia keluar dari pintu. Dia berhenti, lalu meraih ponselnya. Menyodorkan padaku, “Tulis alamat lengkapnya di situ!” Huh, kukira dia menyuruhku agar menulis nomorku di ponselnya. Ternyata salah.
“Nih,” kataku menyerahkan ponselnya. Dia mengangguk, “Pamit. Salam sama Bude, nggak enak mau pamit langsung. Lagi nyuci soalnya. Assalamualaikum.”
“Waalaikumussalam.” Aku masih memerhatikan punggungnya yang mulai menjauh dariku. Lalu masuk ke dalam mobil, dan melaju dengan santai.
Aku berdiri di teras, menatap kosong bekas parkir mobilnya. Ada apa di balik ini semua? Desember mempunyai misteri bagiku. Tentang Abid yang tiba-tiba muncul di kehidupanku. Juga, tentang ajakan menikah dengannya. Argh, membuatku pusing jika memikirkan ini semua.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sersan, kau kembali(Completed)
Storie d'amore"Aku pengen jadi pejuang, pembela, dan pahlawan." ~Azzam Ar-Rayyan~ "Kalo aku pengen jadi guru, Mas. Keren gak?" "Kerenan tentara lah. Kamu tau Pak Imron yang pernah ke balai desa gak? Tentara tu kayak dia itu. Dia suka membantu orang-orang. Tenta...