Pertengkaran Perdana

3.6K 321 3
                                    


.
.
.

Seperti hari sebelumnya, pagiku disibukkan oleh kegiatan bersih-bersih rumah. Kusirami bunga di halaman belakang agar tak layu. Aku ingin melihat bunga itu bermekaran, tampak bahagia dipandang mata. Setelah membersihkan diri, aku hanya duduk di teras depan. Tak lupa dengan secangkir kopi susu yang aromanya menenangkan. Ah, aku jadi rindu Abid. Jika tidak ada pengunduran, hari ini adalah jadwalnya untuk pulang.

Kubalik lembar buku yang kubaca. Baru sampai halaman lima puluh dua, ponselku berdering. Nomor tanpa nama, siapa pikirku. “Assalamualaikum?” sapaku.

Waalaikumussalam, hari ini aku pulang.” Ya Allah, ini nomor suamiku. Seminggu menikah dengannya, tak sempat aku menyimpan nomornya. Lebih tepatnya sehari setelah menikah, aku langsung ditinggal ke Semarang. Beginilah risiko istri prajurit.

“Mas Abid pulang jam berapa?”

Ini lagi diperjalanan, satu jaman lagi mungkin sampai,

“Mau dimasakin apa?”

Semur ayam, ya. Sama buatin cireng sama kayak di rumah Mama waktu itu.” Aku tertawa kecil, atau jangan-jangan dia mendapat ide menikahiku setelah menyantap cireng buatanku waktu itu?

Malah ketawa. Yasudah, aku sambil nyetir.”

“Jangan nelpon sambil nyetir, Mas. Aku nggak suka.”

Pakai earphone, Sayang.” Begini ya rasanya dipanggil ‘Sayang’ oleh suami sendiri? Detak jantungku langsung memburu.

Aku segera berkutat di dapur, tapi gerakanku terhenti saat tepung tapioka tak ada di lemari. Aku harus beli bahan-bahan buat cireng dulu. Kata Abid, satu jam lagi sampai. Ah, masih bisa kalau aku ke toko untuk membeli bahan cireng.

Pertama kali sebagai istri Abid, aku keluar rumah mencari mini market terdekat. Kau tau, aku sampai menggunakan maps untuk mencari mini market atau toko terdekat. Tibalah aku di mini market, 400 meter dari Rumah Abid. Aku tersenyum ramah, membalas senyum milik kasir yang tak kalah ramah. Suaranya khas, kentara sekali dia Orang Jawa.

Dengan bismillah, aku mulai mengolah ayam untuk kusemur. Sembari menyicil membuat adonan cireng. Ada yang menggebu dalam diriku, seperti tak sabar ingin bertemu dengan Abid. Mungkinkah aku sudah benar-benar memcintainya? Entahlah, seharusnya memang kita ini saling cinta. Aku sempat berpikir, pernikahan ini karena apa? Tapi Abid bilang, kita satu visi dalam membangun rumah tangga. Jadi, bisakah kita menjalani rumah tangga ini meski belum ada cinta? Jawabannya bisa. Karena aku melakukan ini semua karena Allah, belajar menjadi istri yang baik untuk suamiku. Kurasa Abid juga begitu, selama ini dia selalu lembut padaku. Eh, tapi selama tiga hari dia pergi, baru pagi ini dia memberi kabar. Terserahlah, aku hanya ingin belajar menjadi seorang istri yang baik untuknya.

Kumasukkan semur ayam pada mangkuk sayur. Saatnya aku fokus menggoreng cireng, juga disambi membuat sambal rujaknya. Aku juga sudah memenuhi toples di atas meja makan dengan kerupuk udang. Waktu itu, aku pernah lihat Abid suka sekali mengunyah kerupuk ini.

Selesai menyiapkan semuanya, badanku terasa lengket. Akhirnya aku memilih untuk mandi karena tak betah dengan keringat di badanku. Aku memilih mandi di kamar mandi belakang, dekat dengan kamar sholat di rumah ini.

Rasanya segar sekali, setelah membersihkan diri yang kedua kali di pagi ini. Begitu keluar dari kamar mandi, mataku disambut oleh bayangan Abid yang sedang duduk di meja makan. Refleks aku mengembangkan senyum bahagia. Ah, rasanya rindu ternyata. Aku menghampirinya, mencium punggung tangannya sebagai sambutan.
“Baru mandi?” tanyanya. “Iya, yang kedua kalinya.” Dia terkekeh, lalu memasukkan kerupuk udang ke mulutnya. Aku menyampirkan handuk di dekat pintu kamar mandi.

“Gimana rasanya ditinggal suami kerja selama tiga hari?” Aku duduk di hadapannya, tersekat oleh meja makan. “Nggak gimana-gimana,” kataku sambil menciduk nasi untuknya. “Cukup, nasinya. Berarti kamu memang wanita yang cocok untuk jadi istriku.” Aku langsung menatapnya. “Iya, karena aku akan jarang di rumah,” lanjutnya. Perasaanku tak menentu saat ini. Seperti ada rasa kecewa mendengar jika aku akan sering ditinggal olehnya. Huh, sepertinya aku benar-benar mulai nyaman dengan keberadaannya.

“Besok, kamu aku tinggal lagi. Mungkin Lusa, kita bisa pindah ke Semarang. Aku udah dapet rumah dinas yang lebih bagus dari yang sebelumnya, lebih layak untuk pasangan suami istri maksudnya.” Aku tak menanggapinya, dia mulai menyantap makanan yang telah kusiapkan. Aku tau, saat dia makan, tak boleh ada obrolan.

“Mas, aku mau ngomong.” Aku mengikutinya duduk di depan televisi yang sedang menayangkan berita. Dia menatapku, tanda penasaran dengan apa yang ingin kubicarakan. “Aku tau cerita kalian, cerita kamu sama Mbak Retno. Waktu kamu pergi, dia kesini bilang ke aku tentang semuanya.” Dia langsung tak menatapku, memilih fokus pada layar televisi.

“Mas, dengerin aku kan? Mbak Retno itu mau minta maaf tapi takut Mas nggak maafin. Masnya juga terlalu keras kepala.” Barulah dia menatapku dan berkata, “Aku keras kepala? Selama ini dia kemana aja? Udahlah, aku sebagai suami memerintahmu untuk tidak bertemu lagi dengannya. Dan kamu sebagai istri, harus menurutiku.” Rahangnya mengeras. Ini pertama kali dia berbicara sedikit membentak padaku. “Istri wajib mengikuti perintah suami, selagi perintah itu memang benar-benar baik. Kalau suami memerintah istri untuk melakukan hal yang tidak baik, boleh kok istri menolak.”

“Terserah kamu! Kamu itu nggak tau apa-apa tentang aku sama dia.” Kalimatnya ini berhasil membuat dadaku sakit. Dia berdiri, berniat meninggalkanku, “Kalau kamu mau bela Mbak Retno, silahkan! Tapi jangan kamu paksa dan atur-atur aku buat bersikap baik ke dia.” Air mataku jatuh tak terkendali, pertama kali dia membentakku sampai aku tersentak. Bibirku bergetar, merasakan takut dan kecewa.

“Iya, emang kita dua orang asing, kan? Aku nggak tau tentang kamu, kamu nggak tau tentang aku. Aku juga bingung, kenapa kamu bawa aku masuk ke kehidupanmu seperti sekarang. Aku Cuma mau jadi titik tengah untuk kalian. Aku nggak membela siapapun, karena kalian sama-sama salah menurutku. Apa salahnya saling mengendurkan ego? Apa sampai tua nanti, kalian akan tetap begitu? Aku Cuma ingin punya keluarga, aku juga ingin dekat dengan keluargamu. Keluargamu Cuma Mbak Retno, salah aku bersikap baik padanya? Terserah, Mas. Kalau memang aku nggak berhak buat atur kamu, aku minta maaf. Tapi aku pikir wajar seorang istri memberi saran pada suami. Maaf, aku lupa kalau kita ini orang asing,” kataku dengan isak tangis. Dia mematung berdiri menatapku, lalu melangkahkan kaki keluar rumah. Aku mengikuti jejaknya, namun hilang. Dia sudah keluar mengendarai motor yang ada di garasi.

“Apa sifatmu yang sebarnya seperti ini, Mas? Aku kira kamu nggak tega membentakku. Aku kira kamu seperti Mas Rayyan yang selalu lembut. Astagfirullah, ampuni dosaku Ya Allag telah membandingkan suamiku dengan orang lain yang bahkan sudah tak ada di dunia ini.”

Aku masuk ke kamar, menenggelamkan wajah di bantal dan menangis tersedu. Ini pertama kalinya aku menangis tersedu setelah waktu itu menangis mendapati kenyataan bahwa Mas Rayyan akan menikah dengan Mbak Mira. Tapi ini lebih sakit. Rasanya aku ingin kembali ke pelukan Ibu, beliau yang selalu menenangkanku.  

Ibu, Risel kangen.

Abid kenapa sih lu bentak Risel? Wah, jadi ikutan sakit hatiiiiii.

Sersan, kau kembali(Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang