Mimpiku

5.8K 461 3
                                    


“Kuperjuangkanmu, sesuatu yang membuat hidupku semakin hidup.”

Kupandang manik mata milik bocah di depanku, sedang mengunjuk giginya padaku. Bibirnya tertarik, mengukir senyum paling bahagia. Sederhana, melihatnya menampakkan raut bahagia, membuatku bahagia tiada tara.

“Ibu, aku udah meraih mimpiku, Bu. Terima kasih dukunganmu selama ini,” gumamku.

Aku menggiring muridku keluar ruangan, menuju tanah lapang untuk belajar di luar kelas. Entah ini layak disebut kelas atau tidak, berdinding tua, bangku dan kursi pun sudah mulai reot. Bahkan, ketika hujan datang, gemericik air menerobos atap ruang ini.

Mereka terlihat riang ketika di halaman depan kelas, para tentara yang tugas sudah menunggu. Ini pertama kalinya aku mendampingi muridku untuk belajar di luar ruangan dengan satuan tugas dari Yonif 143. Biasanya mereka tidak perlu kudampingi, namun kali ini aku dipaksa ikut oleh Iben, salah satu murid yang kupilih menjadi ketua kelas.

“Oke, seperti biasa ya, nyanyi Indonesia Raya,” titah Pak Bagas, Bapak Tentara yang mengomando muridku.

“Indonesia tanah airku, tanah tumpah darahku. Di sanalah aku berdiri jadi pandu Ibuku ...”

Hatiku bergetar, haru mendengar muridku menyanyikannya. Mereka yang hidup dalam keterbatasan, namun rasa nasionalismenya tinggi. Tanpa sadar, air mataku menetes lepas tak terkendali. Aku menarik tubuhku dari hadapan muridku. Ah, rasanya tak karuan. Bahagia, sedih, haru, menjadi satu. “Allah, semoga engkau ridho ..”

“Menangis,” celetuk Kak Azzam yang tak kutahu kapan ia datang. Aku segera mengusap pipiku, menghapus air mataku. Tak banyak cakap, dia pergi begitu saja. Kak Azzam ini salah satu tentara yang menginspirasi bagiku. Tapi, tenang. Aku tidak menyukainya. Hanya saja tutur katanya, dan segala tindakannya selalu menginspirasi untukku. Tujuannya menjadi tentara, membuatku terenyuh. Orang tuanya pasti sangat bangga dengannya.

“Sel, kamu di sini ternyata. Tadinya aku mau ngajak kamu buat ngajarin jahit, buat kerajinan.” Riri datang membuyarkan lamunanku.

“Ah, iya. Yaudah sekarang aja.”

“Adiknya kakak, Kakak izin pamit dulu ya. Esok kita lanjutin belajar di dalam ruangan,” pamitku pada muridku segaligus pada tentara yang ada.

Aku melangkahkan kaki bersama Dini ke salah satu gubug. Terdengar suara ribut khas emak-emak. Hehehe, memang wajar sih.

“Lagi pada ngapain, Mama?” tanya Riri yang langsung duduk di kerumunan.

“Kitorang bar mengobrol.”

Aku bingung oleh tatapan Ibu-ibu itu padaku. Seperti tatapan heran. Ah, iya. Aku lupa, aku belum berkenalan dengan mereka. Mereka berkumpul di sini mengikuti arahan Riri. Kata Riri, dia akan membuat kelas untuk ibu-ibu. Sekedar belajar menjahit dan membuat kerajinan lainnya.

Aku mengukir senyum paling ramah untuk mereka. Berusaha bersikap hangat agar mereka pun membalas ramah terhadapku. Karena jujur aku gugup dipandangi seperti itu.

“Ko pu nama sapa?” tanya Ibu yang rambutnya tergelung rapi itu.

Aku tersenyum, menghirup nafas dalam, “Sa pu nama Risel, Aninda Risel Fernisa. Salam kenal, dari Bandung.”

Akhirnya, mereka menyambutku dengan hangat. Satu per satu datang untuk memelukku. Ah, aku bahagia sekali.

Riri mulai membuka acara, sedangkan aku duduk di samping Riri dengan senyum yang tak pernah hilang. Kami duduk melingkar, menyaksikan Riri yang sedang membagikan jarum dan benang jahit. Aku pun tak tinggal diam, dengan sigap aku berdiri untuk membantu Riri.

Kegiatan kami diselingi oleh canda tawa. Saling bertukar cerita tentang latar belakang kami. Aku menceritakan latar belakangku, yang membawaku ke tanah Papua ini. Bahkan, diantara mereka ada yang mengajak kami untuk memasak makanan khas Papua. Aku dan Dini pun menyetujui dengan senang hati.

“Oke, kelas menjahit untuk hari ini kita cukupkan ya, Mama. Sampai jumpa.” Riri menutup kegiatan dan kami langsung berjabat tangan salam sampai jumpa dengan mereka.

“Ri, ke sungai bentar yuk!”

“Kebiasaan. Biar kek anak indie gitu ya, nikmatin angin pantai sambil nyeruput kopi.”

“Ini mah sungai, atuh Teh Riri. Hayuklah!”

Lagi, suasana di tepi sungai selalu menenangkan untukku. Semua lelahku hari ini hilang begitu saja diterpa angin sore. Aku duduk di bawah pohon karet, membuka lembar buku catatanku dan seperti biasa, aku menoreh tinta di sana.

“Liat tuh, Pak tentara dateng haha.”
Ternyata Pak Bagas dan Kak Anam. Mereka sepertinya baru pulang membantu para Pace berladang.

“Ganteng ya, Kak Anam itu,” kata Riri tak berpaling dari menatap Anam. Anam, berbadan tegap berambut cepak, dan murah senyum. Wajar saja Riri menyukainya, memang jika Anam tersenyum rasanya mau meleleh. Tapi, bagiku biasa saja.

“Kalian ngapain di sini, Dek” tanya Pak Anam.

“Biasa, Pak. Risel emang hobi banget duduk di sini kalo lagi nggak ada kerjaan.” Aku hanya diam, biarkan Riri yang menjelaskan.

“Eh, Sel. Kamu nih dari Bandung asli?” tanya Kak Anam.

Aku mendongak, “Bukan. Aku dari Lampung. Jadi aku merantau di Bandung.”

“Weh, Mulei Lappung ini,” kata Pak Bagas. Aku tersenyum.

“Pandai lah cawo lappung?” (Bisa lah berbahasa Lampung?)

“Hehehe, lahir aja di Lampung, Pak. Suku bukan Lampung.”

“Tau kan kalian Yonif 143 di mana?” tanya Pak Bagas lagi. Aku dan Dini menggeleng, sedang Pak Bagas dan Kak Anam tertawa.

“Aih, rupanya waktu perkenalan nggak mendengarkan. Yonif 143 tuh di Lampung, Dek,” jelas Pak Bagas. Aku meringis malu. Bukan apa, aku tak pernah sekepo itu tentang Yonif. Aku hanya suka mencari info tentara yang sedang tugas.



Sersan, kau kembali(Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang