Pulang Kampung

3.4K 301 2
                                    

Selamat membaca;)


.

.

Desember terlalu mengejutkan untukku. Akhir tahun yang akan segera ditutup, malah menjadi lembaran baru untukku. Ini terkesan singkat, namun  sarat makna. Ah, aku juga tak tau makna semua ini. Terlalu ruwet untuk diperjelas.

“Air dingin, Mbak?” Lamunanku dibuyarkan oleh pedagang asongan di dalam bus. Aku melambaikan tangan mengatakan tidak padanya. Aku kembali menyenderkan kepalaku di kursi, perlahan memejamkannya. Tapi gagal. Segala gelisah di pikiranku terus berputar-putar. Aku melirik penumpang di sebelahku, wanita berusia sekitar 30 an tahun sedang terlelap nyenyak.

Otakku kembali berpikir tentang semua yang terjadi. Tentu saja tentang lamaran Abid yang tiba-tiba. Aku juga bingung dengan diriku sendiri. Harusnya jika aku memang tak suka dengannya, maka aku bisa menolaknya dengan gamblang. Tapi ini beda! Ada yang aneh dalam diriku. Penuh keraguan, yang menyebabkan aku sulit menerima.

Kemarin sore Ibu menelepon, menceritakan kedatangan Abid. Ya, Abid benar-benar serius dengan ucapannya. Setelah mendapat alamat rumahku, dia langsung mengurus penerbangan ke Lampung. Ini benar-benar diluar dugaanku. Dan apa yang terjadi setelahnya? Ayah dan Ibu menerima pinangan Abid. Mereka tidak mengambil keputusan sepihak, tidak. Sebelum menerima, ia menanyakan padaku. Dan aku menyerahkan semua pada Ayah. Hingga, beginilah akhirnya.

Aku tak tahu mengapa Ayah menerima orang asing seperti Abid. Katanya Cuma satu, Abid pria yang sholeh. Memang Ayah tau dari mana? Entahlah.

***


“Jadi, kamu kenal Abid itu waktu kamu ke makamnya Rayyan?” Aku mengangguk. Di sinilah aku, di ruang keluarga. Ya, aku sedang diinterogasi oleh Ayah dan Ibu.

“Kok bisa semua mendadak, ya?” monolog Ibu.

“Kenapa Ayah yakin sama dia?” Ayah menghentikan aktivitas memijat keningnya. “Ucapannya meyakinkan. Ayah juga sudah menanyakan semua alasan dia. Katanya, dia merasa cocok sama kamu. Dia juga sudah istikharah, dan katanya kamu jawabannya. Ayah suka dia langsung nemuin Ayah. Dia juga ternyata ikut ngaji, disela sibuknya pekerjaan, katanya.”

“Emang Ayah tahu pekerjaan dia apa?” tanyaku. Ayah diam, menatap Ibu seperti meminta jawaban.

“Ayah nggak tahu, itu bisa ditanyakan nanti. Kemarin Ayah hanya fokus menanyakan tentang dia, kepribadian, pengalaman ngaji. Bagi Ayah, pekerjaan dia itu nomor sekian. Yang utamaa adalah kualitas iman, kan?”

“Dia tentara, Yah.” Aku berhasil menangkap raut terkejut milik Ayah.  Yah, aku sudah menduganya. Dulu aku sempat mendengar obrolan Ayah dengan Ibu, beliau tak setuju jika aku menikah dengan Tentara. Katanya, tak tega melihat putri kesayangannya selalu ditinggal tugas.

“Kalau udah tau, apa mau dibatalkan aja, Yah?”

“Eh, main-main! Nggak ada batal.”

“Bukannya Ayah nggak mau Risel nikah sama tentara, kan?”

“Ini masalahnya beda. Kemarin Ayah sudah menyetujuinya, bahkan sampai merencanakan tanggal. Akhir Desember, kalian menikah.” Bagai tersambar petir di siang bolong. Entah, aku tidak tahu harus apa lagi. Ini bukan kesalahan. Ya, bukan kesalahan.

“Mendadak sekali,” gumamku. Ibu mengelus bahuku, “Itu tandanya dia serius. Dia bilang resepsinya di Lampung. Setelah itu, dia berhak membawamu.”

“Emang Ibu nggak tanya kenapa dia bilang gitu?”

“Katanya, dia punya temen WO di Lampung. Toh, dia juga sekarang lagi di Lampung. Jadi dia pikir lebih mudah kalau diurus di sini. Kami juga sudah tau, orang tuanya tidak ada. Makanya, dia kesini diantar Om Rudi.”

“Hah? Om Rudi?” Ibu dan Ayah mengangguk kompak.

Aku langsung undur diri untuk istirahat. Otakku penuh, tapi seperti diaduk-aduk. Ruwet sekali ternyata. Aku kira tak akan seperti ini akhirnya. Tak pernah tercatat dalam dream list-ku aku ingin menikah dengan cara seperti ini. Maksudnya, dengan orang yang baru saja kukenal dan menikahnya pun dadakan. Akhir Desember, tercatat empat hari lagi.

“Nak, ada Abid di  depan,” teriak Ibu dibalik pintu kamarku. Hah? Yakin ada Abid? Aku langsung buru-buru memakai hijab instan, dan tanpa kaos kaki karena gamisku berhasil menutupi punggung kakiku.

Mataku mendapatinya yang sedang duduk di ruang tamu, memainkan gawainya. “Ekhem,” dehemku untuk menyadarkannya jika aku telah duduk di hadapannya.

“Lagi sibuk?” Aku menggeleng. Sebenarnya niatku ingin tidur siang, tapi malah diganggu oleh kedatangannya.
“Saya ngajak kamu diskusi. Tanyakanlah semuanya, sebelum terlambat.” Aku mengernyit bingung, “Terlambat gimana?”

“Tanyakanlah apapun yang masih kamu ragukan terhadap saya. Ini belum terlambat, daripada kamu menyesal setelah saya mengucap akad pada Ayahmu.”

“Tidak ada.”

“Jadi kamu sudah yakin?” Aku menggeleng. “Tanyakanlah apapun yang ingin kamu tau tentang saya!.”

“Aku nggak tau mau nanya apa. Mau nanya alasan kamu melamarku, itu udah kamu jawab kemarin lusa.”

“Apa kamu nggak ingin tahu tentang perasaanku?” tanyanya dengan mata menyipit.

“Ah, iya. Gimana perasaanmu?” Dia menatap atap, lalu membuang napas kasar. “Saya suka kamu.”

“Suka? Bukan cinta?” dia mengangguk. “Ya, dan saya ingin mencintaimu setelah kamu halal bagiku.  Gimana perasaanmu?”

“Hm, sama sepertimu. Belum ada cinta untukmu saat ini. Tapi, dulu aku pernah berjanji pada diriku sendiri. Aku akan mencintai pria yang telah mengucap janji suci denganku.”

“Mari kita jalani bersama.” Dia meletakkan sebuah kotak di meja, “Ini. Nanti kamu pakai waktu pengajuan. Kamu segera siap-siap, aku tunggu. Jam lima sore kita terbang ke Semarang. 3 jam perjalaban ke Raden Intan, makanya kamu cepetan.”

“Hah secepat itu? Yaudah ditunda aja nikahnya,” putusku. “Nggak bisa. Mumpung saya cuti, kalau ngurus cuti lagi itu ribet. Buruan, manfaatkan waktu sebaik mungkin. Saya tau kamu pernah jadi pengajar muda di Papua, seharusnya kamu bisa cekatan.” Ya Allah, ini benaran bukan mimpi? Rasanya pengen nangis, tapu nggak tau nangis penyesalan atau apa.

Seperti drama saja hidupku ini. Yah, tapi aku yakin inilah skenario Tuhan yang ditulis untukku. Seperti kilat, cepat sekali. Saat ini aku diusung Abid ke hotel. Bukan, bukan berdua. Hanya aku saja yang di hotel. Sementara dia tidur di baraknya. Semua persyaratan sudah disiapkan olehnya. Urusan ke Koramil saja dia yang ngurus bersama Ayah kemarin. Hari besok, tinggal pengajuan ke kesatuannya. Terserah, aku pasrah apapun yang terjadi.

Sersan, kau kembali(Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang