Langit Kota Magelang tampak cerah. Ditambah semilir angin yang mampu mengebaskan anak rambut milik gadis-gadis yang sedang bersenda gurau. Tapi, tidak untuk perempuan berumur setengah abad itu. Duduk di ruang tamu, menggenggam gawai dengan penuh isak. Sementara, lelaki yang menjadi teman hidup, memeluknya mencoba menguatkan.
Bukan berarti lelaki itu tak ikut mendung. Namun ia hanya ingin menguatkan belahan jiwanya. Ia juga sama terpuruknya. Bahkan, lebih menyakitkan.
“Pa, nggak mungkin.” Lelaki yang bernama Rudi itu menggenggam erat jemari isterinya. “Ma, kita nggak bisa lawan takdir.”
Ani masih terisak, mencoba menentang kenyataan. Kabar dari seseorang diujung telepon, membuatnya mematung. Lalu akhirnya terisak tangis tak percaya akan kabar itu. Kurang lima hari lagi, rumahnya akan penuh diisi sanak keluarga. Akan menyaksikan hari bahagia anak semata wayangnya. Tapi, rasanya itu hanya sebuah rencana yang pada akhirnya tak akan pernah terlaksana.
“Ayo jemput Rayyan!” Rudi membelalakkan matanya, kemudian menatap Ani dengan sendu. “Ma, biarkan di sini. Kita tunggu saja.” Tapi itulah seorang ibu, tetap keras kepala jika menyangkut anaknya. Terlebih, anak tunggal kesayangannya.
“Mama nggak sabar, bisa aja itu berita bohong!”
“Ma, kita tunggu. Nanti sore, akan datang. Kita pastikan kebenarannya.”
“Aku ini Mamanya, Pa. Aku nggak rela, aku nggak ikhlas!” Rudi hanya mampu diam. Daripada bertengkar dengan istrinya.
Rudi merogoh ponsel di sakunya begitu merasakan getaran. Ah, Ridwan menelepon.
“Halo?” katanya menyapa.
“Di, udah lihat berita? Itu yakin Rayyan?”“Iya. Mohon doanya, nanti sore tiba di rumah.”
Lalu Rudi memilih memutuskan sambungan teleponnya. Semakin bercerita, sedihnya semakin menyebar.
“Mira, Mira gimana, Pa?” Ani mengusap air matanya, mengingat bakal mantunya yang belum dikabari.
“Biarkan saja dulu, Ma. Nanti sore, semuanya nanti sore.”
“Ya Allah, kenapa ini terjadi? Anakku anak yang baik tapi kenapa berakhir seperti ini?”
“Istigfar, Ma. Kita harus ikhlas. Jangan menyalahkan takdir. Semua memang sudah ketetapannya.”
“Pa, lima hari lagi dia menikah. Hiks.”
“Kita Cuma bisa berencana, Ma.”
Sepasang suami istri itu saling berpelukan, menguatkan satu sama lain. Baginya, hari ini adalah mimpi buruk. Sebuah mimpi yang tak diharapkan kehadirannya.
Sementara gadis bernama Mira itu masih tak bergeming. Layar ponselnya menampakkan sebuah postingan di instagram. Ia masih diam, tak percaya dengan apa yang dia lihat. Perlahan air matanya jatuh. Ia merasakan sesak yang begitu parah. Untuk mengeluarkan suara saja tak mampu.
Tangannya meremas jas putih yang dipakai. Ponselnya di banting asal. Ia segera keluar ruangannya. Tak peduli jam kerja yang masih menuntut tanggung jawabnya.
Ia mengemudikan mobilnya, melaju cepat menuju rumah calon mertuanya. Tentu saja dengan air mata yang terus mengalir. Begitu tiba di halaman rumah ibu dari lelaki yang amat dicintainya, ia langsung menerobos masuk. Ditubruknya tubuh wanita yang dipanggil Ibu olehnya. Lalu terisak di pelukannya.
“Ibu, apa ini semua benar?” tanyanya dalam isak.
“Bu, nggak mungkin. Bang Rayyan lagi di Lampung kan Bu? Dia nggak kemana-mana, kan?”
Ani mengeratkan pelukannya, mengelus punggung calon istri putranya itu.
“Bu, jelasin ke Mira! Itu bukan Bang Rayyan, kan?”
Ani melerai pekukannya, menuntun Mira untuk duduk di sofa. “Sayang, kita sama-sama terluka. Ini semua diluar kendali. Ibu juga sulit menerima.”
“Bang Rayyan di Lampung, kan Bu? Buman di Wamena!” Ani menggeleng pelan, mengusap air mata Mira. “Mir, Rayyan memang di Wamena. Seharusnya lusa dia pulang, setelahnya kalian menikah.”
Mira tampak terkejut, “Ibu kenapa nggak larang dia pergi? Ibu harusnya larang dia!” Ani tersentak mendengar ucapan Mira yang sedikit membentak. Mungkin tersulut emosi.
“Aku sakit! Sakit! Bahkan, dia aja nggak bilang ke aku kalau mau jalanin tugas! Aku ini apa? Argh.” Mira menjambak rambutnya frustrasi. Memang, kepergian Rayyan tak diketahui olehnya. Mira berpikir bahwa Rayyan sengaja tidak menghubungi Mira karena dianggap sedang dalam masa pingitan.
“Dia nggak bilang ke kamu?”
“Nggak! Aku merasa nggak dihargain sebagai calon istrinya! Oh, mungkin bener dugaanku selama ini. Ggara-gara Risel!”
“Apa maksudkamu?” Rudi membentak Mira yang bicaranya pakai emosi. Sedari tadi Rudi menahan amarahnya.
“Di sini kita semua merasa sedih, merasa sakit. Bukan kamu saja! Dan kenapa kamu bawa-bawa Risel?” kata Rudi. Mira melengos, mengusap air matanya kasar. “Iya! Semenjak ketemu Risel, Bang Rayyan tu berubah! Hiks.” Mira dirundung sedih. Dia yang tadi marah, berubah menjadi wanita paling menyedihkan. Ia mengacak rambutnya, menangis meraung menyebut nama Rayyan.
“Stop! Papa jangan marahin Mira. Dia kehilabgan juga,” kata Ani menenangkan.
Ketiga manusia itu duduk dengan diam. Sesekali mengusap sendiri air mata yang jatuh di pipi. Pikirannya melesat jauh entah kemana. Yang jelas, mereka bertiga sama-sama sedih disebabkan satu orang.Assalamualaikum.. mau minta doa sama para pembaca yang baik hati. Semoga diberi kelancaran semua ya.. Aamiin
KAMU SEDANG MEMBACA
Sersan, kau kembali(Completed)
Roman d'amour"Aku pengen jadi pejuang, pembela, dan pahlawan." ~Azzam Ar-Rayyan~ "Kalo aku pengen jadi guru, Mas. Keren gak?" "Kerenan tentara lah. Kamu tau Pak Imron yang pernah ke balai desa gak? Tentara tu kayak dia itu. Dia suka membantu orang-orang. Tenta...